Home Suara PRT Bangga Jadi PRT dan Hampir Mati Tenggelam

Bangga Jadi PRT dan Hampir Mati Tenggelam

by admin

Pengalaman bekerja sebagai PRT di luar negeri dan bekerja pada expatriate itu seperti nano-nano. Melihat negara lain dan mencoba hal-hal baru, itu pasti. Tapi belajar berenang dan hampir mati tenggelam, itu juga pernah terjadi.

Cerita ini merupakan pengalaman Wina Ningsih Kuswadi dan Maryam, 2 Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang banyak bekerja di luar negeri dan pada orang asing atau expatriate. Kini keduanya aktif di organisasi PRT

Bangga Menjadi PRT

Aku Wina. Teman-teman lebih suka memanggilku begitu, meski aku punya 2 suku kata lain di belakang nama depanku. Wina Ningsih Kuswadi. Aku keturunan Sunda yang dilahirkan di Jawa Tengah bagian Barat tepatnya di sebuah kota kecil bernama Majenang, Kabupaten Cilacap.

Di keluarga, aku dikenal sebagai sosok anak yang ceria dan aktif. Namun, setelah lulus SMP, orangtuaku mengirimku ke kota Tasikmalaya untuk menempuh pendidikan lanjutan. Saat itu, biaya pendidikanku ditanggung oleh saudara dari ayahku.

Namun, aku tak begitu saja menerima keputusan orangtuaku. Aku tak tega melihat kemiskinan yang menimpa keluarga kami. Karena itu, aku memutuskan berhenti sekolah dan mencari pekerjaan.

Tahun 1998 merupakan masa awalku bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Sebuah keluarga beretnis Tionghoa di Sukabumi menjadi tempat pertamaku menjalani pekerjaan ini. Tidak lama aku bekerja di situ. Hanya satu tahun. Setelahnya, aku berniat mengadu nasib ke negara lain agar aku bisa mendapat penghasilan yang lebih besar.

Aku berhasil mewujudkan niatku. Tahun 1999 aku terbang ke Singapura. Di sana, aku bekerja sebagai seorang PRT dengan upah 370 dolar Singapura. Jika dikonversi, upahnya kira-kira mencapai 2 juta rupiah per bulan. Namun, selama 7 bulan awal, upahku dipotong untuk membayar biaya administrasi dan operasional saat aku berangkat ke negeri Patung Merlion tersebut. Cukup lama aku bertahan di Singapura. Kurang lebih selama 3 tahun.

Selanjutnya, aku kembali mencoba peruntungan nasib di negeri asing lainnya. Kali ini, negara tujuanku adalah Hongkong. Sebagai seorang Buruh Migran Indonesia/BMI, aku mendapat upah lebih banyak lagi, yaitu $3760 dolar Hongkong, atau sekitar 13 juta rupiah per bulan. Aku bekerja selama 2 tahun hingga kontrak selesai.

Tahun 2005, aku kembali ke ibukota Indonesia, Jakarta. Sampai saat ini, aku bekerja sebagai PRT. Dan, aku bangga menjadi seorang PRT yang punya pengalaman kerja di beberapa negara lain

Hampir Tenggelam

Bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) meninggalkan pengalaman membekas dalam hidup saya. Baik itu pengalaman suka maupun duka. 

Tahun 1983, saya bekerja di restoran di daerah Slipi, Jakarta. Di sana saya dipercayakan untuk menangani makanan pribadi bos pemilik. Saya juga bertugas mengantarnya mengambil uang pensiunan, menemani ke stasiun kereta api saat dia sedang bertugas daerah ke Surabaya. Selain itu, saya juga bertugas mengurus perbelanjaan bahan masakan restoran.

Setiap pagi, saya belanja di Pasar Palmerah dengan naik becak. Sepenuh hati saya menjalani pekerjaan di restoran ini. Namun, saya ingin mencoba pengalaman lain. Setelah 4 tahun bekerja, saya pindah ke tempat lain karena ajakan seorang teman.

Sebagai PRT, saya berkesempatan mengenal berbagai macam orang dari banyak negara selain Indonesia. Saya bertemu dengan orang Kanada, New Zealand, Australia, Inggris, Amerika, Jepang, India, dan lainnya.

Setelah mengundurkan diri dari tempat kerja sebelumnya, saya kemudian bekerja dengan orang Jepang di daerah Pakubuwono, Jakarta Selatan. Bersama dia, saya dapat beras, minyak, gula, kopi, dan lainnya. Gaji yang saya peroleh sekitar Rp 27.000. Senangnya bukan main. Meski begitu, saya tidak lama bekerja di sana. Hanya 6 bulan. Saya ingin lagi menambah pengalaman lain.

Atas ajakan teman, saya kemudian bekerja dengan orang Kanada. Masa kerja juga tidak begitu lama, sekitar 1 tahun. Saat itu, saya mendapat gaji Rp 60.000. Saya juga sering diberi beras, gula, kopi, dan lain-lain. 

Setelah kontrak dengan orang Kanada habis, saya lanjut bekerja dengan keluarga dari Australia di daerah Pondok Indah. Di sini saya mengalami peristiwa pahit. Saya tidak bisa berenang, tetapi saya punya keinginan untuk berenang. Di kolam rumah, saya mencoba bagian yang dalamnya sekitar 2 meter. Saat itu, saya merasa hampir mati. Bersyukur, Tuhan masih mengizinkan saya untuk hidup. Dengan susah payah, saya berusaha meraih tembok bagian pinggir kolam. Kalau diingat, sungguh kekuatan yang luar biasa bagaimana ujung jari saya bisa mencapainya. Saya berhasil keluar dari kolam, tetapi air yang terminum cukup banyak. Saya pun jatuh sakit dan memulihkan diri sekitar satu minggu. Setelah itu, saya pun mengundurkan diri karena trauma.

Selanjutnya, saya mendapat pekerjaan di daerah Kemang. Di sana, saya bekerja dengan keluarga dari Amerika. Setelah 2 tahun, saya pindah lagi ke keluarga Amerika lainnya yang tinggal di Patra Kuningan, tetapi hanya satu tahun bekerja di sana. 

Saya terus berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Setelah bekerja dengan orang Kanada dan Amerika, saya bertemu lagi dengan keluarga orang Australia yang tinggal di daerah Permata Hijau. Sekitar dua tahun saya bekerja di sana menjadi pengasuh bayi dan memasak. Selepas kontrak bersama mereka habis, saya menjadi PRT di rumah seorang berkebangsaan Inggris, sebelum akhirnya terbang ke Australia dan menjadi PRT di sana.

Saya beruntung mendapatkan teman-teman yang selalu mendukung saya untuk berkembang. Teman saya, Mbak Sumi Samiyem, memberitahu adanya peluang bekerja di Australia. Saya diterima bekerja disana dan selama sekitar 3 tahun saya mengadu nasib di negeri Kangguru tersebut. 

Merasa cukup punya pengalaman di Australia, saya pun kembali ke Indonesia. Saya kembali mendapat pekerjaan sebagai PRT di rumah keluarga Amerika di Pondok Indah. Selanjutnya, saya terus bertukar-tukar majikan, dari keluarga New Zealand di Cipete, keluarga Australia di Setiabudi, sampai keluarga India.

Mengingat ini semua, saya sadar kalau saya sudah berjuang menghidupi diri sebagai PRT sejak saya masih muda, belum menikah, hingga kini saya memiliki seorang anak lelaki. Kini saya hanya berdua dengan anak saya, terus berjuang menjalani kehidupan ini.  (Maryam dan Wina Ningsih Kuswadi)

Related Articles

Leave a Comment