Di tengah aksi mogok makan, para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Aksi Mogok Makan PRT sudah berdatangan sedari pagi ke depan gedung DPR RI, Rabu (23/8). Mereka datang untuk memperjuangkan pengesahan RUU PPRT dan melindungi nasib PRT.
Mereka mulai membentangkan tali jemuran yang dipasang poster-poster para anggota DPR RI. Tali jemuran ini adalah penanda bahwa anggota DPR masih menggantung nasib PRT dengan tidak kunjung mengesahkan RUU Perlindungan PRT. Sedangkan foto-foto anggota DPR diibaratkan sebagai baju-baju yang digantung sebagaimana merupakan pekerjaan yang dilakukan para PRT sehari-hari.
Lita Anggraini menyatakan bahwa dengan menjemur poster para anggota DPR, para PRT akan mengingat bahwa setiap mencuci baju dengan keringat dan tenaga. Mereka akan mengingat wajah-wajah wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan wong cilik seperti PRT.
“Pameran instalasi ini bertujuan sebagai pengingat dan penanda bahwa di setiap keringat yang diperas PRT, anggota DPR berhutang menyelesaikan persoalan kekerasan dan diskriminasi yang selama ini dialami PRT,” ujar Lita.
Poster yang digantung sebagai tanda perjuangan nasib PRT dan RUU PPRT di depan Gedung DPR RI pada aksi mogok makan PRT, Rabu (23/8). (dok. Konde.co)
Pameran instalasi poster dengan jemuran ini akan dipasang di depan DPR agar publik mengetahui perjuangan PRT dan siapa pihak-pihak yang seharusnya selama ini memperjuangkan nasib wong cilik seperti PRT.
“Semoga ada anggota DPR yang keluar dan menengok pameran kami, betapa harapan kami besar setelah 19 tahun dalam perjuangan ini, tapi kami bisa apa dengan kondisi ini? Semoga terketuk pintu hati mereka dan mau menengok keluar,” kata salah satu PRT, Lenny Suryani.
Sebanyak 580 poster anggota DPR akan dipajang dalam pameran ini. Koalisi Aksi Mogok Makan sudah mempersiapkan poster ini sejak sebulan lalu setelah berbagai aksi tak membuat anggota DPR bergeming.
Saat konferensi pers pada Selasa (22/8) kemarin, Lita mengatakan, aksi mogok makan yang dilakukan PRT itu untuk menunjukkan betapa PRT selama ini masih mengalami kerentanan. Mereka sering harus merasakan lapar ketika bekerja. Baik karena tidak dibolehkan makan, tidak diberi makan berhari-hari, dan upah PRT yang sangat rendah dan tanpa jaminan sosial. Sehingga mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup layak.
“Kami akan terus menyuarakan,” kata Lita.
Lita Anggraini, Koordinator JALA PRT, berorasi dan tuntut perlindungan nasib PRT pada aksi mogok makan PRT di depan Gedung DPR RI, Rabu (23/8). (dok. Konde.co)
Selama ini koalisi sudah melakukan berbagai aksi agar RUU PPRT disahkan. Mereka melakukan aksi mogok makan sejak 14 Agustus 2023 hingga RUU Perlindungan PRT disahkan menjadi undang-undang. Polisi melakukan kekerasan pada peserta aksi 16 Agustus 2023 dan merampas properti aksi. Properti aksi instalasi poster ini dibuat sebagai bagian dari rangkain aksi setelah properti diambil paksa polisi.
Perempuan yang sudah dua dekade berjuang untuk RUU PPRT tersebut menekankan, agar anggota DPR bisa memperhatikan nasib PRT. Terlebih, di masa-masa jelang pemilu dan pilpres yang semua politisi “sibuk”. Padahal di balik kesuksesan itu semua, PRT punya peran penting membantu tugas-tugas domestik mereka.
Seorang PRT memamerkan poster tuntutan kepada anggota DPR untuk segera mensahkan RUU PPRT dan melindungi nasib PRT di depan Gedung DPR RI, Rabu (23/8). (dok. Konde.co)
“Mereka berutang pada PRT. Gak mungkin anggota DPR mengepel, mencuci bajunya sendiri. Mereka bisa berpemilu, berkampanye, tapi mereka melupakan bahwa PRT itu penting. Ini kan ironis. Jemuran ini mengingatkan mereka menggantungkan nasib PRT,” katanya.
Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyatakan bahwa selama 19 tahun perjuangan PRT bukanlah waktu yang singkat bagi para PRT menunggu adanya payung hukum yang bisa melindungi mereka.
“Selama 19 tahun RUU PPRT menjadi sandera sebagaimana PRT yang menjadi sandera dalam perbudakan modern dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selama itu pula pembiaran derita dan kekerasan yang dialami PRT oleh DPR menjadi memori kolektif yang harus didengar oleh Pembentuk Undang-Undang bahwa pengesahan RUU PPRT harus segera dilakukan,” kata Eka Ernawati.
Deretan poster menuntut DPR untuk segera mensahkan RUU PPRT sebagai perlindungan terhadap nasib PRT. (dok. Konde.co)
Tyas Widuri dari Perempuan Mahardhika menyatakan, di antara korban-korban TPPO, terdapat pula para PRT. Kendati demikian, situasi darurat kekerasan dan TPPO di Indonesia justru tidak dibarengi dengan keseriusan DPR untuk menindaklanjuti pembahasan RUU PPRT.
Menurutnya, ketika negara melindungi PRT dan menyediakan perlindungan hukum pada PRT maka negara menjamin martabat, kesetaraan gender, dan melindungi HAM,
“Mayoritas PRT adalah perempuan. Dengan memperjuangkan itu, kita sedang berjuang menghapus budaya kerja yang tidak pantas,” kata Tyas.
Pameran poster tuntutan kepada DPR RI untuk segera mensahkan RUU PPRT dan melindungi nasib PRT. (dok. Konde.co)
Rena Herdiyani dari Kalyanamitra menyatakan bahwa seharusnya para anggota DPR tergerak hatinya dengan kondisi perempuan seperti para PRT.
“Para PRT melakukan aksi setiap hari setelah aksi Rabuan yang dilakukan setiap Rabu seminggu sekali, tidak membuat anggota DPR bergerak mengesahkan RUU PPRT menjadi UU,” kata dia.
Dengan situasi ini, maka organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Mogok Makan untuk UU PPRT mendesakkan agar pimpinan DPR, para Ketua Fraksi dan anggota DPR RI segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT.
Selain itu, pimpinan DPR, para Ketua Fraksi dan anggota DPR RI agar tidak membiarkan praktik perbudakan modern terhadap PRT di Indonesia.
“Mengajak masyarakat untuk bergabung dalam aksi solidaritas mogok makan PRT,” pungkasnya.