Dalam sebuah acara reuni, salah satu teman mengaku prihatin pada saya. “Kasihan orangtuamu biayai kamu sampai SMA, tapi kamu cuma jadi babu,” ujarnya. Tanpa butuh pengakuan darinya, saya ingin membuktikan kalau saya bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain.
Oleh: Mundriyah
Nama saya Mundri. Pertama kali bekerja, saya tidak bekerja sebagai PRT. Saya menjadi karyawan di salah satu ritel terbesar di Jakarta. Saat itu, tahun 2006, saya baru lulus SMA dan langsung merantau ke Jakarta. Sekolah saya menawarkan pekerjaan pada para siswanya. Menjanjikan jenjang karir dengan biaya Rp1.500.000,00. Saya dengan lima teman lainnya mendapat gaji Rp750.000,00 per bulan selama 3 bulan masa percobaan.
Selang beberapa bulan, lebaran tiba. Sebagai karyawan baru, saya hanya mendapat libur selama 1,5 hari saat hari-H lebaran. Saya jelas tidak mau. Saya nekat pulang ke kampung dengan konsekuensi pemecatan. Beberapa hari setelah lebaran, saya kembali ke Jakarta dan ternyata saya benar-benar dipecat.
Suatu ketika, Bu Marni (alm) sedang berbicara di telpon menggunakan bahasa Inggris. Setelah ia selesai berbicara, saya bertanya ia lulus dari sekolah mana dan saat ini sedang bekerja sebagai apa. Ia menjawab bahwa ia bekerja sebagai seorang koki di rumah orang Norwegia. Saya yang saat itu sudah dipecat dan sedang mencari pekerjaan, langsung mengatakan ke Bu Marni kalau saya juga ingin kerja sepertinya. Namun, saya tidak bisa bahasa Inggris. Bu Marni menjawab bahwa majikannya sedang membutuhkan baby sitter dan bersedia membiayai kursus bahasa Inggris khusus untuk saya.
Selanjutnya, saya pun diwawancarai. Saya membawa surat lamaran pekerjaan seperti saat melamar di tempat kerja sebelumnya. Saya pun diterima dan esoknya langsung bekerja di sana.
Majikan saya sangat baik. Saya tidak hanya dibiayai kursus bahasa Inggris, tetapi juga didaftarkan kuliah di BSI.
Akhir tahun 2009, majikan saya pindah ke Swedia. Ia menyampaikan kalau kantornya membutuhkan seorang front officer dengan gaji Rp1.500.000,00. Ia menawarkan posisi itu pada saya. Setelah mempertimbangkan dari segi ekonomi, saya memutuskan untuk menolak posisi tersebut. Saya lebih memilih tetap menjadi baby sitter dengan gaji Rp2.500.000,00 per bulan. Itu pendapatan bersih untuk saya karena biaya makan, toiletries, biaya lembur (overtime) juga dibayar oleh majikan saya. Saya pun sudah nyaman menjadi pengasuh (nanny).
Majikan Mesti Menghargai PRT
Pengalaman menegangkan terkait pekerjaan PRT pernah terjadi pada saya. Suatu ketika, pada pukul 02:18 WIB menjelang fajar pagi, saya terbangun karena mendengar anjing majikanku terbatuk-batuk seperti tersedak sesuatu. Seketika, saya terperanjat dari tempat tidurku dan langsung pergi mengecek kondisinya. Ternyata, ia memang sedang muntah-muntah.
Saya pun pergi mengambil kain lap dan embersihkan lantai. Pikiran saya berkecamuk. Saya takut sesuatu terjadi pada anjing majikan saya. Sebab, tanggung jawab saya untuk menjaganya.
Majikan saya memiliki 2 ekor anjing yang beratnya kira-kira mencapai 80 kg. Bisa dikatakan, besarnya hampir seukuran manusia. Satu jantan berwarna hitam, usia sekitar 7 tahun, dipanggil Fezzi. Satunya lagi, betina berwarna cokelat tua, usia sekitar 12 tahun bernama Stella. Stella rentan sakit karena sudah tua.
Saat itu, majikan sedang pergi ke luar kota. Saya diminta tidur di kamar di area luar dekat garasi agar bisa menemani kedua anjingnya. Majikan saya takut terjadi apa-apa, terutama pada Stella yang sering sakit-sakitan.
Sambil membersihkan muntahan Stella, saya bertanya-tanya, apa yang salah dengan Stella? Apa yang ia makan sebelumnya? Apa yang diminumnya sehingga ia bisa menyebabkan ia muntah? Saya pun galau. Apakah saya juga harus mengabari majikan saya tentang kondisi Stella, padahal hari masih tengah malam. Karena bingung harus bagaimana, saya terus terjaga hingga pukul 7 pagi. Saya pun memutuskan untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Stella pada majikan saya.
Saya memberanikan diri menelpon majikan. Sungguh, perasaan saya tidak karuan. Tangan juga gemetaran karena takut majikan marah. Saat nada telpon berbunyi, begitu pula dengan irama detak jantungku yang seperti genderang sampai akhirnya majikan saya mengangkat telponnya.
“Selamat pagi, Susi. Apa kabar? Apakah semua baik-baik saja?”
Dengan suara gemetar, saya coba untuk menjawab dan menceritakan apa yang terjadi semalam. Saya mengakhiri cerita dengan berkata:
“Maaf, saya tidak tahu apa penyebabnya dan saya juga bingung kenapa bisa begitu.”
Ia menjawab, “Tidak apa-apa, Susi. Itu wajar dan sering terjadi karena Stella sudah tua dan terkadang memang sering tersedak sendiri saat sedang tidur. Maaf saya belum pernah cerita ke kamu kalau Stella memang sering mengalami itu,” kata majikan saya menjelaskan pada saya.
Kemudian, sambil tertawa, ia berkata, “Sekarang kamu tidur lagi, aku yakin kamu tidak tidur semalam setelah Stella muntah. Terima kasih sudah kasih kabar ke saya ya,” ucapnya.
Perasaan saya sangat lega setelah mendengar penjelasan dari majikan saya. Seperti terlepas dari beban yang berat. Kekhawatiran saya pun berkurang. Sambil tertawa bahagia, saya pun membalasnya, “Baiklah. Terima kasih banyak, saya akan kembali tidur. Semoga harimu menyenangkan!” Telpon saya tutup, dan saya pun berucap syukur, “Alhamdulillah.”
Tidak mudah melakukan tanggung jawab sebagai PRT. Saya harus terbangun di tengah mala karena tanggung jawab dan perintah kerja yang diamanatkan majikan. Begitu pun, tidak semua majikan akan mengerti dan mendengar penjelasan dari PRT-nya. Saya sangat bersyukur bekerja pada majikan yang mau mengerti dan mendengar penjelasan saya. Semoga majikan-majikan lainnya juga melakukan tindakan yang sama seperti majikan saya.
Perjuangan Membuka Usaha Sendiri
Awalnya, pada tahun 2012, saya lalu membuka usaha warung nasi padang untuk mengubah nasib saya. Saat itu, paklik saya menanyakan jumlah tabungan saya. Setelah saya bercerita, ia memberi ide untuk membuka usaha warung nasi padang seperti yang sudah ia lakukan sebelumnya. Mula-mula saya ragu, tetapi karena dukungan paklik saya begitu besar, saya pun berani mencoba.
Pada Minggu pertama saya buka warung, alhamdulillah lancar. Minggu kedua agak sepi. Memasuki bulan kedua, makin sepi. Bahkan, pernah beberapa kali nasi yang baru diangkat dari tempat menanak nasi, sudah basi. Ada yang berkata bahwa ada yang berniat tidak baik pada saya, bisa jadi saingan bisnis saya, dll. Namun, paklik terus mendukung saya.
Saya keluarkan modal lagi dari awal. Saya tanya kyai, dan kemudian saya bikin acara yasinan. Alhamdulillah, usaha saya kembali bangkit dan lebih rame dari sebelumnya. Omset penjualan mencapai belasan juta rupiah per bulan. Meski begitu, saya tetap bekerja sebagai PRT.
Tahun 2014, masa kontrak ruko tempat warung saya habis. Pemilik ruko ingin menjual rukonya tersebut. Alhamdulillah, atas izin Allah, saya bisa membeli ruko tersebut meski lewat kredit bank. Sampai sekarang saya masih mencicil kredit yang tinggal beberapa bulan lagi tersebut. Awal membuka warung, pekerja saya hanya 3 orang, dan kini menjadi 8 orang.
Pada tahun 2016, saya mencoba menambah usaha dengan membuka kantin. Saya sangat bersyukur, kantin saya ramai pembeli. Pembukuan keuangan juga lancar. Awal tahun 2017, keponakan suami saya tidak bekerja. Akhirnya, saya menyerahkan urusan kantin padanya. Saat awal berjalan, usaha masih bagus.
Namun, lama-kelamaan, pemasukan terus menurun sementara belanja selalu banyak dan habis. Saya meminta kejelasan, tetapi malah berujung ribut dengan kakak ipar. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan suami, saya pun menutup usaha kantin tersebut.
Ekonomi Membaik, Tetapi Tetap Dipandang Rendah Karena Menjadi PRT
Alhamdulillah, sekarang saya sudah bisa beli rumah, dan memiliki usaha sendiri meski skala kecil. Meski kehidupan ekonomi saya meningkat sejak menjadi PRT, tetapi masih ada saja yang memandang rendah pekerjaan saya sebagai seorang PRT.
Dalam sebuah acara reuni, salah satu teman yang dulunya sama-sama bekerja di ritel di Jakarta itu mengaku prihatin pada saya.
“Kasihan orangtuamu biayai kamu sampai SMA, tapi kamu jadi babu,” ujarnya.
Saya mencoba bersikap biasa saja. Tanpa butuh pengakuan darinya, saya bisa membuktikan kalau saya bisa menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Sekarang, adiknya justru bekerja di warung milik saya. Saat temanku meminta aku mempekerjakan adiknya, saya bilang saja, “Usaha saya hasil kerja babu lho, apa masih mau kerja di warungku?” Ia pun jadi malu.
Pengalaman saya bisa jadi pelajaran bagi orang lain. Jangan pernah merasa rendah diri jika kita berada di jalur yang benar. Kalau Allah berkehendak, apa pun bisa terjadi.
Jika diceritakan panjang lebar, pengalaman hidup saya begitu pahit. Sewaktu masih kelas 3 SD, ayah saya meninggal. Ibu membawa saya merantau di Jakarta. Di sana, ia bekerja. Lainnya, kisah pekerjaan saya sebagai PRT yang sempat bergonta-ganti majikan. Tidak hanya itu, saya pun menjalani pernikahan yang hanya seumur jagung, membesarkan anak dan mencari nafkah sendirian.
Namun seiring berjalannya waktu, anak saya mulai tumbuh besar, jiwa pun mulai menemukan ketenangan. Kini bahagia begitu terasa karena keluarga yang mau saling mendukung satu sama lain meski saya sempat berada di titik terendah dalam hidup. Saya mencoba bangkit dari keterpurukan.
Dulunya, saya tidak berani bercerita pada keluarga karena berpikir mereka sudah punya masalah kehidupannya sendiri. Namun, ketika tidak lagi kuat, saya memberanikan diri bercerita pada mereka. Tidak disangka, ternyata mereka sangat mendukung saya. Jika tidak bercerita, mereka berpikir kalau saya baik-baik saja, padahal tidak.
Saya belajar bahwa ternyata memang benar kalau keharmonisan dalam keluarga sangat penting. Itulah yang membuat saya kuat sampai saat ini.
MUNDRIYAH
Aktif di Organisasi Pekerja Rumah Tangga (PRT)