tungkumenyala.com – “Karno, yang utama kamu harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia pada umumnya,” adalah perkataan Sarinah terhadap Soekarno kecil. Perkataan itu pula yang kemudian menjadi api yang membakar semangat Bung Karno memimpin kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perkataan dahsyat itu tidak keluar dari seorang putri raja. Tidak pula datang dari putri pembesar agama atau saudagar. Perkataan itu adalah milik seorang perempuan sederhana yang tinggal bersama keluarga Soekarno di Tulungagung.
Perempuan tersebut adalah Sarinah yang membantu pekerjaan sehari-hari keluarga Soekarno, termasuk mengasuhnya di waktu kecil. Jika Soekarno hidup di masa modern seperti sekarang ini, tentulah Sarinah bisa disebut sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam keluarga Soekarno.
Menilik sejarah, profesi PRT memiliki histori panjang yang sulit diurai asal muasalnya. Sebelum sampai pada formalisasi penyebutan PRT, Indonesia yang memiliki beragam bahasa ini punya banyak istilah yang memiliki makna serupa atau setidaknya mengarah ada profesi PRT, beberapa di antaranya adalah budak, abdi, batur, bedinde, dan ngenger.
Kesemuanya memiliki karakteristik yang sama, yaitu seseorang yang melakukan pekerjaan di wilayah domestik. Namun demikian, dari masa ke masa, dari sejak zaman feodal, kolonial, maupun sekarang, isu yang menghinggapi PRT tetap berkutat pada hal-hal yang sama.
Profesi ini kerapkali rawan terhadap kekerasan dan pelecehan. Isu seputar kelayakan pekerjaan, termasuk di dalamnya mengenai jam kerja, pengupahan, serta jaminan sosial juga masih menjadi isu yang menghinggapi PRT. Selain itu, karena pekerjaan ini seringkali sangat erat kaitannya dengan ranah domestik, maka profesi ini seringkali dianggap tidak memiliki nilai ekonomis.
Isu seputar kelayakan pekerjaan, termasuk di dalamnya mengenai jam kerja, pengupahan, serta jaminan sosial masih menjadi isu yang menghinggapi PRT. Selain itu, karena pekerjaan ini berada di ranah domestik, maka profesi ini seringkali dianggap tidak memiliki nilai ekonomis.
Kompetensi memasak, mencuci, merawat kebun, mengurus rumah dan mengasuh anak sering dikategorikan sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tinggi dan lebih lekat terhadap sifat-sifat alami perempuan. Begitu mengakarnya pemahaman tersebut, maka profesi ini dalam banyak kasus dipandang sebelah mata.
Kecenderungan pemahaman ini dapat dianalisis dari sudut pandang Hegel. Mungkin teori ilmiah yang paling dekat dalam menganalisis keberadaan profesi ini adalah dengan menggunakan kacamata filsuf Jerman Hegel. Menurutnya, ada jurang pemisah antara borjuasi dan proletar, dan kehidupan serta martabat kaum proletar diinjak-injak oleh orang-orang hebat. Di mata mereka, proletariat ini hidup hanya dengan orang-orang borjuis yang menerima apa adanya, asalkan bisa bertindak sebagai majikan, bekerja, mendapatkan upah, dan bertahan hidup dengan keluarganya.
Padahal, sebagaimana profesi-profesi lainnya, profesi sebagai PRT juga memiliki nilai ekonomi. Ketika kita bicara mengenai PRT, tentu saja kita tidak hanya bicara mengenai mereka yang memilih untuk berprofesi sebagai PRT di dalam negeri, tapi juga di luar negeri atau lazim disebut sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Data menunjukkan bahwa kiriman uang yang secara resmi tercatat di seluruh dunia di tahun 2006, sebanyak 156 juta dolar AS mengalir ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Maka, tidak salah jika media seringkali melabeli PRT Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai pahlawan devisa. Di luar nilai yang tercatat secara resmi, tentu tidak terhitung berapa banyak adik yang bisa disekolahkan, rumah yang bisa dibangun, serta orangtua yang dibantu yang bersumber dari penghasilan PRT. Namun demikian, PRT masih belum bekerja dengan kondisi layak.
Sudah sebelas tahun berlalu sejak Konvensi ILO 189 yang menelurkan Rekomendasi 201 tentang Kerja Layak PRT, perbaikan kehidupan bagi PRT tidak terlihat signifikan adanya. Perubahan yang tidak signifikan ini bisa dilihat salah satunya dari bagaimana keseriusan DPR RI sebagai representasi rakyat dalam menindaklanjuti Rancangan Undang-Undang mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ( RUU PPRT).
Sejak pertama kali diusulkan pada tahun 2004, belum ada kebaruan yang bersifat signifikan mengenai RUU PPRT ini. Meskipun masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR pada periode 2004-2009 serta menjadi Prioritas Tahunan berturut-turut sejak tahun 2010 sampai dengan 2014, menunggu pengesahan ini semakin lama semakin terasa jauh panggang dari api. Tentu saja, yang kasat mata adalah studi banding yang dilaksanakan DPR atas RUU ini ke Argentina serta Afrika Selatan.
Sudah 18 tahun sejak RUU ini diusulkan, rapat paripurna mengenai RUU ini belum juga disahkan sebagai RUU inisiatif DPR. Padahal, RUU ini bicara tentang sekitar 5 juta jiwa manusia yang ada di Indonesia (proyeksi pada 2021) dimana sebagian besar di dalamnya adalah perempuan. Tanpa adanya payung hukum mengenai definisi serta lingkup kerja PRT, masihlah jauh bicara soal kelayakan bekerja serta pemenuhan hak-hak.
Alih-alih menemukan Sarinah baru dalam PRT sekarang ini, kita justru dipaksa mengalirkan tangis atas cerita Sunarsih, remaja 14 tahun yang mengadu nasib dari Pasuruan ke Surabaya. Dalam perjalanannya, Sunarsih ternyata bukan hanya mengantarkan jasa dan keterampilannya, tapi juga menghantarkan nyawanya.
Maka tidak heran, alih-alih menemukan Sarinah Sarinah baru dalam PRT sekarang ini, mata dan hati kita dipaksa mengalirkan tangis atas cerita Sunarsih Sunarsih lainnya, yaitu remaja 14 tahun yang mengadu nasib dari Pasuruan ke Surabaya. Dalam perjalanannya, Sunarsih ternyata bukan hanya mengantarkan jasa dan keterampilannya, tapi juga menghantarkan nyawanya.
Sebagai gambaran, Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sepanjang 2015 – 2022 terdapat 3.255 kasus kekerasan yang dialami oleh PRT di Indonesia dimana kasusnya mengalami kecenderungan untuk terus meningkat setiap tahunnya. Melihat kenyataan seperti itu, dapat kita simpulkan bahwa mencapai titik bekerja dengan layak bagi para PRT masih jauh dari angan. Mungkin, nasib PRT seperti labelnya sebagai pahlawan pada umumnya, banyak jasanya tapi tidak terlihat apresiasinya.
Selama PRT mesih menjadi profesi marjinal yang rentan dengan diskriminasi, selama itu pula negara gagal menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dalam melindungi segenap bangsa Indonesia. Padahal, kekhasan dan keunikan dinamika yang ada pada profesi ini justru seharusnya memberikan pencerahan kepada para pembuat kebijakan untuk segera mengesahkan RUU PRRT. Jika profesi PRT tidak dianggap memberikan nilai ekonomi yang konkret, maka ada pula yang juga tidak ternilai betapa berharganya, yaitu nyawa para PRT ini.
Jika kita kembali kepada kalimat pembuka dalam artikel ini, kita belajar bahwa Sarinah adalah cerita tentang cinta. Padanya, proklamator negara ini belajar tentang cinta. Melalui Sarinah yang adalah PRT, Presiden Soekarno belajar tentang cinta yang lebih besar, yaitu cinta pada rakyat serta cinta pada kemanusiaan itu sendiri. Dan atas nama kecintaan terhadap kemanusiaan itu pula, negara berhutang untuk memberikan payung hukum agar PRT bisa bekerja dengan layak serta terpenuhi hak-haknya.
(Artikel ini adalah pemenang lomba artikel mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diselenggarakan Konde.co dan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE)