tungkumenyala.com – Sri Siti Marni pekerja rumah tangga (PRT) asal Bogor, tak kuasa menahan air matanya saat menceritakan pengalamannya. Berkali-kali ia harus menghapus air mata dari wajahnya yang masih menyimpan bekas luka akibat kekerasan yang dialaminya saat bekerja menjaid PRT.
“Saya 9 tahun disekap, disiksa, dan upah tidak dibayar. Pelaku penyiksaan ada 7 orang tapi yang dipenjara hanya 2. Hakimpun memutuskan tidak memberi restitusi walau kala itu saya masih anak-anak dan menderita cacat jiwa dan raga,” kata perempuan yang biasa dipanggil Anik itu sambil mengusap air matanya saat mengadu ke Kantor Staf Presiden pada Rabu (4/1/2023)
Ia berhasil menyelamatkan diri dari sekapan majikannya pada tahun Februari 2015. Toipah, PRT dari Brebes yang juga hadir dalam kesempatan itu melengkapi cerita Anik, tentang kekerasan yang dialami para PRT.
“Saya dan 2 PRT sesama pengasuh anak setiap hari disiksa selama 7 bulan non stop sampai saya bisa menyelamatkan diri. Majikan saya pejabat negara dan sampai sekarang saya masih ketakutan bertemu pejabat atau melihat gedung apartemen,” ujarnya.
Toipah adalah korban penyekapan oleh seorang politisi dan istrinya. Politisi itu kemudian dipenjara 2 tahun pada Agustus 2016. Toipah lebih beruntung karena pengadilan memutuskan untuk memberikan restitusi padanya.
Selain Toipah dan Ani, hadir pula korban korban kekerasan terbaru, yakni Rizki PRT dari Cianjur yang kasusnya mencuat pada Agustus 2022 lalu dan hingga sekarang masih di tahap penyelidikan. Ia mengharapkan kasusnya diproses dengan cepat oleh polisi. Hingga hari ini tidak satupun pelaku ditangkap sehingga beberapa barang bukti penting hilang.
Rizki mengalami kekerasan dan perbudakan selama hampir 7 bulan. Tak hanya mengalami kekerasan fisik, gaji Rizki juga tidak dibayarkan secara utuh,
Kesaksian tiga PRT yang menjadi korban kekerasan tersebut berlangsung pada audiensi Serikat PRT Sapulidi dengan KSP pada Hari Rabu (4/1/23). Audiensi diorganisir oleh Jaringan Nasional Advokasi (Jala PRT) dan Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan PPRT.
Audiensi ke KSP tersebut merupakan bagian dari Aksi Rabuan untuk Pengesahan UU Perlindungan PRT. Rombongan Koalisi Sipil diterima oleh Tim Deputy V dan II yang dipimpin oleh Jaleswari Pramowardhani.
Jaleswari didampingi Staf Ahli Utama Bidang Hukum dan HAM yaitu Prof Ruhaini dan Mugiyanto. Dari Koalisi hadir Eva Sundari dari Institut Sarinah, Lita Anggraini dari Jala PRT dan Siti Muslikah jubir SPRT Sapulidi – JALA PRT.
“KSP menempatkan RUU PPRT sebagai prioritas, setelah membentuk Gugus Tugas RUU PPRT maka KSP terus melakukan Komunikasi dan lobi dengan DPR. Pemerintah sangat peduli penderitaan para ibu-ibu PRT, Hati Kami bersama PRT.
“KSP menempatkan RUU PPRT sebagai prioritas, setelah membentuk Gugus Tugas RUU PPRT maka KSP terus melakukan Komunikasi dan lobi dengan DPR. Pemerintah sangat peduli penderitaan para ibu-ibu PRT,” sambut Jaleswari.
Ia terus menyemangati perjuangan para PRT agar UU PPRT bisa segera dibahas dan disahkan.
“Hati kami bersama ibu-ibu sekalian,” sambungnya bersungguh-sungguh.
Staff KSP Bidang Hukum, Mugiyanto memberikan perhatian khusus pada proses hukum Rizki yang masih berlangsung.
“Kami akan melakukan pemantauan untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban secara maksimal termasuk hak atas restitusi,” kata Mugiyanto.
Pertemuan siang hari itu diakhiri dengan pemberian payung hitam simbol kebutuhan Perlindungan dari negara bagi para PRT. Payung bertuliskan SAHKAN UU PPRT tersebut telah dibuka di istana Merdeka. Harapan para Ibu PRT begitu tinggi kepada Kepala Negara untuk mewujudkan impian mereka. “Memang hanya Kepala Negara yang dapat membantu mengurai kebuntuan proses legislasi RUU PPRT ini,” kata Eva Sundari, Koordinator Koalisi Sipil UU PPRT.