Home Suara PRT Perbudakan Yang Berkedok Kekeluargaan

Perbudakan Yang Berkedok Kekeluargaan

by Anugerah Ayu Sendari
PRT

Sumi (55) masih tak habis pikir tiap ingat kehidupannya 42 tahun silam. Di usia 13 tahun, ia harus menjadi pekerja rumah tangga (PRT) di Jakarta. Sumi bekerja di rumah kerabatnya sendiri selama hampir 10 tahun, tanpa digaji. umi yang tidak tamat SD, berasal dari keluarga petani di Yogyakarta. Sehari-hari ia membantu orang tuanya di sawah. Pada satu waktu, ada kerabat datang menemuinya. Ia diminta untuk ikut tinggal di Jakarta.

Yu anakmu tak jak ke Jakarta biar bantu-bantu aku” kata kerabat Sumi ketika minta izin ke orangtuanya.

Saat itu, Sumi tak punya cukup pengetahuan tentang pekerjaan domestik. Orang tua pun melepas Sumi karena percaya bahwa anaknya akan hidup baik di tangan keluarga sendiri.

Di tempat kerabatnya, Sumi diberi kamar dan makan. Kebutuhannya dicukupi layaknya keluarga. Setiap hari ia membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan membantu berjualan.

Satu yang tidak didapat Sumi adalah gaji. Selama 10 tahun bekerja, Sumi tidak pernah mendapat upah atas kerjanya. Saat itu Sumi merasa tidak tahu diri jika harus minta upah.

“Kalau mau minta uang bulanan, tidak enak” ingat Sumi.

Perbudakan Berkedok Kekeluargaan

Sumi hanya paham bahwa ia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan membantu berdagang di tempat saudaranya. Tak ada upah yang diberikan. Meski sesekali ia diberi ongkos pulang ketika Lebaran.

“Ya memang diperlakukan seperti keluarga, cuma enggak tahu kalau saya harusnya terima gaji tuh, enggak tahu” cerita Sumi.

Sumi juga tidak memiliki hari libur. Baginya setiap hari adalah bekerja. Meski diperlakukan seperti keluarga, terkadang Sumi merasa lelah.

“Waktu itu aku sudah merasa capek kerja, tapi enggak pernah punya uang” tambah Sumi.

Sumi tak mau terus-terusan ikut keluarga. Setelah menikah, Sumi memutuskan kembali ke Yogyakarta. Ia kemudian kerja serabutan dan kembali menjadi PRT hingga saat ini. Setelah berserikat, barulah Sumi sadar bahwa 10 tahun yang ia kerjakan adalah bentuk perbudakan berkedok kekeluargaan.

Pengalamannya bekerja tanpa digaji ia jadikan pelajaran hidup. Sumi tak lantas menaruh dendam pada kerabat yang telah mempekerjakannya. Mereka masih berhubungan baik hingga saat ini. Sumi menganggap bahwa ia dan kerabatnya saat itu sama-sama belum paham tentang hubungan PRT dan pemberi kerja.

“Kalau pembantu, kita enggak menerima upah, cuma sukarela. Kalau pekerja itu kita dapat upah. Cuma namanya orang dulu itu kan enggak ngerti seperti ini.” ujar Sumi.

Hubungan Kekeluargaan Membuat Enggan Minta Hak

Kondisi Sabarinah (54) masih lebih baik dibandingkan Sumi yang benar-benar tidak digaji.  Sabarinah mendapatkan gaji meskipun dia harus bersabar kalau terlambat.

“Kalau saya ya disabar-sabarin aja. Karena ya kita kerjanya di tempat saudara, jadinya ya dibikin baik-baik saja” balas Sabar.

Sudah lebih dari 15 tahun Sabar memang bekerja sebagai PRT di rumah kerabatnya. Jarak antara rumah Sabar dengan rumah tempat ia bekerja hanya terpisah satu rumah. Setiap hari Sabar bekerja membersihkan rumah dan menemani saudaranya yang kini sudah berusia senja.

Sebelumnya, Sabar bekerja di sebuah perumahan di kawasan Sleman. Pemberi kerjanya saat itu cukup baik. Ia diberi hari libur dan gaji yang cukup. Namun, tiba-tiba Sabar ‘ditembung‘ untuk bekerja di rumah keluarganya. Karena keluarga sendiri, Sabar tak punya pilihan menolak.

“Saya belum jawab, tapi saya harus mau. Akhirnya saya pamit dan mencarikan pengganti saya di perumahan itu.” cerita Sabar.

Meski bekerja di keluarga sendiri, hak-hak Sabar sebagai pekerja belum sepenuhnya terpenuhi. Ia pernah telat mendapat upah bulanan sehingga harus menagihnya. Meski langsung ditransfer, Sabar berharap gajinya bisa dikirim tepat waktu.

Sabar juga belum mendapat alokasi dana untuk jaminan kesehatan atau ketenagakerjaan. Selama belasan tahun, upah Sabar juga tak banyak mengalami kenaikan. Namun, Sabar mengaku sungkan untuk menagih.

Meski merasa belum sejahtera, Sabar tetap bersyukur. Menurutnya, pekerjaannya yang sekarang juga lebih fleksibel. Ini membuatnya lebih leluasa melakukan kegiatan lain seperti berorganisasi atau beribadah. Sabar juga menjadikan pekerjaannya saat ini sebagai pengabdian pada orang tua.

“Tetap disyukurin saja soalnya bisa dapat tempat kerja yang cukup (fleksibel)” tambah Sabar.

Namun, dalam hati kecil Sabar, ia punya harapan besar dari pekerjaannya sebagai PRT. Ia ingin pekerjaannya sebagai PRT bisa diakui oleh negara. Dengan begitu, Sabar bisa mendapatkan haknya sebagai pekerja, meski bekerja dengan keluarga sendiri.

Namun, dalam hati kecil Sabar, ia punya harapan besar dari pekerjaannya sebagai PRT. Ia ingin pekerjaannya sebagai PRT bisa diakui oleh negara. Dengan begitu, Sabar bisa mendapatkan haknya sebagai pekerja, meski bekerja dengan keluarga sendiri.

Bekerja Tanpa Batas yang Jelas

Hubungan kekeluargaan seperti yang dihadapi Sumi dan Sabar membuat PRT bekerja tanpa batas yang jelas. Kondisi ini makin buruk karena kekosongan hukum. Tak ada kontrak kerja yang mengatur hari libur, waktu istirahat, jam kerja, jaminan sosial hingga kebebasan berserikat.

Situasi kerja yang jauh dari kata layak sudah puluhan tahun dirasakan Yuli Maheni (47). Heni sapaan akrabnya, merupakan pendiri Serikat PRT Tunas Mulia DIY, serikat PRT pertama di Indonesia. Selama berorganisasi, Heni banyak mendampingi PRT yang mendapatkan perlakuan tak adil dari pemberi kerja.

Menurut Heni, hubungan kekeluargaan antara PRT dan pemberi kerja bisa sangat menjebak. PRT bisa merasa sungkan meminta haknya. Sementara pemberi kerja, bisa saja mengeksploitasi PRT dengan dalih kekeluargaan.

“Secara kekeluargaan itu, kita kalau mau ngapa-ngapain itu agak pekewuh (tidak enak). Mau menuntut hak kita itu tidak enak” ujar Heni.

Heni sendiri pernah merasakan jebakan hubungan kekeluargaan tersebut. Saat ini Heni bekerja di sebuah rumah selama lebih dari 17 tahun. Ia pun sudah mendapat kepercayaan penuh dari pemberi kerjanya. Terkadang, ada hal yang ingin ia tuntut seperti saat gajinya dipotong ketika sakit. Namun, karena rasa kekeluargaan tersebut, Heni harus berpikir panjang.

“Jadinya ada rasa sungkan. Harusnya dihilangin. Tapi ya itu budayanya orang Jawa yang nerima itu sangat melekat” tambahnya.

Kondisi ini yang juga sering ditemukan Lita Anggraini, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT). Menurut Lita, hubungan kekeluargaan antara PRT dan pemberi kerja sudah disalahartikan.

“Seharusnya keluarga itu setara, saling menghargai, saling memiliki rasa hormat satu sama lain. Tapi kan yang terjadi PRT di keluarga itu hanya bisa diperintah sewaktu-waktu, itu yang menjadi salah arti” jelas Lita ketika dihubungi lewat sambungan telepon.

Lita menjelaskan, sifat pasrah dan nerima pada PRT terjadi karena PRT berada di situas abu-abu dan relasi kuasa. Ada keterdesakan untuk mendapatkan pekerjaan yang membuat PRT tak punya kesempatan bernegosiasi.

“Mereka berada di situasi keterdesakan, membutuhkan pekerjaan, ya akhirnya mereka menerima apa yang ada dulu” ujar Lita. “Mereka juga tidak bisa menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan yang sebenarnya. Karena ya tadi, soal relasi kuasa dan negara tidak hadir dalam relasi itu” tambahnya.

Ini sebabnya, penting ada payung hukum yang memberi batasan-batasan kerja PRT. Produk hukum inilah yang juga menjadi bukti kehadiran negara dalam mengurus pekerja domestik.

Sejarah PRT dan Budaya yang Melekat

Damairia Pakpahan, salah satu pendiri LSM Rumpun Tjut Nyak Dien yang fokus pada isu PRT di Yogyakarta menjelaskan, aspek kekeluargaan memang begitu melekat di hubungan PRT dan pemberi kerja. Namun yang tak boleh dilupakan, PRT juga dekat dengan perbudakan.

“Mereka berpikirnya hubungan kekeluargaan ya dianggap sebagai keluarga, tapi mereka lupa ada domestic violence, sexual violence, memang benar ada hubungan kekeluargaan, tapi ini juga ada hubungan perbudakan” jelas Damai.

Perbudakan bisa dirunut sejak masa kerajaan. Seseorang bisa menjadi budak karena kalah perang, terlilit utang, atau mencari perlindungan. Sistem perbudakan kemudian dipertahankan orang-orang Eropa yang menjajah Indonesia.

Budak kemudian menjadi komoditas dan diperjualbelikan. Mereka dipekerjakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja atau menjadi pelayan di rumah orang-orang kaya Eropa, Tionghoa maupun bumiputera.

Pada awal abad ke-19, perbudakan dihapuskan. Namun, budaya perbudakan ini masih diteruskan karena kebutuhan pelayan rumah tetap ada. Pelayan inilah yang dikenal dengan istilah batur, babu, atau jongos.

Selain perbudakan, ada karakteristik pekerjaan domestik lainnya yang cukup dekat dengan PRT. Di Jawa, ada tradisi ngenger yang juga hadir di suku bangsa lain di Indonesia.

Dalam tradisi ini, seorang anak dari keluarga kurang mampu dititipkan kepada kerabat atau orang kaya. Anak ini bisa memperoleh pendidikan atau ikut magang. Sebagai gantinya, ia harus membantu berbagai pekerjaan rumah tangga serta pekerjaan lain dari keluarga tersebut.

Di dalam keraton, selain budak, ada golongan yang disebut abdi dalem. Abdi dalem secara sukarela melakukan berbagai pekerjaan di lingkungan keraton. Sebagai imbalan, mereka mendapat ketentraman dan pengayoman.

Secara historis, profesi PRT memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan pekerjaan domestik masa lampau. Meski sama-sama bekerja di ranah domestik, PRT tetap berbeda dengan ngenger atau abdi dalem.

Pada budaya ngenger, ada kesepakatan komitmen antara anak dan keluarga yang ditumpangi. Keluarga berkomitmen membantu masa depan anak, sementara anak bersedia mengerjakan pekerjaan rumah. Begitu pula dengan abdi dalem dengan komitmen sukarelanya untuk mendapat ketentraman lahir batin.

Sementara karakteristik PRT yang sesungguhnya adalah sebagai pekerja yang berbasis ekonomi. Dalam profesi PRT, ada pekerja, pemberi kerja, upah, dan sesuatu yang dikerjakan. Ini yang membuat PRT berbeda dengan ngenger, abdi dalem, apalagi budak.

Sejarah membuat hubungan PRT dan pemberi kerja lebih bersifat kekeluargaan, paternalistik, dan privat. Kerja PRT akhirnya jauh dari intervensi negara.

Manipulasi Hubungan Kekeluargaan

Hubungan kekeluargaan antara PRT dan pemberi kerja kemudian disalahartikan dan dimanipulasi. PRT kemudian menjadi cermin perbudakan modern.

Eva Kusuma Sundari, Direktur Institut Sarinah mengungkapkan, perbudakan pada PRT kerap dikemas dalam hubungan kekeluargaan. Menurut Eva, hubungan kekeluargaan yang ideal juga harus punya indikator yang jelas.

“Kekeluargaan itu tidak boleh ada eksploitasi, tidak boleh ada penyiksaan, dan memperlakukan orang lain atau PRT itu sebagai keluarga. Makan ya sama, tidur atau well-being juga sama” jelas Eva.

Lita Anggraini menjelaskan bahwa PRT direkrut untuk dipekerjakan, bukan untuk menjadi keluarga. Hubungan keluarga yang menjadi alasan PRT tak mendapat hak-haknya adalah hubungan yang sudah dimanipulasi.

“Jadi sebenarnya kalau dilihat bukan kekeluargaan. Karena tidak mungkin juga lah orang merekrut PRT dari agen untuk dijadikan keluarga, kan ya tetap dipekerjakan” jelas Lita.

Apa yang dialami oleh Sumi dan Sabar merupakan bentuk manipulasi hubungan kekeluargaan antara PRT dan pemberi kerja. Menurut Eva, orang yang enggan menempatkan PRT sebagai pekerja biasanya sembunyi di balik terminologi kekeluargaan dan gotong royong.

Padahal, hubungan kekeluargaan yang sesungguhnya adalah hubungan yang setara. Dalam hubungan ini, tak boleh ada relasi asimetris dan hirarkis. Semua egaliter. Menolaknya, berarti melanggengkan praktik feodalisme.

“Jadi ada upaya untuk menolak kesetaraan itu dengan menggunakan kekekluargaan, dan ini manipulatif” ujar Eva yang juga merupakan Koordinator Koalisi Sipil untuk RUU PPRT.

Jalan Panjang RUU PPRT

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi upaya menghapuskan perbudakan modern. RUU PPRT berisi pengakuan PRT sebagai pekerja. Tujuan utamanya saat ini sederhana, mengubah mindset masyarakat tentang PRT.

“Kalau PPRT ini disahkan, kan artinya ada definisi profesi yaitu pekerja. Kalau kemudian para perempuan ini disebut pekerja rumah tangga, bukan pembantu rumah tangga maka para pekerja ini berhak atas hak-hak normatif sebagai pekerja” jelas Eva.

Hak-hak normatif inilah yang menghindarkan PRT dari perbudakan. RUU PPRT memuat asas kekeluargaan dan gotong royong.

Kekeluargaan di sini didefinisikan sebagai hubungan yang setara dan saling menghormati antara pemberi kerja dan PRT. Sementara asas gotong royong ditunjukkan pada sinergi pemberi kerja yang membayarkan iuran kesehatan maupun ketenagakerjaan PRT-nya.

Pentingnya pengesahan RUU PPRT juga dirasakan Yuli Maheni. Selama berorganisasi, Heni sering menemukan kasus-kasus PRT yang diperlakukan semena-mena karena minimnya perlindungan hukum.

Misalnya pada 2020 lalu, Heni pernah mendampingi PRT yang dipotong gajinya karena izin sakit. Ketika dimediasi, sang pemberi kerja marah-marah.

Lha kenapa saya harus dituntut, kan nggak ada undang-undangnya” Heni menirukan pemberi kerja tersebut dengan sinis.

Tak adanya batasan dalam kerja-kerja PRT membuat pemberi kerja akhirnya semena-mena. Ini sebabnya, RUU PPRT penting untuk memberi batasan tersebut.

“Biasanya kita kalah debat sama majikan. Kita dibenturkan karena nggak punya aturan. Aturannya nggak jelas” tambah Heni.

Eva menjelaskan dengan RUU PPRT, negara bisa menyelamatkan konsep kekeluargaan dan gotong royong sehingga sesuai dengan norma norma yang ada di Pancasila. Akhirnya tidak ada penindas maupun yang ditindas.

RUU PPRT mulai diusulkan pada 2004 silam. 19 tahun berlalu, RUU ini hanya berputar di DPR RI. Butuh proses panjang hingga RUU PPRT masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) di DPR sejak 2010.

Dari 2014 sampai 2018, RUU PPRT mandek di daftar tunggu Prolegnas. Sejak 2019, RUU PPRT akhirnya menjadi Prolegnas prioritas tahunan. Baru pada Juli 2020, RUU ini dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan menjadi naskah akademik.

Pada Agustus 2022, Kantor Staf Presiden (KSP) membentuk Gugus Tugas RUU PPRT untuk mempercepat pengesahan RUU ini. Dorongan makin kuat ketika Presiden Joko Widodo pada Rabu (18/2/2023) mendesak pengesahan RUU PPRT.

Angin segar bersambut pada Sidang Paripurna DPR RI Selasa (21/3/2023). RUU PPRT akhirnya disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR RI. Pengesahan RUU PPRT menjadi UU pun makin dekat. Paska ditetapkan sebagai RUU Inisiatif, Daftar Inventaris Masalah (DIM) segera disiapkan pemerintah untuk dibahas secara resmi oleh Baleg DPR RI.

Setelah DIM disetujui Baleg, keputusan tingkat pertama akan diambil. RUU PPRT selanjutnya akan dibahas dalam Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk diparipurnakan. Jika semua sepakat, RUU PPRT akan sah menjadi Undang-Undang.

Sejarah memang menempatkan PRT sebagai pembantu, bukan pekerja. Namun, kondisi ini bisa diubah dari upaya negara mengakui PRT sebagai pekerja lewat UU PPRT.

Menurut Eva, PRT diinformalkan bukan karena kondisi sejarah atau sosial budaya. Melainkan ketidakhadiran negara untuk mengurusnya.

“Jadi soal formal atau informal itu sebenarnya soal politik. Apakah negara mau ngurus apa enggak. Kalau negara enggak mau ngurus ya dimasukan ke sektor informal” jelas Eva.

Meningkatkan Daya Tawar PRT

Yuli Maheni mengungkapkan pentingnya PRT meningkatkan daya tawarnya. Hal ini yang berusaha ditumbuhkan Heni ketika mendirikan SPRT Tunas Mulia.

Heni menjadi PRT sejak usia 16 tahun, tepatnya pada 1991. Setelah empat tahun bekerja di Jakarta, Heni kembali ke Yogyakarta. Heni kemudian bekerja sebagai PRT di kawasan Godean, Sleman.

Di perumahan tempat Heni bekerja, ada sebuah kelompok pengajian PRT yang dibentuk oleh takmir masjid bernama Al Mawah. Kelompok ini kemudian menjadi awal mula para PRT berorganisasi.

Pada 1999, sebuah LSM yang fokus pada isu PRT, Rumpun Tjut Nyak Dien (RTND) melakukan pendampingan pada kelompok tersebut. Tak hanya menambah keterampilan kerja, RTND juga memberi pendidikan yang membuka wawasan. Para PRT yang dimotori oleh Heni kemudian membentuk Organisasi Pekerja Rumah Tangga (Operata).

“Itu awalnya juga kucing-kucingan, karena majikan banyak yang menolak kalau PRT-nya berorganisasi. Awalnya curiga sampai kita peremuan aja diintip majikan itu pernah” kenang Heni.

Namun, hal ini tak menghentikan Heni dan kawan-kawan berorganisasi. Bersama RTND, PRT kemudian diajari tentang daya tawar. Wawasan tentang HAM, gender, hak dan kewajiban PRT juga terus diajarkan. Heni kemudian menyadari, bahwa pekerjaan PRT punya banyak masalah.

“Ternyata selama itu kebebasan kita dirampas” tambahnya.

Operata yang awalnya hanya ada di Godean, kemudian muncul di daerah-daerah lain di Yogyakarta. Pada 2003, Heni mendirikan Serikat PRT Tunas Mulia DIY untuk menaungi komunitas-komunitas PRT tersebut.

Menurut Heni, PRT harus punya daya tawar untuk bisa melawan kerentanannya. Upaya ini dilakukan mulai dari menyadarkan PRT akan hak-haknya sebagai pekerja.

Heni menyebut banyak PRT yang hanya tahu kewajibannya, tapi tidak pada hak-haknya. Inilah yang membuat PRT kerap dieksploitasi oleh pemberi kerja.

Pengetahuan tentang hak-hak PRT akhirnya membuat PRT menyadari bahwa pekerjaannya bernilai. Menjadi PRT disadari bukan sesuatu yang rendah dan memalukan.

“Saya enggak malu kok kerja jadi PRT. Kita harus mengakui bahwa pekerjaan kita itu berharga. Kita koar-koar kerja layak PRT kalau PRT enggak bangga dengan kerjaan sendiri ya gimana” pungkas Heni.

Ketika PRT paham akan hak-haknya, kemampuan untuk bernegosiasi akan muncul. Hal ini yang juga dirasakan oleh Sumi. Di sela-sela pekerjaannya sebagai PRT, sejak 2012 Sumi dipercaya menjadi ketua Operata Kwarasan yang merupakan bagian dari SPRT Tunas Mulia.

Setelah berorganisasi, Sumi mulai paham akan hak upah, cuti, dan istirahat sebagai PRT. Akhirnya Sumi menyadari, bahwa ia pernah mengalami bentuk perbudakan modern.

Apa yang dikerjakan Sumi di Jakarta masuk dalam kategori kerja PRT. Namun, hubungan keluarga membuatnya bias. Eva Kusuma Sundari setuju yang dialami Sumi adalah bentuk perbudakan.

“Kalau namanya pekerja kan ada pekerjaan, pemberi kerja, ada yang dikerjakan, basisnya relasi ekonomi berbasis upah tadi. Kalau ngenger kan enggak. Dia disekolahin ya dia harus sekolah, pokoknya bukan pekerja” jelas Eva. “Itu budak namanya karena disuruh kerja kemudian enggak dapat upah” tambahnya.

Meski ikut keluarga sendiri, apa yang dijalani Sumi tidak sama dengan ngenger. Komitmen awal Sumi diajak keluarganya adalah untuk bekerja, bukan untuk sekolah atau kepentingan kontraprestasi lainnya. Ini sebabnya, Sumi harus mendapatkan haknya sebagai pekerja.

“Kita itu kan bukan pembantu, PRT itu pekerja rumah tangga, tapi orang kan enggak paham kayak gitu, ngertinya kan pembantu” jelas Sumi.

Kini setelah berorganisasi, Sumi memiliki keberanian untuk meminta perjanjian kerja dan menegosiasikannya. Di pekerjaannya saat ini, Sumi bekerja paruh waktu, empat kali dalam seminggu.

“Pokoknya saya kalau Minggu minta libur, kalau kerjaan sudah selesai saya minta pulang, saya nggak mau nunggu sampai dia pulang kantor” tambah Sumi.

Hal serupa juga dirasakan Sabar yang sudah sejak 2006 bergabung di Operata Bener di bawah naungan SPRT Tunas Mulia. Dari wawasan yang ia dapat, Sabar punya keberanian menegosiasikan hari liburnya.

“Saya itu libur cuma Minggu, dulu malah nggak ada libur. Setelah itu negosiasi akhirnya dapat hari libur” ujar Sabar.

Damairia Pakpahan menyebutkan keberanian PRT untuk berbicara dengan pemberi kerjanya menjadi salah satu cara menaikkan nilai tawar PRT.

“Pekerjaan di dalam rumah itu juga ada nilanya. Harus dihargai dan dihormati. Dari jam istirahat, ada waktu libur, kamarnya juga layak” ujar Damai yang juga merupakan ketua Komunitas Pemberi Kerja.

Transformasi Budaya

Disahkannya RUU PPRT akan membebaskan Indonesia dari perbudakan. Damai menyebutkan, RUU PPRT bisa menjadi sebuah transformasi budaya. Dari budaya yang penuh hirarkis dan feodal, menjadi menjunjung kesetaraan dan gotong royong.

“UU PPRT ini akan merubah budaya Indonesia. Bahwa tiap orang harus diperlakukan setara, pekerjaan PRT ini harus dihargai. Ada economy compassion” jelas Damai.

RUU PPRT tak hanya memuat perlindungan terhadap PRT, tapi juga pemberi kerja. Di dalamnya terdapat hak-hak apa saja yang diperoleh pemberi kerja. Namun, fokus tetap pada perlindungan PRT.

“Hak PRT itu nomor satu, tapi hak pemberi kerja juga harus diperhatikan. Karena nggak semua PRT itu juga baik. Tapi memang dalam konteks ini, yang punya relasi kuasa itu si pengguna jasa, makanya RUU ini harus benar-benar melindungi PRT. Jadi harus lihat juga relasi kuasa di situ” ujar Damai.

Damai mengungkapkan apa yang dialami Sumi juga menggambarkan minimnya kesadaran tentang nilai ekonomi PRT. Ini sebabnya, RUU PPRT hadir untuk mengubah mindset bahwa kerja PRT setara dengan kerja-kerja lainnya.

“Kesadaran bahwa pekerjaan domestik bernilai belum ada. Di PRT sendiri dulu masih belum paham. Termasuk si pemberi kerjanya juga enggak sadar atau enggak mau tahu” jelasnya.

Transformasi budaya inilah yang akan menaikkan taraf hidup PRT. UU PPRT nantinya akan membentuk sistem dan menaikkan kelas bangsa Indonesia yang menjunjung kesetaraan. Kesetaraan inilah yang dinantikan oleh Sumi, Sabar, dan lebih dari 4,2 juta PRT di Indonesia.

“Berharapnya setelah ada RUU ini, tidak ada lagi PRT yang merasakan seperti saya. Tetap dapat gaji meski kerja di tempat saudara sendiri” harap Sumi.

Related Articles

Leave a Comment