Home Sosial & Budaya Aku PRT Yang Single Parent, Pandemi Adalah Situasi Buruk Bagi Kami

Aku PRT Yang Single Parent, Pandemi Adalah Situasi Buruk Bagi Kami

by admin

Aku adalah seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang single parent. Setelah aku tidak bekerja karena pandemi, seminggu kemudian anakku juga di PHK. Situasi pandemi ini sangat sulit bagi kami berdua. Anakku memilih pulang kampung dan aku bertahan di Jakarta

Oleh: Poni Tiara

Sebagai single parent yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), pandemi Covid ini bukan hal yang mudah untuk aku lalui.

Aku adalah seorang pekerja rumah tangga(PRT) yang terkena dampak pandemi Covid. Sejak Maret 2020 sampai sekarang, saya terhitung tak lagi bekerja. Sampai putus asa, karena begitu sulitnya mencari kerja di masa pandemi ini.

Selang seminggu setelah itu, anakku pun di rumahkan dari tempat kerjanya. Kalau untuk makan saja, memang ada sumbangan dari organisasi, tapi yang membuat pusing adalah untuk bayar sewa kontrakan sepetak ini.

Aku mencoba berjualan kue. Tapi jualan di masa pandemi juga tidak bisa diandalkan, apa lagi sampai berbulan- bulan aku tidak ada order pembuatan kue.

Ahkirnya di bulan Agustus 2020, anakku memutuskan untuk pulang kampung karena jenuh belum juga dipanggil dari tempat kerjanya. Aku masih bertahan di Jakarta dan berharap mendapatkan kerja di tempat baru. Dan akhirnya ada teman yang meminta dibantu pekerjaannya. Aku kerja di sebuah rumah majikan, aku kerja seminggu 1 kali dan alhamdulilah lumayan gajinya bisa buat bayar sewa kontrakan.

Bulan Januari 2021 kemarin, anakku datang lagi ke Jakarta. Aku pikir dia dipanggil lagi oleh tempat kerjanya dan akan bekerja lagi di Jakarta. Tapi ternyata ia ke Jakarta hanya menyuruh saya pulang kampung karena ia sudah dilamar oleh calon suaminya, dan pihak calonnya sudah menentukan tanggal pernikahan.

Aku kaget sekaget-kagetnya, karena sebelumnya tidak ada yang mengajakku bicara sebagai ibu dari anakku. Pikiranku campur aduk tidak tahu antara senang, marah pokoknya campur aduk. Senangnya karena anakku ada yang mau mengajaknya menikah. Tapi agak marahnya kenapa aku tidak diajak ngobrol?. Anakku bilang, aku gak usah mikir apa-apa, katanya semua akan dicukupi suaminya.

Malam itu aku dan anakku bercerita berdua dan kami menangis bareng sampai pagi. Aku ingat bagaimana jerih payah hidup kami. Aku membesarkan anakku tanpa ayahnya dari ia lahir sampai sekarang. Laki-laki itu, bapak dari anakku ini di tahun 1998 ketika peristiwa itu terjadi, ia mengantarku pulang, namun hanya sampai stasiun di kampungku, ia tidak mengantarku sampai ke rumah. Waktu itu laki-laki itu bilang, karena dia harus cepat kembali lagi ke Jakarta untuk bekerja.

Sesampai di Jakarta, laki-laki itu berkirim surat, dalam suratnya ia mengatakan bahwa hubungan kami cukup sampai di sini saja!.

Bagaikan disamber petir di siang bolong, dalam kondisi hamil, aku dicampakkan, ditinggalkan begitu saja. Ini adalah cerita paling pahit di hidupku. 2 bulan kemudian anakku ini lahir.

Inilah yang kemudian membuatku resah dan takut, yaitu jika ia menikah dan ia tak bahagia. Ini membuatku sangat bingung.

Aku tidak bisa tidur sampai pagi. Jam 7 aku lalu mandi terus pergi menghilangkan cemas yang berkecamuk di pikiranku. Tanpa pamit sama anak, aku langsung ngeluyur begitu saja. Aku jalan mengikuti kaki melangkah sambil menangis

Aku jalan sampai Senayan, aku berjalan dan di Senayan aku duduk dan terus menangis tidak peduli orang yang lewat melihatnya. Setelah sedikit lega aku naik Kereta MRT dan turun di Stasiun Cipete. Ada teman yang telpon, tapi tidak kuangkat karena aku belum bisa menghilangkan kecamuk di dadaku.

Temen yang meneloponku mengajakku ketemu. Akhirnya suami temenku menjemput aku di stasiun Kereta MRT Cipete dan aku diajak ke rumahnya. Disana aku masih menangis dan diam walau ditanya, sampai aku dibuatkan teh panas, aku belum bisa ngomong, dan ahkirnya aku diajak ke temen yang lain lagi agar aku bisa cerita.

Akhirnya menjelang Magrib aku bisa cerita dan temen-temenku mendukungku, mereka memberiku wejangan. Jam 10 malam aku baru sampai kontrakan diantar temen. Begitu ketemu anak, aku menampakkan diri sebagai orang yang biasa saja dan tidak membahasnya lagi karena anakku pasti paham kalau mamanya ini lagi tidak baik- baik saja.

Pulang kampung dan banyak hal yang terjadi

Bulan Febuari 2021, aku dan anakku akhirnya pulang kampung. Sebelum pulang ada kabar kalau mbak ku atau kakakku masuk rumah sakit karena menjadi korban kecelakaan.

Tapi kemalangan memang tidak pernah kita duga, belum sampai di kotaku, aku dapat kabar kalau kakakku sudah meninggal. Langsung kami berdua menangis sampai supir busnya tanya, ada apa kok pada nangis?

Sesampai di rumah, tidak ada orang di rumahku karena semua pergi ke rumah mbakku yang meninggal. Aku dan anakku tidak langsung ke rumah mbakku karena badan lelah habis dari perjalanan jauh.

Besok paginya baru ke rumah mbakku. Sampai rumahnya, ternyata mbakku sudah dibawa ke makam pagi-pagi sekali karena malamnya sudah dimandikan dan disholatkan.

Seminggu setelah mbakku meninggal, anakku yang calon pengantin sakit. Asam lambungnya kambuh dikarenakan setelah kami berdua datang dari Jakarta, calon mertuanya anakku berubah omongan. Jadi yang tadinya bilang mau memenuhi semua kebutuhan, tidak ditepati. Ini yang membuat anakku sakit dan asam lambungnya kambuh, muntah tidak berhenti. Jam 2 malam anakku aku bawa ke Pukesmas terdekat dengan minta bantuan tetangga yang punya mobil.

Di rawat selama 3 hari dan biaya membengkak, aku kemudian pinjam uang teman-teman yang bisa aku pinjami uang. 3 hari dirawat kondisi anakku aku kira sudah mulai membaik. Tapi ternyata tidak. Selama di rumah 2 hari, kondisinya drop lagi semakin parah dan aku bawa lagi ke Puskesmas. Ia didiagnosa terkena usus buntu. Aku sama dokter disuruh tanda tangan untuk operasi. Tapi ini aku tolak, aku bilang aku mau tanda tangan asal di rontgen dan betul-betul bahwa ini karena usus buntu.

Aku kemudian berdebat panjang dengan dokter tersebut sampai kemudian akhirnya aku dirujuk ke rumah sakit dimana aku bisa meminta untuk rontgen. Setelah dirontgen, ternyata hasilnya anakku hanya terkena kram perut karena terlalu banyak muntah- muntah. Aku dalam kondisi tidak punya uang dan aku harus terus berjuang agar anakku sembuh.

Aku kemudian meminjam uang ke teman-teman karena harus membiayai anakku untuk perawatannya. Awalnya aku minta bantuan perangkat desa, namun tidak bisa membantu karena rumah sakitnya ini bukan berada di kabupaten sendiri. Alhamdulilah anakku bisa dirawat di rumah sakit di Kebumen dan akhirnya anakku sembuh.

Baru seminggu anakku sembuh, tiba-tiba giliran adikku yang melahirkan secara premature. Kandungannya baru 7 bulan dan dia sudah mau melahirkan. Aku begadang lagi di rumah sakit untuk menunggu bayi adikku yang berada di ruang ICU.

Di depan pintu disediakan tempat duduk penunggu di ICU. Seminggu aku menunggu di rumah sakit. Waktu itu aku juga mendengar kalau anakku akan jadi menikah dengan pacarnya itu. Tapi Alhamdhulilah semua berjalan dengan lancar ijab kabul anakku yang dilakukan secara sederhana. Kami hanya melakukan syukuran saja atas pernikahan itu.

Kembali ke Jakarta, mau membayar hutang malah terkena Covid

Setelah semua urusan di kampung selesai, aku kembali lagi ke Jakarta dengan tujuan mencari kerja agar bisa membayar hutang. Ada info lowongan kerja saat itu dan akupun datang dengan Prokes dan bukti tes Swab.

Berulang kali begitu dan akhirnya dapat kerja selama sebulan. Ada tawaran gaji lumayan menurutku. Setiap ada interview, saya harus Swab lagi, beberapa kali selalu negatif dan sudah mau percobaan kerja, tiba-tiba colon bos atau majikan meminta Swab lagi.

Entah apa sebabnya, dalam tes itu aku dinyatakan terpapar Covid dan hasilnya positif. Besoknya aku sakit pilek, hidung dan tengorokan rasanya mampet dan gatal tengorokan, tapi aku tidak demam, makan enak tetap ada rasa, hanya penciuman yang hilang.

Aku melakukan isoman di kontrakan, lalu melapor ke organisasiku dan RT tempat tinggal. Alhamdhulilah sumbangan dari organisasi dari teman-teman dari RT dan dari tetangga ada, aku selalu bersyukur selalu dikelilingi orang- orang baik.

PONI TIARA

Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang single parent, aktif di Sekolah Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi di Jakarta

Related Articles

Leave a Comment