Kami bekerja dengan tekun dari pagi ke malam hari, hanya demi sesuap nasi dan hidup yang lebih baik dari hidup kami sebelumnya. Kami lalu memperjuangkan upah layak, kerja yang layak agar hidup kami layak. Karena pekerja rumah tangga adalah orang yang bekerja pada pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan kerumah tanggaan untuk memperoleh upah.
Dan kenapa PRT disebut sebagai pekerja? Karena PRT mempunyai unsur kerja. Antara lain adanya pemberi kerja, adanya perintah kerja, adanya upah kerja, dan beban pekerjaan. Oleh karenanya kami berhak mendapatkan kerja layak sesuai dengan kesepakatan antara pemberi kerja dan PRT itu sendiri.
Namun ternyata kami masih sulit untuk mendapatkan itu semua. Saya pernah membaca tulisan dari Tri Joko Sri Haryono, Pinky Saptandari Endang P., dan Siti Mas’udah tentang membangun kerja layak Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai upaya perlindungan pada kelompok marjinal. Disebutkan bahwa pekerjaan sebagai PRT adalah sumber penghasilan bagi perempuan. Terutama perempuan pedesaan yang seringkali memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan rendah, berasal dari daerah pedesaan miskin serta kesempatan kerja terbatas. Kehadiran PRT ini merupakan gejala umum untuk meningkatkan ekonomi bagi PRT, sehingga mereka datang ke kota-kota besar.
Permasalahan yang sering muncul adalah tidak adanya PRT dalam memperoleh hak-hak dasar seperti usia minimum bekerja, kondisi tempat kerja, batas waktu kerja, perlindungan dari kekerasan, waktu istirahat, waktu cuti, menu makanan, akses kesehatan, upah minimum, tidak memiliki organisasi dan kebijakan yang melindungi PRT. Salah satu solusi terkait dengan permasalahan tersebut, perlunya membangun kerja layak bagi PRT
Di tengah kondisi PRT di Indonesia yang masih digaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR), maka jaminan sosial ini sangat penting untuk sekaligus diperjuangkan. Jika tidak, maka kehidupan para PRT sangat jauh dari layak.
Menurut data International Labour Organization (ILO) berdasarkan survei di tahun 2015, jumlah PRT di Indonesia sudah mencapai 4,2 juta orang. Sebagai PRT, kami rata- rata-rata hanya mendapatkan pendapatan sekitar 20%-30% dari upah minimum regional (UMR). Sehingga bisa dikatakan kami masih jauh menerima jauh dari upah yang layak. Selain tidak mendapatkan upah yang layak, PRT juga belum mendapatkan hak jaminan sosial, yakni jaminan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan.
Semoga Pemimpin negeri ini mendengarkan ini dan segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT yang sudah lama sekali kami impikan untuk mengentaskan hidup kami agar lebih baik dari hidup sebelumnya.