Karena alasan ekonomi aku bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ini aku lakukan sejak umurku 13 tahun. Berkat dorongan teman-teman sesama PRT, aku berhasil meraih gelar sarjana. Kini aku aktif di LBH APIK yang aktif mendampingi para PRT dan para korban kekerasan seksual.
Penulis: Nur Kasanah
Nur atau mbak Nur, demikian orang biasa memanggil namaku. Nama ini adalah nama pertama dari nama lengkapku Nur Kasanah. Saat ini aku bekerja sebagai salah satu staf Divisi Internal LBH APIK Semarang. Pekerjaan ini aku lakoni sejak 2016 dan telah memantapkan diri untuk terus berada di sana.
Namun kisah hidupku punya kaitan erat dengan pekerja rumah tangga (PRT). Profesi inilah yang mengantarkanku ke posisiku saat ini. Baiklah aku ceritakan kisahku. Aku lahir di penghujung tahun 1990 dari sebuah keluarga sederhana di Bangsri Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Aku bekerja sebagai pekerja rumah tangga saat memasuki usia akil baliq, yakni sejak usia 13 tahun atau saat masih duduk di bangku SMP. Aku bekerja sambil menyelesaikan sekolahku. Ini karena orang tuaku yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian tak lagi mampu membiayai sekolahku. Waktu itu aku belum tahu kalau yang kukerjakan saat itu yaitu mengasuh anak tetangga yang ternyata termasuk salah satu pekerjaan PRT.
Lalu selulusnya dari bangku SMP pada 2006, aku tak bisa langsung melanjutkan sekolah dan tetap bekerja sebagai PRT. Pekerjaan ini aku lakoni, karena inilah pekerjaan yang paling mudah aku lakoni sesuai dengan umur dan pengalamanku. Aku menyisihkan sebagian upahku sebagai PRT agar aku bisa melanjutkan sekolah. Lantas pada 2008 aku mulai mengikuti Sekolah Paket C, uang sekolah aku bayar dari upah yang aku terima.
Kejadian yang mempertemukan aku dengan teman sesama PRT yang menjadi penggerak organisasi PRT di Semarang mengubah perjalanan hidupku.
Ia mengajakku bergabung dalam organisasi PRT (OPerata) yang sedang dirintisnya. Saat itu aku memang sudah tertarik untuk ikut berorganisasi. Saat itu pertemuan masih bersifat informal, kami belum memiliki organisasi resmi. SPRT Merdeka yang menaungi para PRT di Kota Semarang baru resmi dibentuk pada 2012 dan aku menjadi salah satu pendirinya.
Satu hal yang bisa aku petik dari pertemuan ini adalah aku banyak belajar hal baru, baik dari keterampilan sebagai PRT maupun dalam berorganisasi. Perjumpaanku dengan teman-teman sesama PRT juga para pegiat hak PRT mendorongku untuk terus mencapai pendidikan yang lebih tinggi.
Melanjutkan sekolah
Atas dukungan teman-teman di SPRT, aku kemudian mengambil Ujian Persamaan Paket C pada 2010. Tak berhenti di situ, aku juga bertekad melanjutkan studiku ke jenjang S1, namun saat itu aku harus cuti satu tahun karena penghasilanku sebagai PRT belum mencukupi.
Aku kemudian mencari penghasilan tambahan dengan memberikan les privat kepada anak-anak. Dari situ aku menabung untuk biaya kuliah sampai gelar sarjana Akuntansi aku raih di STIE Dharmaputra Semarang pada 2015. Akhirnya aku lulus kuliah.
Kiprahku sebagai koordinator SPRT Merdeka yang dimulai sejak awal berdiri pada 2012 berlangsung hingga saat ini. Di samping kesibukanku di LBH APIK Semarang aku tetap setia mendampingi teman-teman PRT, baik dalam mengadvokasi RUU Perlindungan PRT maupun dalam mengembangkan organisasi.
Lewat sekolah PRT aku terus berusaha menyuarakan hak-hak PRT, mendampingi PRT yang terkena kasus, dan tak lupa meningkatkan keterampilan dan kemampuan mereka sebagai pekerja.
Nggak mudah memang mengorganisasi PRT. Ini adalah pekerjaan yang tak pernah putus. Masalah yang dihadapi PRT sangat kompleks, seperti diketahui sebagian besar PRT berpendidikan rendah yang datang dari kelompok ekonomi yang kurang beruntung.
Dalam kondisi seperti ini mereka harus berhadapan dengan struktur yang tidak adil buat mereka, seperti hubungan kerja yang timpang, jam kerja yang panjang, upah yang tidak layak, tidak ada perlindungan sosial dan sederet masalah lainnya.
Dengan banyaknya masalah ini, kami harus punya prioritas. Tidak semua masalah bisa diurai seketika. Tetapi dengan penuh kesabaran, sedikit demi sedikit kami bisa melakukan perubahan.
Jumlah anggota masyarakat yang sadar bahwa PRT adalah pekerja sehingga berhak mendapatkan hak seperti pekerja lainnya terus bertambah. Ini berkat kampanye dan sosialisasi yang kami lakukan tanpa kenal lelah. Meski kampanye itu harus kami lakukan dengan segala keterbatasan seperti HP jadul, akses teknologi yang terbatas, serta pengetahuan yang terbatas juga.
Hambatan lainnya, adalah masih banyak pemberi kerja yang tak memberi izin kepada PRTnya untuk bersosialisasi apalagi berorganisasi. Tetapi semua kondisi ini tidak menyurutkan semangat kami untuk terus belajar.
Berkembangnya teknologi membuat PRT makin tertinggal, tapi kami bertekad untuk terus belajar agar tidak semakin jauh tertinggal. Lewat sekolah PRT kami belajar bersama untuk menutupi kekurangan kami.
Di sekolah PRT itu juga kami belajar memanfaatkan media sosial untuk berkampanye. Kami bersama-sama belajar membuat materi kampanye seperti video maupun poster dengan menggunakan aplikasi.
Kami yang semula takut bermedia sosial karena sering menemukan kejadian tidak menyenangkan seperti tertipu iklan di Facebook, kini semakin percaya diri di media social. Harapan kami, dengan kampanye yang semakin masif di masing-masing kota, akan semakin banyak orang yang memperhatikan PRT. Makin banyak pihak yang berkawan dengan PRT maka akan makin kuat perjuangan kami.
(Artikel ini sudah pernah ditayangkan di Konde.co)