Home Suara PRT Potret PRT di Kaltim, ‘Ning’ dan ‘Ita’ Tak Punya Pilihan

Potret PRT di Kaltim, ‘Ning’ dan ‘Ita’ Tak Punya Pilihan

Ning (bukan nama sebenarnya) saat remaja tak pernah terpikir untuk menginjakkan kaki di Samarinda pada 1995. Dia baru saja resmi melepas seragam putih biru. Mau tak mau ikut pindah ke Samarinda dari Nganjuk, Jawa Timur karena permintaan orangtua.

“Saya dibawa ke sini (Samarinda) sama orangtua. Orangtua pas 1991 sudah duluan ke sini ikut saudara yang tinggal di Paser. Awalnya saya enggak mau ikut, lebih enak tinggal sama mbah,” ungkap Ning tertawa kecil.

Di Samarinda, Ning tak punya sanak saudara. Semua keluarganya tinggal di Nganjuk. Ning juga sudah lama tak pulang ke Nganjuk. Seingatnya, hanya 2 kali. Itu pun ketika dia belum menikah.

“Di Samarinda, saya enggak pernah kemana-mana. Ya jarang sih. Pokoknya selesai kerja, pulang itu tidur. Paling kalau diajak keluarga majikan saja jalannya,” sambung perempuan 45 tahun itu.

Saat ini, Ning berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Pekerjaan tersebut sudah dijalani sejak 2013.

Namun, PRT bukanlah pekerjaan pertama Ning. Sesampainya dia di Samarinda dulu, dia pernah bekerja di 2 pabrik berbeda yang memproduksi olahan kayu.

“Kerja di pabrik itu lumayan, sekitar 6-7 tahunan. Mulainya sekitar 1996. Tapi beberapa tahun kemudian, pabriknya tutup. Jadinya di-PHK. Dari situ akhirnya bekerja sebagai PRT,” ujar ibu beranak 3 itu.

Ning mendapat tawaran sebagai PRT juga datang dari mulut ke mulut. Kala itu, kenalan suaminya mempunyai kakak yang sedang mencari PRT.

Akhirnya, Ning menerima tawaran tersebut. Dia mulai bekerja sebagai PRT di salah satu rumah yang terletak di perumahan elit Samarinda pada 2013.

“Bekerja sebagai PRT di perumahan itu sekitar 4-5 tahunan. Kerjanya pulang pergi. Ya pokoknya tiap pekerjaan selesai, saya pulang. Tergantung banyak cucian yang mau digosok atau enggak. Kalau sedikit saja ya bisa langsung pulang,” jelasnya lagi.

Saat bekerja di rumah tersebut, Ning biasa berangkat mulai pukul 8 pagi dan pulang sekitar pukul 2 siang atau 3 sore. Ning hampir mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.

Mulai membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, serta menyiapkan bahan makanan. Bahkan saat itu dia juga menjaga anak sang majikan sampai si ibu pulang kerja.

“Ya saya jadi PRT saja daripada menganggur, tidak ada yang kasih uang, jadinya cari kegiatan. Lumayan bisa bantu untuk bayar biaya sekolah anak-anak,” tambah Ning.

Ning punya 3 anak. Anak pertama laki-laki, baru lulus SMK dan sekarang bekerja sebagai kurir. Sedangkan 2 anak lainnya perempuan. Anak kedua duduk di kelas 6 SD dan si bungsu 3 SD.

Suami Ning bekerja di pelabuhan bagian ekspedisi. Suaminya juga berasal dari Jawa Timur dan pasangan suami-istri ini memutuskan untuk menetap di Samarinda. Setidaknya, dengan pekerjaan Ning sebagai PRT, dia bisa membantu perekonomian keluarganya.

“Kalau yang kerja di rumah majikan di perumahan dulu, saya dikasih libur tiap hari Minggu. Aman sih yang punya rumah, baik juga dia enggak pelit. Cuma ya begitulah manusia, kalau suasana hatinya jelek ya kena juga,” ujar Ning.

Ning juga diberi jatah libur tiap hari raya keagamaan besar. Selama bekerja di sana, dia cukup menikmati. Ketika mendapat tawaran sebagai PRT, Ning tak pikir panjang. Terpenting, dia mau mencoba dulu.

Apalagi, saat bekerja sebagai PRT kala itu dia harus meninggalkan anak bungsunya yang masih berusia 2 bulan. Bahkan sejak anak sulungnya masih kecil, sang anak sudah terbiasa ditinggal Ning untuk bekerja. Hal tersebut tak menghentikan langkah Ning untuk terus mencari rezeki yang halal.

“Saya mikir aja, daripada nganggur. Dari bujang itu biasa gerak. Kalau enggak gerak, rasanya gimana gitu. Saya diberhentikan dari majikan yang dulu karena beliau cari yang bisa menginap karena punya anak bayi lagi,” ucapnya.

Selain masih aktif sebagai PRT dengan majikan saat ini, Ning juga dipekerjakan oleh keluarga majikannya untuk menjaga warung ikan. Letaknya tak jauh dari rumah sang majikan.

Gajinya di warung ikan itu sekitar Rp 2 juta per bulan. Di warung itu, dia diberi libur 1 kali seminggu walau harinya tak menentu.

Ning dan majikan serta keluarganya juga punya hubungan yang baik. Kedua belah pihak sudah saling percaya.

“Sekarang yang di warung ikan itu saja sama di sini (rumah majikan yang sekarang). Kalau di sini saya tugasnya menyetrika baju tiap malam minggu. Itu menyetrikanya dari jam 7 malam. Selesainya bisa jam setengah 12 atau jam 12 malam,” ujar Ning.

Sebelum Ning fokus mengurus pakaian, Ning juga sempat bekerja membersihkan seisi rumah selama 2 tahun. Namun karena dipercayakan untuk menjaga warung, tugasnya dibatasi hanya menyetrika pakaian dan dibayar per hari. Rp 50 ribu jika majikan membagikannya makanan dan sebaliknya, Rp 80 ribu.

Ning mengaku tak pernah sakit atau merasa kelelahan. Menurutnya, itu terjadi karena mengerjakan pekerjaan rumah tangga sudah menjadi kebiasaan untuknya. Dia bersyukur diberikan fisik yang kuat.

“Sudah kebiasaan, kalau ngeluh nanti enggak dapat uang. Mau jadi apa kalau stress? Dibawa senang saja. Dijalani, di ikuti alurnya. Enggak pernah merasa kesusahan juga karena yang punya rumah pun sudah percayakan ke saya,” bebernya.

Diakui Ning, dirinya sudah kepalang nyaman dengan pekerjaan sebagai PRT. Sehingga dia belum terpikirkan untuk mengganti ke pekerjaan lain. Jika harus pindah lagi, maka dia harus menyesuaikan diri dengan situasi dan orang baru.

“Kita ini susah kalau cari orang yang enggak cerewet. Saya kalau sudah 1 ya 1 karena keburu nyaman,” tambahnya.

Kisah kedua datang dari Ita (bukan nama sebenarnya). Dia adalah ibu beranak 5 asal Samarinda. 3 anaknya sudah menikah sedangkan 2 lainnya belum.

Meski beberapa anaknya sudah bekerja, Ita tak tinggal diam. Dia masih berkeinginan untuk menjemput rezekinya sendiri sebagai PRT.

Apalagi ketika suaminya meninggal pada 2017 silam. Ita justru makin gigih bekerja meski usianya telah menginjak 55 tahun. Demi bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sejak pertengahan 2022 lalu hingga sekarang, Ita aktif bekerja sebagai PRT di sebuah rumah yang terletak di salah satu perumahan di Samarinda. Awalnya, dia ditawari sebagai PRT dari seorang tetangga. Gaji yang dia terima Rp 2 juta per bulan.

“Saya bekerja dari jam 8 pagi sampai 6 sore, pulang pergi. Bersih-bersih, cuci piring, ngepel, cuci baju, setrika. Saya juga jaga anaknya majikan, masak makanan untuk 3 anaknya, siapkan keperluan mereka sekolah,” ungkap Ita.

Anak-anak dari majikan Ita masih kecil. Anak pertama kelas 3 SD, anak kedua masih TK, dan yang paling bungsu berusia 2 tahun. Selain memasak untuk anak-anak itu, Ita juga harus menyuapi ketiganya makan.

Ita memang diberi libur tiap hari Minggu. Tapi, pada waktu tertentu dia juga harus siap jika majikan membutuhkan bantuannya. Misal, menjaga anak pada malam hari atau ketika hari libur. Bahkan pernah ketika salah satu anak majikannya sakit, Ita harus mengantarnya ke klinik.

“Paling capek itu kalau sudah menyetrika. Cucian baju nya juga banyak. Pokoknya mau hari hujan atau enggak, harus tetap dicuci. Walau yang punya rumah bilang, seperti setrikaan itu enggak perlu terlalu dikejar, yang penting anaknya terurus. Tapi saya enggak enak lihatnya kalau ada kerjaan belum selesai,” sambungnya.

Sebelum bekerja di tempat yang sekarang, Ita sempat bekerja mulai pukul 5 pagi sampai 7 pagi untuk mencuci dan menyetrika baju di tempat lain. Dia digaji Rp 500 ribu per bulan. Namun Ita mengalami hal yang kurang mengenakkan.

“Di tempat yang dulu saya kerja 2 tahunan, sekarang sudah enggak lagi. Orangnya (majikan) judes. Saya dibilang ‘ibu ini sudah tua, masih aja enggak ngerti-ngerti.’ Tapi saya bertahan saja dulu. Kalau dimarahi ya diam saja,” kenangnya.

Ita mengakui tak punya pilihan lain selain PRT. Banyak orang di sekitar Ita yang menyebut bahwa gajinya saat ini terbilang kecil. Di lubuk hatinya yang terdalam, ada keinginan agar bisa naik gaji.

“Pengin sebenarnya kalau naik gaji. Tapi bagaimana ngomongnya? Orang-orang sih bilang murah (gajinya). Kadang kalau majikan lembur, saya di rumahnya sampai malam. Enggak ada dikasih uang lebih,” ucap Ita lagi.

2023 ini, Ita resmi 1 tahun bekerja sebagai PRT di rumah tersebut. Dia sempat dikabari majikan akan diberi tunjangan hari raya (THR) walau jumlahnya tak banyak.

“Katanya nanti mau dikasih THR sedikit, enggak tahu nominalnya berapa. Tapi ya siapa yang mau kasih saya uang kalau saya enggak kerja?” tambah Ita.

Masyarakat dari Kampung Masih Anggap Pekerjaan PRT Ideal

Perlindungan terhadap PRT masih menjadi PR yang belum bisa dituntaskan oleh pemerintah. Namun setidaknya, Rencana Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) telah sah sebagai RUU Inisiatif DPR RI, Selasa (21/3/2023). Hampir 20 tahun para PRT memperjuangkan pengesahan RUU PPRT itu.

Selama ini, perlindungan terhadap PRT masih minim. Tidak ada kepastian bagi pekerja yang memilih pekerjaan tersebut. Mengingat rekrutmen PRT di Kaltim masih sebatas mulut ke mulut atau dari kenalan.

Salah satu aktivis perempuan Samarinda dari Dara Lead, Refinaya juga mengamini hal tersebut. Sepengetahuannya, masih banyak PRT yang datang dari kampung-kampung dari luar maupun Kaltim untuk bekerja di kota.

Alasannya beragam. Salah satunya karena lapangan pekerjaan di kampung masih sangat terbatas. Khususnya untuk perempuan.

“Jadi pekerjaan yang menurut teman-teman PRT ada jaminan uang, tempat tinggal, dan makan itu sebagai PRT. PRT ini kan mengerjakan pekerjaan domestik, perlu keahlian untuk melakukannya,” ujar perempuan yang akrab disapa Naya itu.

Menurutnya, perekrutan PRT di Kaltim masih banyak dari hubungan dekat dengan keluarga. Termasuk dengan penawaran lewat mulut ke mulut.

Kendati demikian, berdasarkan hasil sharing antara Naya dan beberapa rekannya di Dara Lead, ada perbedaan yang cukup signifikan antara PRT di Pulau Jawa dan Kaltim.

“Ada teman kami yang punya keluarga di Jakarta itu cerita, PRT-nya diperlakukan, bahasa kasarnya seperti diperbudak. Hanya bekerja begitu, tidak diajak ngobrol dan waktu istirahatnya kurang. Kalau kelihatan istirahat sebentar, pasti ditegur disuruh kerja karena dibayar. Keluar rumah juga ditegur. Padahal kan mereka juga perlu sosialisasi,” ungkap Naya.

PRT yang bekerja dengan keluarga dari salah satu rekannya di Dara Lead itu datang dari penyalur. Rekan Naya itu menyaksikan langsung bagaimana PRT tersebut diperlakukan.

Sebenarnya, ujar Naya, selama penyalur tersebut bekerja secara profesional maka tak masalah. Namun, menurutnya di luar sana masih ada penyalur yang tak bertanggung jawab dan tak membuat kontrak profesional dengan PRT.

“Dari informasi yang saya dapat, PRT di Kaltim itu gajinya masih lumayan. Disediakan tempat tinggal yang layak. Kalau di Jawa kan masalahnya masih banyak PRT yang diberi tempat tinggal tak layak dan gaji di bawah UMR,” sambung Naya.

Tak hanya itu, Naya juga melihat bahwa sebagian besar masyarakat di Kaltim masih memanggil PRT dengan sebutan pembantu, asisten rumah tangga, babu, hingga jongos. Ditegaskan Naya, penyebutan tersebut sudah semestinya tak boleh digunakan lagi. Sebab panggilan-panggilan itu merupakan peninggalan kolonial zaman dahulu. Di mana, perbudakan masih merajalela.

“Seakan-akan PRT itu bisa disuruh seenaknya, semena-mena. Padahal kan mereka bekerja. Jadi memang panjang kalau mau memberi pemahaman bahwa  PRT adalah seorang pekerja ke masyarakat awam,” tegasnya.

Naya juga menilai, cara media mengangkat dan menggambarkan PRT sebagai pribadi yang tertindas dan sekadar disuruh juga jadi pemicu. Sehingga mendukung masyarakat untuk memiliki pemikiran bahwa PRT tidak dipandang sebagai suatu pekerjaan.

Di satu sisi, persoalan atau permasalahan PRT di Kaltim yang jarang terekspos juga cukup membuat Naya khawatir. Pasalnya, ada kemungkinan masalah yang menimpa PRT, namun yang bersangkutan tidak berani bersuara.

“Takutnya selama ini mereka diam saja jika diperlakukan semena-mena, mungkin karena merasa itu adalah hal yang normal,” ucap Naya.

Disebutkan Naya, salah satu poin yang ada di dalam RUU PPRT adalah terkait PRT bisa mendapatkan hak untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi. Harapannya juga, PRT di Kaltim bisa punya serikat dan membahas hal yang harus mereka perjuangkan dan menjadi haknya. Sebagai informasi, serikat PRT belum terbentuk di Kaltim.

Naya menyebut, perekrutan dari penyalur jasa PRT sebenarnya lebih baik. Namun dengan catatan, penyalur tersebut profesional dan bertanggung jawab. Dari situ, para PRT akan diberi pelatihan dan pembekalan informasi. Sementara, PRT yang direkrut dari kenalan atau keluarga jarang diberikan pembekalan atau semacamnya.

“Pekerjaan domestik ini kan masuk ranah privat, pasti pemilik rumah segan kalau ada orang asing yang masuk. Makanya masih banyak yang mempekerjakan orang yang dikenal karena dinilai bisa lebih dipercaya. Tapi mereka juga perlu diberi pelatihan dan pembekalan sama seperti yang dilakukan penyalur,” ujar Naya lagi.

Rekam Jejak PRT Jadi Pertimbangan Utama di Kaltim yang Multikultural

Sementara itu, pengamat sosial sekaligus akademisi di Universitas Mulawarman (Unmul), Sri Murlianti juga menyoroti cara rekrutmen PRT di Kaltim. Menurut Murlianti, cara rekrutmen dari mulut ke mulut memang masih mendominasi.

Misalnya perihal rekam jejak. Banyak calon majikan yang masih percaya jika mendengar pengakuan atau pengalaman dari orang yang pernah berinteraksi langsung dengan calon PRT yang direkomendasikan.

“Sebab PRT bekerja di pekerjaan domestik. Jika memasukkan orang ke dalam rumah itu untuk sebagian besar masyarakat masih sangat berhati-hati. Bukan soal privasi saja tapi ada hal-hal yang harus dijaga,” sebut Murlianti.

Misalnya perihal rekam jejak perilaku. Entah itu yang ekstrem seperti kemungkinan-kemungkinan perilaku kejahatan atau PRT itu, orang yang mungkin secara perilaku sesuai dengan standar yang dibutuhkan majikan.

“Apalagi Kaltim ini multikultural. Sekarang kita tidak bisa lagi melihat bahwa orang Kaltim itu hanya Dayak atau Banjar. Pasti yang jadi pertimbangan utama dalam merekrut PRT adalah rekam jejak. Kita pasti lebih percaya jika orang terdekat kita pernah berhubungan langsung dengan PRT terkait,” tambah Murlianti.

Sedangkan jika merekrut PRT dari sebuah penyalur jasa, cara tersebut masih kurang familiar di tengah masyarakat. Murlianti menilai, hal tersebut masih sangat baru. Kehadiran penyalur jasa juga ada sisi positifnya. Sebab kemampuan para PRT bisa lebih mumpuni dan memiliki standar.

“Tidak mungkin mereka sekadar merekomendasikan saja. Pasti ada standardisasi kapasitas bagaimana mereka yakin dulu bahwa PRT yang akan bekerja di rumah tangga itu punya kemampuan baik. Nantinya, kecenderungan ke arah sana tak terelakkan,” lanjut dia.

Kendati mengakui bahwa sebagian besar perekrutan PRT masih dari kenalan dengan orang terdekat, Murlianti menilai hal tersebut juga sangat rentan untuk si PRT. Bukan hanya dari sisi nilai upah yang bisa dipermainkan atau bergantung pada kedermawanan majikan. Namun, ada potensi beban kerja jadi tak terukur.

“PRT yang direkrut dari kenalan atau penyalur, sama-sama rentan mendapat perlakuan kurang menyenangkan. Sebab tidak ada kepastian perlindungan hukum. Akhirnya membuat banyak pihak tidak bertanggung jawab dan melanggar hak-hak para PRT,” tegasnya.

Bahkan, hak-hak lain seperti THR dan cuti juga bergantung pada kebijakan majikan. Dia menilai, hal tersebut jadi pemicu lemahnya sistem tenaga kerja di ranah pekerjaan domestik. Oleh sebab itu, dia menegaskan, RUU PPRT harus segera disahkan.

“Kalau RUU PPRT itu disahkan, nanti ada standardisasi yang jelas, baik dari PRT atau pemberi kerja. Walau ini sangat tidak mudah, mengingat budaya kita masih menganggap PRT adalah pekerjaan informal,” ujar dia lagi.

Koordinator Koalisi Sipil RUU PPRT, Eva Kusuma Sundari juga menambahkan, hampir 70 persen rumah tangga di Indonesia pasti memiliki PRT. Dia menilai, permasalahan yang dialami PRT di berbagai daerah juga hampir sama.

“Dualisme perekonomian Indonesia itu kan sektor informal porsinya jauh lebih besar dari yang formal. Saya yakin, PRT di Kaltim jumlahnya juga banyak. Perbedaannya, yang mengusung pemberitaan terkait itu di Kaltim belum memprioritaskan. Dianggap isu yang tak penting,” tegas Eva.

Eva juga tak memungkiri banyaknya PRT dari daerah yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Salah satunya Jakarta, karena menganggap bisa mendapat pekerjaan dengan gaji memuaskan.

Sama halnya seperti orang-orang dari Pulau Jawa yang merantau ke Kalimantan. Menurut Eva, ketika para PRT ingin mencari perubahan tentu mereka akan pergi ke daerah lain.

“Fenomena transmigrasi itu menunjukkan kalau di daerah Jawa itu sudah mentok. Tempat uang beredar itu pasti akan didatangi oleh sektor informal maupun formal,” sambungnya.

Eva menyadari, masih banyak masyarakat yang belum menganggap PRT sebagai pekerja. Alias masih menggunakan sebutan pembantu, asisten, babu, hingga jongos. Didorongnya RUU PPRT agar segera disahkan juga bertujuan untuk mengakhiri asumsi yang merendahkan PRT.

“RUU PPRT ini kalau disahkan juga akan mentransformasi masyarakat. Revolusi mental, jadi ya enggak boleh lagi orang menganggap PRT itu sebagai babu. Mereka itu pekerja. Negara itu harus hadir dan mengurus ini,” tegas dia.

RUU PPRT Belum Disahkan, Disnakertrans Kaltim Sulit Lakukan Pengawasan ke PRT

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim juga memberikan tanggapannya soal PRT. Khususnya perihal RUU PPRT. Diakui Kepala Disnakertrans Kaltim, Rozani Erawadi, pihaknya tak pernah mendapatkan draf untuk dimintai pendapat soal RUU PPRT.

“Setidaknya selama saya bertugas karena saya juga baru menjabat, kami tidak pernah mendapat surat yang khusus untuk menanyakan RUU PPRT. Dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI atau DPR,” jelas Rozani.

Oleh sebab itu, pihaknya tidak bisa berkomentar banyak mengenai substansi dari RUU PPRT itu. Di sisi lain, Disnakertrans Kaltim juga tak pernah diundang langsung oleh Kemnaker RI untuk membahas mengenai hal tersebut.

“Kalau pun ada, barang kali kami bisa menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Apa yang melatar belakangi, apa yang akan diatur, dan apa yang akan diatur oleh pemerintah pusat dan daerah di tingkat provinsi hingga kabupaten kota. Kemudian apakah nanti ada lembaga khusus yang menangani PRT,” lanjutnya.

Selama ini, akibat belum disahkannya RUU PPRT menjadi UU, maka dari sisi pengawasan Disnakertrans Kaltim juga belum memungkinkan untuk menjangkau ke PRT di Kaltim. Kemudian, dari sisi hubungan industrial, PRT tidak masuk ke ranah tersebut.

“Sebab pekerjaan PRT itu tidak dilindungi dalam bentuk perjanjian kerja. Lebih kepada perjanjian secara lisan. Kalau tidak ada secara tertulis, bagaimana pembinaannya? Secara faktual ada, tapi secara yuridis dan regulasi belum diatur,” sambung dia.

Seandainya RUU PPRT sudah resmi disahkan sebagai UU, maka pihaknya siap untuk menindaklanjuti. Apalagi, pengesahan RUU PPRT juga terus didorong di Indonesia.

“Ini sudah menjadi persoalan nasional. Kami di daerah, tentu kalau itu sudah jadi hukum nasional maka bukan lagi mendukung tapi kami pasti akan melaksanakan. Tinggal apakah itu jadi urusan pusat atau pemprov atau seperti apa, nanti kami lihat. Intinya kami siap melaksanakan,” tambahnya.

Berdasarkan kajian yang pernah dilakukan Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), sebanyak 500 PRT berhasil menjadi responden. 500 PRT itu tersebar di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi dan Surabaya.

Jumlah responden PRT perempuan tentu mendominasi yakni sebesar 85,4 persen dan laki-laki 14,6 persen. Sedangkan untuk PRT yang menginap 52,2 persen dan yang tidak menginap 47,8 persen.

7,2 persen mendapat informasi soal PRT dari lembaga resmi, 15,8 persen dari lembaga tak resmi, dan 76,9 persen mendapat pekerjaan secara langsung.

Rata-rata PRT juga bekerja 9,9 jam per hari dan upahnya rata-rata Rp 967 ribu rupiah per bulan. Hingga saat ini, di Kaltim memang belum ada angka pasti terkait jumlah PRT. Serikat PRT juga belum terbentuk. Hal itu dikonfirmasi langsung oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, Yusniar Juliana.

“Kami tidak merincikan hingga ke profesi detail seperti itu. Betul, belum ada data detail terkait jumlah PRT,” ujar Yusniar.

Rozani juga menambahkan, untuk mencari data jumlah pekerja bisa diketahui melalui pencari kerja dan lowongan pekerjaan. Sementara lowongan PRT masih sebatas mulut ke mulut. Jarang ada yang mempublikasikannya secara resmi.

“PRT itu kan perorangan, kami tidak sampai ke situ. Kalau merupakan pekerjaan formal pasti ada datanya,” tutupnya.

Tulisan ini merupakan bagian dari Program Suara Pekerja Konde.co yang mendapatkan dukungan dari Voice, artikel dimuat di Kaltimtoday.co

Related Articles

Leave a Comment