Home Suara PRT Seperti Apa Dunia Kerja Pramurukti

Seperti Apa Dunia Kerja Pramurukti

by Shani Rasyid

Rumah bercat biru dan bertingkat dua itu merupakan tempat tinggal Rajiyem (53). Bila dibanding dengan rumah-rumah di sekitarnya, rumah itu menggambarkan kondisi perekonomian pemiliknya yang telah mapan. Rumah itu tepat berada di pinggir sebuah jalan beraspal yang sepi di Dusun Wintaos, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Gunungkidul.

“Ini hasil jerih payah saya semua selama 30 tahun jadi pramurukti. Dulu rumah ini jelek, nggak sebagus ini,” kata Rajiyem.

Rajiyem sangat mencintai profesinya. Banyak anggota keluarganya yang bekerja sebagai pramurkti. Suaminya juga seorang pramurukti. Bahkan anak perempuan dan menantunya mengikuti jejaknya sebagai pramurukti.

Saat ditemui Merdeka.com pada suatu siang yang terik tanggal 9 Maret 2023 lalu, Rajiyem sedang istirahat sejenak dari pekerjaannya. Dua hari sebelumnya, pasien yang ia rawat meninggal dunia.

“Kemarin itu sebenarnya saya baru libur dua hari. Anak menantu saya yang menggantikan. Waktu saya tinggal pulang pasien saya baik-baik saja. Cuma agak lemah. Tapi hari Selasa jam tiga pagi saya tiba-tiba ditelpon pasien saya sudah meninggal. Ya sudah saya langsung berangkat dari sini sampai di rumah pasien di Kulon Progo jam 9 pagi. Habis dimakamkan, saya kemas-kemas baju lalu langsung pulang sama anak menantu saya,” tuturnya.

Baru sehari di rumah, Rajiyem langsung mendapat tawaran menjaga pasien di tempat lain. Tapi ia menyerahkan tawaran itu ke pramurukti lain demi memenuhi janji sesi wawancara untuk tulisan ini.

“Di samping itu saya juga ingin ngaso dulu,” ujar Rajiyem

Pada awalnya, tak pernah terpikir di benak Rajiyem untuk bekerja sebagai pramurukti. Waktu masih duduk di bangku SMP, ia bercita-cita menjadi seorang guru. Namun saat hendak masuk SMA, pamannya yang bekerja di Rumah Sakit Bethesda mengajak Rajiyem untuk bergabung dengan sekolah pramurukti.

“Soalnya dibilang setelah lulus bisa langsung kerja. Ya saya mau lah. Kan senang banget setelah lulus langsung dapat kerja,” kata Rajiyem.

Rajiyem kemudian menjalani pendidikan di sekolah pramurukti Community Development (CD) Bethesda pada tahun 1987.

Waktu itu, satu angkatan Rajiyem terdiri dari 35 orang. Jam belajarnya ditentukan seperti sekolah pada umumnya. Dua jam belajar di kelas, satu jam istirahat, dua jam lagi praktik di ruangan. Pada hari Minggu sekolah libur. Selama setahun ia menjalani pendidikan itu dan tinggal di asrama.

BACA JUGA: Sudah 3 Tahun Suamiku Tidak Pulang Saat Lebaran

Lulus dari CD Bethesda pada tahun 1988, petualangannya di dunia kepramuruktian dimulai.

Pasien pertamanya adalah seorang pasien lansia penderita stroke yang berasal dari keluarga asal Jepang yang tinggal di daerah Kotabaru, Kota Yogyakarta. Sebelum mulai merawat ia diajari berbagai hal oleh pramurukti yang bekerja lebih dulu di sana dan juga oleh dokter yang sewaktu-waktu datang untuk memantau perkembangan kesehatan pasien.

“Saya sering dimarahi karena kesalahan saya. Saya tidak marah. Itu namanya diingatkan agar tidak diulangi kesalahan saya,” kata Rajiyem.

Saat itu Rajiyem masih menjadi pramurukti yang bekerja untuk Yayasan CD Bethesda. Oleh pihak yayasan, ia sering ditugaskan ke luar daerah. Berbagai kota di Pulau Jawa pernah ia singgahi, mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga kota-kota kecil di Jawa Tengah.

Keluarga pasiennya pun berasal dari berbagai latar belakang mulai dari pengusaha, seniman, hingga panglima militer. Waktu tugas di Jakarta misalnya, ia sempat bekerja di keluarga Jenderal TNI dan Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud.

“Saya itu pasiennya keluarga orang-orang kaya semua. Waktu pulang dari Bandung misalnya, saya dibelikan tiket kereta api Mutiara Selatan. Kelasnya elit banget. Penumpangnya orang-orang kaya semua. Aku orang hidup kayak gini kok serasa mimpi ya? Waktu sampai di Jogja saya cerita ke teman-teman,” ungkapnya.

Rajiyem mengatakan, bekerja sebagai pramurukti adalah passion-nya yang memang suka menolong orang sakit. Suka duka yang dihadapi, ia jalani dengan sabar dan ikhlas.

“Kebanyakan pasien di mana-mana cocok sama saya. Yang menilai itu kan orang. Katanya saya itu sabar, gampang bikin nyaman. Memang dari awal minat saya itu menolong orang sakit jadi harus bisa,” kata Rajiyem.

Untuk ukuran upah minimum regional (UMR) Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada di kisaran Rp2,2 juta per bulan, saat ini gaji Rajiyem bisa dibilang jauh di atas itu. Dalam sebulan, ia bisa memperoleh Rp6 juta jika per hari ia dibayar Rp200.000.

BACA JUGA: Aku Adalah PRT yang Jadi Korban Kekerasan Seksual: Pelakunya Bos dan Majikan di Kantor

Walaupun bayarannya terhitung tinggi untuknya yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, namun nyatanya tak banyak orang yang ingin menjadi pramurukti. Apalagi pekerjaan ini dinilai begitu berat karena tanggung jawabnya terkait langsung dengan kesehatan pasien. Pekerjaan ini juga rentan terhadap kekerasan, baik yang sifatnya fisik maupun psikis.

Kekerasan Terhadap Pramurukti

Ririn Sulastri (51) sudah jadi pramurukti sejak tahun 2000. Waktu itu ia berstatus janda karena perceraian dan harus mendidik seorang anaknya yang masih kecil. Saat menjadi pramurukti, Ririn biasa bekerja dari malam hingga pagi hari. Berbeda dengan Rajiyem yang menjaga pasien seharian penuh.

“Menurut saya sistem shift ini enak. Misalnya Rp6 juta itu dibagi dua sama teman saya. Karena menurut saya kerja menginap itu tidak solusi, Mas. Rawan kekerasan, rawan pelecehan, terus dia bisa kurang fokus karena kecapekan. Makanya saya ambil kerja full day malam. Malam setelah anak saya belajar saya baru pergi kerja,” kata Ririn.

Ririn mengatakan, berdasarkan pengalamannya dan teman-temannya se-profesi, kerja sebagai pramurukti rawan kekerasan dan pelecehan. Apalagi sering kali pasien yang dirawat kondisi emosinya tidak stabil.

“Kadang waktu kita enak-enak tidur, pasien terbangun. Kalau kita nggak bangun, sama pasien bisa dilempari gelas, ‘Plak!’. Kadang pihak keluarga nggak bisa memaklumi itu. Mereka langsung tanya sama saya, ‘kok gelasnya bisa pecah?’. Kejadian seperti ini sering terjadi,” kata Ririn.

Pernah suatu hari Ririn mengalami kejadian seperti itu. Pihak keluarga tak bisa memaklumi. Sewaktu dia libur, menantu pasien lah yang menggantikan tugasnya. Saat Ririn kembali lagi menjaga si pasien, ia melihat bagian kepala sang menantu benjol sana sini.

“Kenapa mbak?” tanya Ririn.

“Dilempari gelas sama cawan,” jawab sang menantu.

“Owalah mbak, itu karena di luar kesadaran,” balas Ririn.

Belajar dari pengalaman itu, Ririn mengaku bahwa seorang pramurukti harus punya akal bagaimana agar pasien tidak melakukan kekerasan terhadap dirinya.

“Misalnya eyang putri marah-marah, terus saya setelkan TV. Dia kemudian ngomong sendiri sama TV sementara saya bisa istirahat. Terus kalau yang biasanya suka lempar-lempar, kita harus inisiatif mengikat tangannya. Tapi pintu kamar harus dikunci, biar keluarga nggak tahu. Nanti kalau pasien sudah bisa menerima keadaan, dia nggak akan lempar-lempar lagi,” jelasnya.

Mengikat tangan pasien sebenarnya bukan hal yang dibenarkan, karena pasien berhak untuk bergerak, namun ini sangat terpaksa Ia lakukan agar Ririn bisa istirahat sejenak dan Ia tidak terlempar benda-benda di sekitar pasien ketika Ia tidur sebentar.

BACA JUGA: Susah Payah Kerja, Ditinggal Suami Begitu Saja: Ina PRT Korban KDRT

Ririn mengaku sering mendapatkan pengalaman tidak mengenakkan dari pasien, terutama ucapan-ucapan verbal sebagai luapan emosi yang sering kali tidak terkontrol. Namun baginya, segala bentuk kekerasan maupun pelecehan, selama itu datang dari pasien, merupakan hal yang wajar. Hal yang tidak bisa ia toleransi lagi bila kekerasan itu datang dari pihak keluarga pasien.

Pernah suatu ketika, ia mendapat tugas merawat seorang perempuan penderita stroke berusia 50-an tahun. Perempuan itu punya suami berusia 54 tahun.

“Istrinya itu nggak bisa apa-apa, cuma bisa kedip-kedip gitu. Tapi orang stroke kedip-kedip itu bukannya nggak tahu lho, Mas. Dia itu sebenarnya tahu. Melihat kelakuan suaminya membuat kondisi psikisnya semakin parah,” kata Ririn.

Ririn sendiri yang menjadi korban atas perlakuan suami pasiennya. Waktu itu ia sedang memandikan pasiennya. Karena suami pasien pamit pergi ke pasar, pintu kamar mandi tidak ia kunci.

“Tapi tiba-tiba suami itu mau memeluk saya dari belakang. Saya refelks baskom di dekat saya langsung saya lempar ke belakang.”

Karena peristiwa itu, suami pasien itu langsung melapor ke pihak yayasan tempat Ririn bekerja. Dia bilang kalau kerja Ririn tidak becus. Ririn langsung diganti saat itu juga. Namun hingga empat orang diganti, semua yang bekerja di tempat itu melapor mengalami perlakuan serupa.

“Sampai Mbak Mul, teman saya itu heran, masak empat orang sudah tua-tua gini mau digitu-gituin,” ungkapnya.

Selain mendapat kekerasan dan pelecehan yang bersifat fisik, Ririn juga sering menerima perkataan yang tidak mengenakkan dari pihak keluarga.

Pernah suatu hari ia merawat seorang pasien lansia perempuan. Anak laki-laki pasiennya memperlakukan Ririn dengan baik dan ramah. Namun hal itu mengundang kecemburuan dari pihak istri atau menantu dari pasiennya. Kebetulan saat itu status Ririn masih janda.

“Kalau jadi pekerja rumah tangga itu enak ya mbak, bisa njawil-njawil juragannya,” tuduh sang istri pada Ririn.

“Nuwun sewu lho bu, saya nggak pernah njawil-njawil bapak. Demi Allah,” balas Ririn tidak terima.

Tak hanya dari pihak pasien dan keluarga, perlakuan tidak mengenakkan juga pernah menimpa Ririn dari seorang pekerja rumah tangga (PRT) yang kerja serumah dengannya. Apalagi PRT itu tahu kalau gaji pramurukti lebih besar dari gajinya. Saat itulah rasa iri muncul.

“Enak Mbak, sampeyan cuma merawat seperti itu, bayarannya gede,” kata PRT itu pada Ririn.

“Dikira pekerjaannya enteng, mau nyoba po mbak?” balas Ririn. “Gini saja, kalau malam kan ibu nggak tahu. Sampeyan nunggu dua jam saja, mulai jam 12 sampai jam 2 pagi. Nanti kerjaan sampeyan tak selesaikan.”

Ternyata PRT itu tidak kuat melakukan tugas yang biasa dilakukan Ririn. Ia menyesali perbuatannya. Setelah itu Ririn mengajaknya bergabung ke serikat PRT.

“Cara saya membawa teman memang seperti itu,” kata wanita yang saat ini aktif di organisasi Serikat PRT itu.

Berdasarkan yang Ririn amati, kekerasan terhadap pramurukti itu sebenarnya banyak, terutama bagi mereka yang bekerja untuk yayasan. Namun mereka takut untuk mengungkapkan apa yang mereka alami pada yayasan tempat mereka bekerja. Oleh karena itu banyak masalah yang ada justru tertutup.

“Sekarang ada yayasan pramurukti yang curang. Ambil orang kampung, cuma diajari sedikit sudah dianggap jadi pramurukti. Mereka dibayar murah. Banyak kasus pasien jatuh, penanganan pertamanya gagal. Karena majikan sendiri senang mengambil yang murah dari kampung. Dia yang mau digaji 1,5-2 juta tapi kerja 24 jam. Soalnya para majikan itu berprinsip kayak gini, orang tua diasuh, paling ending-nya mati. Itulah kenapa nama pramurukti jadi jelek,” kata Ririn.

Tanggung Jawab Besar

Rajiyem merasakan betul betapa beratnya menjadi pramurukti. Selama menjadi pramurukti, Ia lebih memilih kerja model menginap di rumah pasien karena jarak antara rumahnya dengan tempat tinggal pasien cukup jauh. Dalam menjalani model seperti itu, Rajiyem harus pintar beradaptasi di dalam keluarga. Apalagi kondisi setiap keluarga berbeda-beda.

Biasanya Ia tinggal di rumah pasien sebulan penuh tanpa ada satupun hari libur. Setelah itu, barulah Ia bisa ambil libur selama lima hari. Angka lima hari itu berpatok dari jumlah hari libur yang bisa Ia ambil dalam sebulan. Saat libur itu Ia menyerahkan tanggung jawab menjaga pasien kepada temannya sesama pramurukti. Setelah jatah libur lima hari diambil, Ia kembali ke rumah pasien yang Ia rawat.

Selama menjadi pramurukti, Rajiyem sering mengalami kondisi di mana ia bertanggung jawab penuh atas nyawa pasien. Tak ada orang lain lagi di rumah itu selain Ia dengan pasien yang kondisinya sudah sakit-sakitan.

Pernah suatu ketika Rajiyem hanya berdua di rumah bersama pasiennya yang kondisinya sudah kritis. Sementara semua anak-anak pasien tinggalnya di luar kota. Di saat itu Ia dituntut untuk sigap melakukan penanganan darurat. Pertama-tama, Ia menelpon pihak keluarga untuk memberi tahu kondisi pasien, kemudian menelpon pihak rumah sakit agar segera dikirim ambulans. Karena pihak keluarga belum datang, Rajiyem lah satu-satunya orang yang menemani pasien saat dirujuk ke rumah sakit.

“Dalam kondisi itu saya harus berani bicara dengan dokter dan perawat. Kalau nggak berani saya ditanya sama keluarga pasien jawabnya seperti apa? Jadi sifatnya pramurukti itu harus berani bicara dan membaca keadaan pasien seperti apa,” ujarnya.

Kejadian seperti itu tak hanya sekali dua kali dialami Rajiyem. Namun sudah berkali-kali. Ia mengatakan, saat kondisi pasien kritis, biasanya pihak keluarga yang berada di rumah sering kali larut dalam kesedihan. Di saat itulah Ia ditutut untuk tetap berpikir waras.

“Seperti kemarin ini, kondisi pasien kritis sementara istrinya hanya bisa menangis. Saya panggil ambulans untuk dilarikan ke Rumah Sakit Bethesda. Waktu itu sudah kejang-kejang, gulanya rendah, garamnya kurang. Dia akhirnya opname delapan hari di rumah sakit. Pulang kondisinya sudah sehat,” kata Rajiyem.

Sementara itu Ririn punya pengalaman berbeda. Pada saat awal-awal ia menjadi pramurukti, beberapa pasien yang ia rawat meninggal dunia saat ia baru seminggu hingga dua minggu merawat. Meninggalnya pasien yang menjadi tanggung jawabnya memberikan beban psikis tersendiri bagi Ririn.

“Saya sampai dibilangi punya tangan pencabut nyawa. Saya lalu bilang ke yayasan, ‘Pak, saya nggak usah dikasih kerjaan lagi.’ Saat itu saya nggak terima sama diri sendiri. Pasien baru dipegang beberapa minggu terus mati ya nggak terima, kenapa bisa begini?”

Bagi Ririn, setiap pramurukti yang bekerja di rumah pasien harus fokus merawat pasien. Sementara itu tugas-tugas lain dibebankan pada keluarga pasien. Bahkan mencuci pakaian milik pramurukti pun sudah menjadi tugas keluarga pasien.

“Misalnya begini, pramurukti habis nyuapin, habis mandiin pasien, lalu dia sibuk dengan cuciannya di kamar mandi. Terus kalau pasien di kamar jatuh yang tanggung jawab siapa? Jelas dibebankan ke pramurukti,” jelas Ririn.

Tak hanya tanggung jawab pada pasien, Ririn menjelaskan bahwa pramurukti harus bisa bertanggung jawab atas kesehatannya sendiri. Menurutnya, pramurukti punya tingkat kerawanan yang tinggi tertular penyakit, salah satunya penyakit liver yang bisa saja menular lewat cairan maupun kotoran dari penderitanya.

Karena tanggung jawabnya yang besar, bagi Rajiyem maupun Ririn sepakat kalau seorang pramurukti layak mendapat upah yang besar.

Rajiyem mengatakan, saat masih bekerja untuk Yayasan CD Bethesda, segala pengaturan tentang upah ini sudah menjadi aturan yayasan. Namun semenjak bekerja secara mandiri dan tidak terikat lagi dengan yayasan, semua pengaturan upah ini berada di tangannya secara utuh.

Sebagai contoh, untuk saat ini Rajiyem siap bertugas merawat pasien jika dibayar Rp 150-200 ribu per hari dengan tanggung jawab merawat pasien selama 24 jam. Tinggi rendah tarif ditentukan dengan tingkat kesulitan merawat pasien.

“Makin tinggi bayarannya makin tinggi perawatannya. Yang murah itu kalau hanya pendampingan, bisa Rp 130 ribu sehari. Kalau pendampingan itu kita bantuin saja. Makan masih bisa sendiri, kita tinggal ambilkan saja. Tapi kalau perawatannya tinggi, untuk makan kita harus bikin sonde lewat hidung. Terlambat setengah jam saja nanti semua hal bisa mundur semua,” terangnya.

Rajiyem mengatakan, selama menjadi pramurukti secara mandiri, banyak keluarga pasien yang meminta agar tarif bisa dipermurah. Mengenai tawar-menawar ini, Rajiyem mengaku sudah punya patokan yang pasti mengenai berapa bayarannya.

“Kalau saya diberi tarif rendah saya jelas nggak mau. Saya bilang begini,’Bu, kalau ibu siap gaji saya per hari Rp200 ribu, atau minimal Rp150 ribu, saya siap jalan. Tapi kalau lebih rendah dari itu saya tidak mau.’ Waktu itu pasiennya memang super rewel. Saya memang harus bilang gitu, Mas. Soalnya dari pihak keluarga memang sudah tidak bisa mengasuh,” katanya.

Sementara itu Ririn memberi patokan bayaran atas jasanya sebesar Rp3-3,5 juta per bulan. Berbeda dari Rajiyem yang bekerja penuh menginap di rumah pasien selama 24 jam, Ririn memilih bekerja selama 12 jam.

“Rp 3 juta dari pagi sampai malam, lalu Rp3,5 juta dari malam sampai pagi. Itu saja nanti masih dinego-nego sama keluarga. Mereka bilang, nanti kan dapat uang transport, dapat makan. Makanya saya awalnya mengajukan Rp3,5 juta biar sampai titik terendah Rp3 juta. Soalnya jadi pramurukti itu berat lho, Mas,” kata Ririn.

BACA JUGA: Menghitung Hari, DPR Diminta Kirimkan Surat ke Presiden Agar RUU PPRT Segera Disahkan

Profesi yang Berat

Lita Anggraini, aktivis sekaligus pendiri Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT mengatakan, secara garis besar, pramurukti masuk dalam istilah yang oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) disebut “care work”. Tak hanya pramurukti, berbagai macam pekerjaan “care work” ini cukup banyak cakupannya di antaranya: perawat, babbysitter, hingga petugas kebersihan lingkungan.

Ia menerangkan, istilah “care work” sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun istilah ini kembali populer saat merebaknya pandemi COVID-19.

“Saat pekerja lain bisa WFH (kerja dari rumah), mereka selalu dibutuhkan untuk hadir. Saat pandemi kemarin, baru terasa kalau keberadaan care work ini sangat dibutuhkan. Buktinya tanpa mereka rumah jadi berantakan, jalanan penuh sampah, dan sebagainya,” terang Lita.

Pada waktu masa pandemi COVID-19 kemarin, para pramurukti tetap dituntut hadir memberikan perawatan bagi pasien mereka. Mengingat begitu rentannya pekerjaan mereka, Lita menyarankan negara harus hadir memberikan bentuk perlindungan.

“Mereka harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dan hak-hak mereka. Selain itu mereka juga harus diberikan reward, seperti layanan sosial atau jaminan kesehatan,” lanjut Lita.

Menurut Lita, pramurukti merupakan pekerjaan yang berat. Semua pekerjaan yang dilakukan pramurukti butuh kesabaran, seperti membersihkan kotoran pasien, memberi makan, membujuk pasien minum obat, menjaga emosi pasien agar tetap stabil, dan sebagainya. Selain itu, Ia mengatakan bahwa pemberi kerja, dalam hal ini keluarga pasien, sering kali membebankan seluruh tanggung jawab kondisi kesehatan pasien pada pramurukti. Oleh karena itu banyak pramurukti yang tidak punya jam istirahat. Akibatnya mereka tertekan secara psikologis sehingga jadi mudah marah, putus asa, dan sedih sampai akhirnya mereka memutuskan berhenti dari pekerjaannya.

“Makanya RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) harus disahkan. Dengan begitu ada aturan jam kerja yang manusiawi dan jaminan sosial,” ujar Lita.

Sementara itu, aktivits Serikat PRT Rumpun Tjoet Nyak Dhien, Ernawati mengatakan, profesi pramurkti itu dapat digolongkan dalam PRT. Ia menerangkan, setiap jenis PRT memiliki upah yang berbeda-beda.

“Tapi karena pramurukti ini menyangkut risiko pada kesehatan dan keselamatan lansia, jadi harus ada protokol sendiri yang harus dipahami dan dipatuhi. Itulah kenapa upah mereka seharusnya lebih tinggi ketimbang PRT yang pekerjaannya bersih-bersih rumah maupun mencuci,” jelas Ernawati.

Ernawati sependapat dengan Lita bahwa pekerjaan pramurukti itu berat. Tak hanya soal tenaga, dalam merawat lansia ada emosi yang terlibat, apalagi yang dirawat merupakan makhluk hidup yang punya perasaan. Belum lagi mereka harus punya ketekunan serta keahlian dalam memahami jenis penyakit tertentu. Mereka juga harus pintar mengatur jadwal jam minum obat dan memahami jenis makanan yang boleh dimakan pasien.

“Tapi dari semua itu kesabaran-lah yang utama. Itu punya nilai sendiri sebetulnya. Dan itu tidak bisa dinilai dengan jam kerja. karena seperti itu kan nilainya jauh lebih tinggi,” ujar Ernawati.

Oleh karena itu, Ernawati mengatakan seorang pramurukti perlu dibekali pendidikan yang mumpuni sebelum terjun ke keluarga pasien. Lalu seperti apa bentuk pendidikan terhadap pramurukti beserta kurikulumnya?

BACA JUGA: Saya PRT, Saya Turut Menunjang Karier Majikan

Sekolah Pramurukti

Salah satu lembaga pendidikan pramurukti yang ada di Yogyakarta adalah Community Develompent (CD) Bethesda. CD Bethesda sendiri merupakan sebuah lembaga non-profit yang bergerak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Berdiri pada tahun 1974, lembaga itu memiliki konsep “Rumah Sakit Tanpa Dinding”.

CD Bethesda pertama kali membuka sekolah pramurukti pada tahun 1980. Kepala Bidang Pekarya Kesehatan CD Bethesda, Heri Ahmadi, mengatakan bahwa sebelum ada sekolah pramurukti, lembaga itu telah membuka sekolah pramusiwi atau babysitter pada tahun 1976.

Pada waktu itu, CD Bethesda bekerja sama dengan organisasi Oxfam dan PLAN Internasional untuk membina anak-anak yang putus sekolah di daerah Gunungkidul dan Kulon Progo. Dengan adanya bantuan dari CD Bethesda yang bermitra dengan kedua lembaga internasional tersebut, mereka diberi pendidikan gratis. Bahkan fasilitas pendukungnya seperti makan dan asrama juga diberikan secara gratis.

Pada tahun 1980, kebutuhan rumah sakit terhadap pramurukti semakin banyak. Sejak itu para anak-anak binaan CD Bethesda dilatih untuk menjadi pramurukti. Sepengetahuan Heri, pada waktu itu di Yogyakarta belum ada sekolah pramurukti seperti di CD Bethesda. Bahkan Ia meyakini kalau di Indonesia sendiri masih sangat jarang. Maka tak heran, waktu itu banyak pramurukti lulusan CD Bethesda yang ditugaskan ke seluruh penjuru Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga Papua.

Heri mengatakan, antara tahun 1980 hingga 2000, pendidikan pramurukti diberikan selama satu tahun. Pelajaran yang diberikan antara lain etika keperawatan, perawatan umum, perawatan khusus, psikologi orang tua, ketenagarerjaan, fisioterapi dasar, ilmu gizi, serta pengenalan macam-macam penyakit.

“Kalau soal kesabaran itu masuk etika keperawatan. Materinya banyak, selain sabar juga memberikan kasih sayang, jujur, rapi, perhatian, menjaga diri supaya bersih, kuku tidak boleh panjang,” ungkap Heri.

Setelah menjalani pendidikan setahun, mereka dinyatakan lulus dan siap menjalani profesi sebagai pramurukti. Lembaga CD Bethesda kemudian menempatkan para pramurukti baru itu ke keluarga pasien.

Selama dua tahun pertama, para lulusan sekolah pramurukti itu masih terikat dengan pihak CD Bethesda. Setelah dua tahun dilewati, para pramurukti diperbolehkan untuk bekerja secara mandiri.

Pada tahun 2014, pihak CD Bethesda mengganti istilah “pramurukti” menjadi “pekarya kesehatan”. Heri mengatakan perubahan nama itu mengikuti aturan yang diberikan pemerintah pusat. Namun pada tahun 2016 hingga sekarang, sekolah pramurukti ditiadakan. Sebagai gantinya, mereka yang ingin melamar jadi pramurukti sebelumnya telah memiliki latar belakang pendidikan keperawatan seperti dari D3 perawat, S1 perawat, hingga SMK kesehatan.

“Sejak tahun itu makin banyak lulusan-lulusan perawat yang melamar ke sini. Artinya kita membantu mereka bekerja sebelum melanjutkan ke pendidikan profesi karena mereka butuh pengalaman kerja. Ilmu yang pernah kita ajarkan di sekolah pramurukti telah mereka kuasai. Jadi kita hanya memberikan pembekalan sebelum mereka bekerja,” jelas Heri.

Kini, terdapat 40 pramurukti yang bekerja untuk lembaga CD Bethesda. Mereka yang bekerja secara shift digaji Rp2,4-2,5 juta sebulan dan yang menginap di rumah pasien digaji Rp3,2-3,5 juta sebulan. Sedangkan upah lemburnya dihitung saat ia masuk hari Minggu, yaitu sebesar Rp100.000 per hari.

Heri mengatakan bahwa semua pramurukti yang bekerja untuk CD Bethesda mendapatkan jaminan kesehatan. Terkait permasalahan yang dihadapi pramurukti di keluarga pasien, seperti perlakuan buruk dari pihak keluarga, Heri mengatakan bahwa hal itu kecil sekali kemungkinan terjadinya.

“Mungkin lima persen saja tidak ada. Lagi pula dalam surat tugas yang dia bawa, ada klausa yang bunyinya pihak keluarga wajib memberikan perlindungan pada tenaga kerja pramurukti. Perlindungan itu ya termasuk melindungi dari kasus pelecehan dan lain-lain. Termasuk ketika pramurukti sakit ringan, itu yang memberikan perlindungan ya keluarga, misal dengan memberikan obat atau membawanya ke rumah sakit,” kata Heri.

BACA JUGA: Pemerintah Siapkan DIM, Pengesahan RUU PPRT Didesak Tak Hamburkan Waktu

Pentingnya UU PPRT bagi Pramurukti

Bertahun-tahun menjalani profesi sebagai pramurukti telah memberikan banyak pelajaran bagi Rajiyem. Sering berhubungan dengan dokter maupun perawat membuatnya sedikit banyak tahu tentang ilmu keperawatan maupun kedokteran.

“Saya itu paling suka menolong orang yang betul-betul memerlukan perawatan khusus. Apalagi kita jadi sering berhubungan dengan dokter dan perawat. Kita jadi bisa dapat ilmu gratis tanpa sekolah,” ungkapnya.

Tak hanya pada pasien, ilmu-ilmu ini sering ia terapkan untuk memberikan pengobatan gratis pada tetangga-tetangganya di desa. Di usianya yang telah memasuki setengah abad, ia tetap ingin meneruskan profesinya sebagai pramurukti.

“Mas, kalau ada tetangga atau saudara yang butuh pramurukti hubungi saya saja. Pasien laki-laki maupun perempuan saya siap,” ujar Rajiyem.

Berbeda dengan Rajiyem, saat ditemui Merdeka.com di rumahnya pada Sabtu (18/3) lalu, Ririn mengaku sudah sebulan tidak bekerja.

“Ini lagi vertigo, mau istirahat dulu,” imbuhnya.

Di sela-sela menjalani profesi sebagai pramurukti, Ia aktif di organisasi Serikat PRT dan memberikan advokasi kepada teman-teman PRT yang mengalami ketidakadilan dari majikan. Sering juga ia mengikuti demo dengan melakukan aksi teater bersama teman-temannya sesama PRT.

Walaupun gajinya lebih tinggi dibanding teman-temannya yang bukan pramurukti, Ririn sudah menganggap teman-teman PRT lain sejawat. Ia seringkali memberikan motivasi teman-temannya bahwa perlindungan negara terhadap profesi PRT begitu penting diperjuangkan. Oleh karena itu, Ririn mendukung pengesahan RUU PPRT.

“Sekarang kasus kekerasan di pramurukti itu semakin banyak. Apalagi korbannya itu orang kampung yang nggak tahu hukum. Kalau nanti sudah ada undang-undang tersendiri, masalah pelecehan dan kekerasan di pramurukti pasti banyak yang keluar,” tutup Ririn.

Tulisan ini merupakan bagian dari Program Suara Pekerja Konde.co yang mendapatkan dukungan dari Voice, artikel juga dimuat di Merdeka.com

Related Articles

Leave a Comment