tungkumenyala.com – Pada tahun 2014, saya pulang kembali ke Tanah Air. Ini merupakan ketiga kalinya saya kembali ke tanah air. Sebelumnya saya memang sudah tiga kali mengadu nasib menjadi pekerja migran di luar negeri.
Pertama kali pada akhir 2001, saya mencoba peruntungan dengan bekerja di Singapura sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Di sana, saya mengalami perlakuan buruk oleh majikan yang mempekerjakan saya.
Saya dituduh mencuri tanpa bukti, dan sebagai hukuman saya harus berjalan di mal yang dipenuhi begitu banyak orang dengan kondisi bertelanjang dada. Ada yang mengasihani saya, tapi ada juga yang meneriaki saya maling. Dan itu rasanya sangat sakit sekali karena saat itu saya masih muda dan baru selesai belajar.
Saat itu saya masih berumur 18 tahun dan mengalami hal seperti itu, rasanya trauma sekali. Dalam kondisi trauma, saya harus tetap bekerja tanpa digaji. Saya masih suka menangis jika mengingat hal itu.
Jam kerja saya waktu itu juga lumayan panjang, yakni mulai pukul 5 pagi dan baru selesai setelah lewat tengah malam bahkan kadang dini hari.
Enam bulan kemudian saya pindah dan bertemu dengan majikan baru tetapi masih di Singapura. Beruntung majikan baru saya kali ini baik dan sangat membantu penyembuhan trauma yang saya alami.
Pada saat itu saya sangat ingin punya teman atau menemukan organisasi pekerja rumah tangga. Sayangnya, saat itu belum ada organisasi PRT. Tapi tetap saya berdoa terus semoga suatu hari nanti ada organisasi pekerja rumah tangga.
Dua tahun bekerja di Singapura, saya memutuskan kembali ke tanah air. Kali ini saya menjajal profesi sebagai guru honorer di desa asal saya. Tapi hal ini hanya bertahan satu tahun lantaran kondisi ekonomi keluarga saya tak kunjung membaik.
Saya lalu memutuskan berangkat lagi ke Singapura. Kali ini saya mendapatkan majikan yang baik hati, sehingga saya bertahan agak lama. Selanjutnya saya kerja di Thailand. Dan, kali ini saya bertahan sampai 7 tahun, sehingga saat kembali ke Jakarta saya merasa agak asing.
Tapi beruntung saya dipertemukan dengan dengan serikat pekerja rumah tangga (SPRT) Sapulidi. Awalnya saya menolak bergabung, karena saya hanya ingin bergabung dengan JALA PRT. Tapi kemudian hati saya luluh dengan penawaran kursus bahasa Inggris gratis dan sekolah wawasan yang menjadi program unggulan organisasi.
Dari yang tidak betah tinggal di Jakarta, tapi karena menemukan teman-teman yang luar biasa di organisasi, solidaritas mereka yang luar biasa, sehingga saya menjadi betah di Jakarta. Saat itu sekitar tahun 2014 dan saya bekerja menjadi PRT untuk seorang warga negara asing atau ekspatriat yang tinggal di Jakarta.
Di situ saya juga kembali mengalami kekerasan di tempat kerja. Meski berat saya kuatkan untuk tetap kerja, karena demi biaya sekolah untuk anak-anak dan kontrakan. Tetapi semakin hari saya makin tidak tahan, meski majikan saya mencoba untuk mempertahankan.
Puncaknya adalah saat saya dilempar oleh majikan yang sedang marah karena saya dinilai berbuat salah. Saya hubungi majikan perempuan agar segera pulang dan melaporkan kejadian yang saya alami.
Karena sudah tidak kuat, akhirnya saya memutuskan untuk pamit dan keluar dari tempat kerja. Tapi buntutnya, nama saya di-blacklist dari daftar pencari kerja di lingkungan ekspatriat karena majikan saya melaporkan saya.
Kasus ini pun lantas saya adukan ke JALA PRT. Dan, dengan bantuan Jala PRT nama saya dicoret dari daftar blacklist sehingga saya kembali bisa mencari pekerjaan sebagai PRT untuk ekspatriat. Sementara majikan saya dipulangkan ke negaranya.
Berorganisasi tak sekadar kumpul-kumpul
Saat ini saya menjabat sebagai pengurus pengorganisasian di SPRT Sapulidi Sub Koperata (SK) Depok, Jawa Barat. Saya juga pernah bergabung menjadi tim kampanye Jaringan Nasional untuk Advokasi PRT (Jala PRT).
Bersama kawan-kawan PRT, saya mengorganisir diri dan memperjuangkan hak PRT. Kami para PRT yang aktif di organisasi rajin blusukan ke perumahan-perumahan mencari PRT untuk diajak berorganisasi.
Saya juga tak pernah absen menghadiri pertemuan rutin di Kantor Jala PRT di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Di sana kami para PRT di Jakarta dan sekitarnya berhimpun. Saling menyerap semangat, membagikan kisah, dan belajar bersama.
Bagi saya, berorganisasi menjadi cara untuk saling menguatkan. Berorganisasi bagi saya bukan sekadar berkumpul dengan teman-teman seprofesi, tapi juga sarana aktualisasi dan menjadi cara menyembuhkan trauma diri.
Sayangnya masih banyak PRT yang belum menyadari pentingnya berorganisasi. Bagi saya, berorganisasi menjadi cara untuk saling menguatkan. Berorganisasi bagi saya bukan sekadar berkumpul dengan teman-teman seprofesi, tapi juga sarana aktualisasi dan menjadi cara menyembuhkan trauma diri.
Dengan berorganisasi saya menemukan banyak kawan seperjuangan. Mengenal dan bertemu dengan banyak orang yang peduli dan mendukung perjuangan PRT. Dengan berorganisasi, kami para PRT melindungi diri dan profesi kami.
Pengalaman berharga yang paling saya rasakan adalah saat melaporkan majikan yang melakukan kekerasan. Blacklist saya dibuka dan alhamdulillah selanjutnya saya selalu mendapat majikan yang baik.
Ada banyak kebaikan yang saya dapatkan sejak bergabung dengan SPRT Sapulidi. Selain pengalaman blacklist tadi, saya juga punya keberanian untuk mengambil ijazah SMA. Dengan berorganisasi saya juga menemukan penyembuhan trauma melalui seni teater.
Bagi saya, dengan berorganisasi membangun pemahaman bahwa PRT adalah profesi. Kalau dulu saya sangat malu mengaku sebagai PRT, dan berbohong kerja di restoran atau toko. Ini semua karena PRT masih dipandang sebelah mata. Maka setelah berorganisasi, saya bisa dengan percaya diri saat mengatakan “Saya pekerja rumah tangga!.”
Menjadi cita-cita dan mimpi saya agar Undang-Undang Perlindungan PRT (UU PPRT) bisa segera disahkan. Di dalam RUU PPRT memang tidak secara langsung menggariskan cara menangani kasus penganiayaan. Tapi dengan UU PPRT, selain hak-hak PRT didapat, juga akan mencegah kekerasan baik fisik maupun psikis kepada PRT.
Jadi, cukup menyakitkan ketika ada anggota dewan yang mengeluarkan pernyataan yang merendahkan perjuangan organisasi PRT. Wakil rakyat yang mencibir upaya-upaya PRT menuntut perlindungan dan pengakuan atas profesi kami.
Masih banyak DPR yang mengatakan bahwa PRT di Indonesia masih bisa sering pulang ketemu keluarganya, masih bisa liburan dan mendapat perlakuan baik, ngapain minta RUU PPRT. Masih banyak yang seperti itu.
Menurut saya, pernyataan itu tidak tepat disampaikan oleh anggota Dewan yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat. Untuk itu saya dan teman-teman tak akan tinggal diam.
Karena banyak pekerja rumah tangga untuk meminta libur mingguan aja diketawain. Masih banyak sekali majikan yang seperti itu, karena hingga kini PRT belum diakui sebagai pekerja. PRT masih dianggap sebagai jongos, pembantu, budak dan lain sebagainya.
Kepada wakil rakyat, saya katakan PRT adalah rakyat kecil yang ikut menyumbang suara kemenangan bagi mereka. PRT adalah rakyat kecil yang menangis meminta perlindungan seperti pekerja lain tapi malah diremehkan.
Saya mewakili airmata-airmata PRT mengucapkan banyak terimakasih untuk organisasi yang mendukung perjuangan kami. Seperti sejumlah organisasi perempuan seperti Perempuan Mahardhika, Feminis Indonesia. Dengan dukungan mereka, kami merasa punya teman perjuangan dan lebih semangat berjuang.
Artikel ini sudh terbit di Konde.co sebagai bagian KEDIP atau Konde Literasi Digital Perempuan”, adalah program untuk mengajak perempuan dan kelompok minoritas menuangkan gagasan melalui pendidikan literasi digital dan tulisan. Tulisan para Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan kerjasama www.Konde.co yang mendapat dukungan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT).