tungkumenyala.com – Aliansi Perempuan Bangkit yang terdiri dari para aktivis perempuan dari gerakan tahun 80an, 90an hingga tahun 2000an, menyatakan dukungannya bagi perjuangan para Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk pengesahan RUU Perlindungan PRT atau RUU PPRT menjadi undang-undang.
Aliansi Perempuan Bangkit juga mendukung Aksi Rabuan PRT dan mendesak Ketua DPR, Puan Maharani untuk tidak lagi mengganjal pengesahan RUU PPRT.
Bertepatan dengan Hari PRT Nasional pada Rabu 15 Februari 2023 kemarin, Aliansi Perempuan Bangkit mengerahkan para aktivis perempuan untuk turun ke jalan atau mendatangi Kantor DPR/DPRD di daerahnya masing-masing guna mendesak disahkannya RUU PPRT.
“Pada Hari PRT 15 Februari 2023, Aliansi Perempuan Bangkit Mendesak DPR terutama Ketua DPR Puan Maharani agar mengesahkan RUU PPRT menjadi UU demi menghentikan kekerasan dan praktek perbudakan modern terhadap ibu-ibu Pekerja Rumah Tangga (PRT),” ujar Nur Amalia dari Aliansi Perempuan Bergerak dalam rilis yang diterima pada Rabu (15/2/2023).
Aliansi Perempuan Bergerak juga mendukung Aksi Rabuan PRT dan mengajak seluruh elemen masyarakat sipil hadir dalam setiap Aksi Rabuan yang dilakukan PRT di depan Gedung DPR Senayan Jakarta, hingga RUU PPRT disahkan.
Sebelum RUU PPRT disahkan, para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Bergerak juga mendesak Menteri Tenaga Kerja RI serta Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi/Kabupaten guna mengeluarkan kebijakan khusus sementara (affirmative action) yang memberikan perlindungan serta pemenuhan hak hak PRT.
“Sudah 19 tahun diperjuangkan, namun DPR bergeming tak juga mengesahkannya. Draft RUU PPRT sudah diputuskan Baleg DPR untuk dibawa ke rapat paripurna DPR dan disahkan menjadi UU inisiatif DPR. Namun sudah 2,5 tahun menunggu, Ketua DPR tidak juga membawa RUU PPRT ini ke rapat paripurna,” terang Koordinator Jala PRT Lita Anggraini saat berorasi di Aksi Rabuan PRT di Depan Gedung DPR.
Pemerintah sendiri, lewat Presiden Jokowi, sudah menyatakan dukungannya agar RUU PPRT segera disahkan. Pada 18 Januari 2023 lalu, Presiden Jokowi telah memrintahkan jajarannya untuk segera berkoordinasi dengan pihak terkait guna mempercepatn pengesahan RUU PPRT. Namun hingga kini Ketua DPR tak bergeming.
Karena itu, Aksi Rabuan PRT yang awalnya digelar di depan Istana mulai Februari ini dilakukan di depan Gedung DPR RI. Aksi ini dilakukan dalam semangat para perempuan yang tak lelah berjuang.
RUU PPRT. terang Nur Amalia, sangat dibutuhkan untuk melindungi jutaan perempuan yang bekerja di dalam rumah tangga dan mengerjakan pekerjaan domestik. Mereka banyak mendapatkan kekerasan secara tersembunyi. Selama ini kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang mereka alami dianggap sebagai hal yang biasa dan seperti sudah biasa dilakukan.
“Kekerasan domestik yang terjadi secara tersembunyi ini sudah tidak bisa dibiarkan dan Negara harus mengurusnya, mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan kekerasan kepada PRT,” imbuh Lita.
Hal lain, kerja-kerja PRT selama ini juga tidak diakui sebagai kerja. Mereka hanya dianggap sebagai orang yang membantu, ngenger ke kota, bekerja dengan saudara yang hanya mendapatkan belas kasihan dengan gaji yang tak memadai. Di sinilah RUU PPRT dibutuhkan.
Mereka bekerja tanpa ada perjanjian kerja secara tertulis (kontrak) yang berisikan hak hak dan kewajiban majikan maupun PRT itu sendiri, sehingga seringkali PRT dipekerjakan dari pagi sampai malam, mengerjakan jenis jenis pekerjaan yang bukan merupakan lingkup kerja rumahtangga, serta tidak diberikan waktu libur.
“Kondisi dan fakta di atas mengharuskan Aliansi Perempuan Bangkit untuk mendukung aksi Rabuan PRT dan perjuangan PRT guna mendesak pengesahan RUU PPRT,” tegas Nur Amalia.
Kekerasan domestik yang terjadi secara tersembunyi ini sudah tidak bisa dibiarkan dan Negara harus mengurusnya, mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan kekerasan kepada PRT,” imbuh Lita.
Aksi Rabuan PRT
Aksi Rabuan PRT merupakan aksi yang diilhami dari aksi Plaza de Mayo di Argentina. Para perempuan Argentina melakukan aksi seminggu sekali pasca anak-anak mereka ‘menghilang’ pada masa pemerintahan otoriter diktator militer di Argentina antara 1976 hingga1983,
Kala itu, para ibu bersama-sama melakukan aksi pawai di Plaza de Mayo agar pemerintah mendengarkan suara mereka agar anak mereka kembali.
Di Jakarta, aksi Rabuan PRT mulai dilakukan pada 21 Desember 2022 pukul 10.00 di depan Istana. Aksi Rabuan PRT yang pertama ini dipimpin langsung oleh Poniah, Anik, Rizki, Rumiah, atau Khotimah mewakili ribuan PRT yang menjadi korban kekerasan di rumah majikan mereka. Para PRT ini diterima oleh Deputi KSP Jaleswari Pramowardhani.
Jala PRT memperkirakan masih banyak PRT yang menjadi korban kekerasan yang tersembunyi di balik tembok dan gembok rumah para majikan atau para pemberi kerja. Mereka takut melapor atau bahkan tidak bisa melapor karena dihalangi majikannya.
Aksi Rabuan PRT juga dilakukan di sejumlah kota lain seperti di Yogyakarta, Sidoarjo, Surabaya dan Makassar. Para PRT mendatangi DPR secara bergantian untuk memperjuangkan haknya.
Lita Anggraini yang sedah sejak 1990an mendampingi para PRT megatakan, PRT berjatuhan menjadi korban dari semua bentuk kekerasan, layaknya deret ukur saja. Luka dan trauma sering di luar batas kemanusiaan, bahkan mereka seperti dalam kondisi perbudakan.
“Para PRT tersebut sudah pasti dari kelompok keluarga miskin dan papa. Mereka kaum yang disisihkan masyarakat dan Negara. Sementara para pelakunya bisa siapa saja. Mulai keluarga biasa, hingga keluarga kaya raya, terpelajar, Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA).” tegasnya.
Ia menandaskan, adanya kekosongan hukum membuka ruang tindak kesewenangan yang membuat para PRT menderita sepanjang hidup mereka dan bekerja dalam kondisi minim perlindungan.
Seharusnya pemerintah (dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja) sebagai pembantu Presiden yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan) segera membuat kebijakan khusus sementara (affirmative action) guna mengisi kekosongan hukum sebelum adanya UU PRT.
“Karena secara faktual para PRT adalah pekerja yang harus dilindungi serta dipenuhi hak haknya,” pungkasnya.