tungkumenyala.com – Masih banyak orang yang memandang sebelah mata pekerjaan pekerja rumah tangga (PRT). Padahal eksistensi PRT nyata dan sangat mendukung produktivitas jutaan keluarga di Indonesia dan roda perekonomian nasional.
Keberadaan PRT mendukung jutaan pekerja formal dan pejabat negara dalam melakukan aktivitasnya. Namun demikian, keberadaan PRT masih diabaikan dan kerja-kerja mereka tak dihargai. Posisi PRT yang bekerja di balik tembok majikan juga rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan tapi minim perlindungan. Kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikis maupun kekerasan ekonomi seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan PRT.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi PRT (JALA PRT), Lita Anggraini mengatakan setiap hari pihaknya menerima 10 hingga 11 pengaduan terkait kekerasan yang dialami PRT di sejumlah kota di Indonesia. Beberapa di antaranya berakibat fatal yang mengakibatkan cacat seumur hidup atau bahkan kematian.
Sehingga ia tak habis pikir, mengapa pimpinan DPR tak juga tergerak untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT ((RUU PPRT) yang tahun ini sudah menapaki tahun ke-19 dibahas di DPR.
“Penundaan sehari, berarti menambah jumlah PRT yang menjadi korban kekerasan. Harus menunggu berapa banyak korban lagi?” tegas Lita dalam berbagai kesempatan.
Lita mengancam, ia bersama PRT akan melakukan mogok makan massal, jika hingga peringatan Hari PRT Nasional pada 15 Februari RUU PPRT tak juga disahkan. Berbagai upaya juga terus dilakukan sejumlah masyarakat sipil untuk mengetuk hati anggota dewan khususnya Ketua DPR Puan Maharani untuk mengesahkan UU PPRT ini.
Tak seperti UU lainnya, perjalanan RUU PPRT memang sangat berliku. UU ini diperjuangkan sejak tahun 1999 dan baru bisa masuk ke Parlemen pada 2004. Namun, setelah masuk ke DPR pada tahun 2004 dan menjadi prioritas pembahasan dalam beberapa periode, sampai saat ini RUU PPRT masih berupa draft yang mandek di Baleg DPR RI.
Sebenarnya, sejak tahun 2010 RUU PPRT sudah masuk pembahasan di Komisi IX DPR. Bahkan Komisi IX sempat mengadakan riset di 10 Kabupaten/Kota pada tahun 2010-2011. Pada tahun 2012, sudah diadakan uji publik di tiga kota besar yakni Makasar, Malang dan Medan. Di tahun yang sama DPR juga telah mengadakan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina.
Namun, hingga Pemilu 2024 di depan mata nasib RUU PPRT masih tetap menggantung. Bahkan ketika orang nomor satu di Indonesia alias Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan agar RUU PPRT segera dibahas dan disahkan, pimpinan DPR tetap tak bergeming. Puan Maharani, dengan alasan menjaga kualitas, menyatakan DPR tidak akan terburu-buru mengesahkan RUU PPRT.
“Penundaan sehari, berarti menambah jumlah PRT yang menjadi korban kekerasan,” tegas Lita dalam berbagai kesempatan.
UU yang diidamkan PRT dan Pemberi Kerja
Menilik kondisi saat ini, secara umum PRT bisa dibedakan menjadi PRT yang menginap di rumah pemberi kerja, namun ada juga pulang pergi sesuai jam kerja, datang jam 08.00 WIB pulang jam 16.00 WIB. Ada juga yang paruh waktu, yaitu datang menyelesaikan pekerjaan seperti beres-beres rumah, mencuci, menyetrika kemudian setelah selesai pekerjaan pulang.
Untuk kategori yang terakhir ini, seorang PRT dalam sehari bisa bekerja di beberapa rumah tangga, karena jam kerja mereka relatif pendek yakni maksimal hanya 3 jam.
Sementara lingkup pekerjaan PRT sangat berbeda dan bervariasi antara rumah tangga yang satu dengan yang lainnya sesuai kebutuhan pemberi kerja. Ada PRT khusus memasak, ada yang khusus membersihkan rumah, mencuci baju dan menyetrika, ada yang hanya mengasuh bayi/balita/anak-anak (pada rumah tangga tertentu sudah menggunakan jasa baby sitter).
Tapi ada juga yang all in artinya seorang PRT menyelesaikan semua pekerjaan yang ada mulai dari mengurus bayi/anak, memasak dan juga membersihkan rumah, mencuci baju dan menyetrika. PRT jenis ini tinggal di rumah pemberi kerja dan seluruh kebutuhan hidupnya ditanggung oleh pemberi kerja.
Gaji dan THR atau penghasilan lainnya untuk PRT secara normatif tidak ada standarnya, tergantung harga pasaran setempat atau kesepakatan pemberi kerja dengan PRT.
Besaran upah juga berkaitan dengan lingkup pekerjaannya serta menginap atau tidak. Kenaikan gaji juga tidak diatur, hanya kesepakatan pemberi kerja dan PRT. Demikian pula dengan besaran THR, berbeda-beda karena tidak ada aturannya. Tergantung kesepakatan awal atau kemurah hatian pemberi kerja.
Dari sisi pemberi kerja, biasanya persyaratan utama yang diinginkan adalah PRT yang jujur dan dapat dipercaya. Sebab PRT ini akan ditinggal di rumah sendirian dan/atau mengasuh anak, sementara pemberi kerja bekerja ke luar rumah (kantor).
Beberapa hal yang dikeluhkan pemberi kerja biasanya ketrampilan PRT yang rendah. Tak jarang, PRT yang baru pertama kali bekerja, mereka belum bisa cara mencuci dan menyetrika yang benar, mencuci dan mengepel asal-asalan dan tidak bersih, kurang bisa menjaga kebersihan dapur dan kamar mandi, dan belum bisa mengoperasikan alat-alat elektronik seperti mesin cuci, vacuum cleaner atau bahkan rice cooker.
Ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam RUU PRT agar dapat menjawab kebutuhan pemberi kerja dan PRT secara adil. Pemberi kerja butuh jasa PRT untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, sebaliknya PRT butuh penghasilan, pengakuan dan perlakuan yang layak untuk kehidupannya.
PRT juga butuh perlindungan dari kemungkinan perdagangan orang dan praktik perbudakan yang hingga saat ini masih banyak ditemukan. PRT juga membutuhkan perlindungan sosial bagi kehidupan dir dan keluarganya.
Untuk itu dibutuhkan payung hukum yang mengatur dan menjamin kebutuhan baik PRT maupun pemberi kerja yang dalam hal ini dituangkan dalam RUU PPRT.
Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya dalam berbagai kesempatan mengatakan, draft RUU PPRT yang ada saat ini sudah sangat fleksibel dan banyak mengalami perubahan demi mengakomodasi penolakan dan keberatan dari berbagai pihak. Sehingga, menurutnya tak ada lagi alasan untuk menolak.
“Jika ada kekhawatiran atau ada yang ingin dipertanyakan bisa didiskusikan,” ujarnya dalam jumpa pers yang digelar Koalisi Sipil untuk UU PPRT pada 18 Januari 2023 lalu, atau beberapa saat usai Presiden menyatakan dukungannya untuk mengesahkan RUU PPRT.