Soekarno sebagai pencetus Pancasila yang digalinya dari nilai-nilai luhur bangsa meletakkan perempuan dalam bingkai kemanusiaan. Nasib perempuan harus diperjuang bersamaan dengan diperjuangkannya kemanusiaan demi terwujudnya keadilan bersama.
Ravika Alvin Puspitasari
Berbicara soal perempuan dalam perspektif Pancasila adalah upaya kita untuk mendudukkan perempuan sebagai subjek pemangku Pancasila. Bagaimana perempuan menjadi aktor utama dalam pelaksanaan nilai-nilai Pancasila
Soekarno sebagai pencetus Pancasila yang pandangan filosofis dan nilai-nilainya digali/diangkat dari leluhur bangsa. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi hal yang paling utama.
Soekarno yang juga dijuluki putra sang fajar memiliki gagasan orisinil soal perempuan, yang diletakkannya dalam bingkai kemanusiaan. Soekarno melihat perempuan sebagai kelompok lemah dan rentan sehingga patut diperjuangkan nasibnya bersamaan dengan diperjuangkannya kemanusiaan demi terwujudnya keadilan bersama.
Gagasan Soekarno yang paling menarik soal perempuan terinspirasi dari pengasuhnya di masa kanak-kanak yang namanya dia abadikan sebagai Sarinah. Dalam autobiografi-nya, Soekarno menyebut pengasuhnya itulah yang mengajarinya mengenal kasih sayang. “Sarinah mengajariku untuk mencintai rakyat. Rakyat kecil,” tulisnya sang proklamator.
Rasa cinta yang begitu besar kepada Sarinah membuat Soekarno mengabadikan nama Sarinah dalam sejumlah proyek besar. Salah satunya dalam buku “Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia” yang terbit pada 1947.
Dari Sarinah, Soekarno memahami arti kesederhanaan, kesahajaan, kerja keras dan kasih sayang meski nasibnya dicekik kemiskinan.
Bagi Soekarno setiap zaman memiliki kebutuhan masing-masing dalam mendudukkan posisi perempuan. Dalam buku “Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia” yang awalnya adalah materi pengajaran yang diadakan bagi tokoh perempuan di Yogyakarta di masa revolusi ini, Soekarno menyebutkan ada tiga evolusi perempuan.
Pertama, pemuliaan perempuan (pendomestifikasian perempuan), di mana perempuan dipingit, perempuan hanya boleh mengerjakan pekerjaan di dalam rumah.
Kedua, penuntutan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki (equality humanity) ini khas pemikiran barat, menurut Soekarno tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Ketiga, perempuan sosialis yaitu perempuan yang peduli, perempuan yang cukup untuk memahami bahwa mereka adalah subjek. Munculnya perempuan sosialis ini dilatarbelakangi oleh nasib sengsara yang dialami oleh buruh Indonesia. Gagasan ini juga diilhami dari Sarinah. Dari sinilah, Soekarno berupaya untuk membangun kesejahteraan buruh dalam rangka untuk melawan penindasan kapitalisme. Karena memang buruh perempuan pada saat itu dua kali lebih sengsara dibanding buruh laki-laki.
Kemudian pada tahun 1950an, lahir Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang dimaksud Soekarno yaitu keadilan bersama yang sejalan dengan misi perempuan sosialis. Supaya perempuan bisa benar-benar merdeka, perempuan harus sebisa mungkin mengangkat marwahnya dan mengentaskan dirinya dari kemiskinan.
Perempuan bukan hanya konco wingking
Pasca-meletusnya G30S pada tahun 1965, Gerwani sering diafiliasikan dengan PKI. Seiring dengan pembersihan terhadap PKI dan underbownya, Gerwani juga turut dibubarkan bersama organisasi dan partai-partai berhaluan kiri lainnya. Akhirnya gerakan perempuan yang kritis dalam menyuarakan nasib rakyat ini benar-benar dihabisi oleh Orde Baru.
Kemudian pada masa kepemimpinan Soeharto di era Orde Baru (Orba), perempuan ‘disejahterakan’ dalam makna tertentu. Tetapi yang sebenarnya terjadi adalah perempuan kembali hanya diposisikan dalam keadaan serba nomor dua. Dia diarahkan hanya di urusan domestik.
Salah satunya adalah dengan lahirnya organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Meski dalam ARTnya disebutkan bahwa PKK adalah organisasi kemasyarakatan yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia, sejatinya organisasi ini juga mengembalikan peran perempuan hanya di lingkungan keluarga atau sebagai “konco wingking” belaka. Perempuan diposisikan sebagai mendukung laki-laki saja.
Seiring mengentalnya kesadaran beragama, spesifiknya Islam, setelah jatuhnya rezim Orba, maka lahirlah wacana baru tentang feminis muslim. Di satu sisi, gerakan ini ingin menyuarakan citra seorang perempuan, di sisi lain juga menolak habis-habisan nalar feminisme ala Barat yang berkembang di Indonesia.
Pada kadar tertentu, karena mengerasnya agama, muncul penolakan terhadap gerakan feminis. Feminisme dianggap produksi dari barat/kafir dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran dan agama. Muncul kelompok yang menolak feminisme seperti gerakan Indonesia Tanpa Feminis. Kelompok ini menganggap perempuan memang tidak bisa setara dengan laki-laki. Di mata mereka perempuan adalah pengikut yang harus selalu patuh kepada laki-laki atau suami.
Padahal sebenarnya yang diharapkan feminis atau pemikir perempuan adalah bagaimana perempuan dianggap sebagai subjek dan bagaimana perempuan harus diposisikan.
Cukup untuk memahami sejarah bagaimana perjalanan perempuan di Indonesia, yang jelas dasar moral negara kita adalah Pancasila. Di mana keadilan dan kesejahteraan itu harus meliputi semua warga negara. Dengan demikian menjamin keberlangsungan perempuan Indonesia sama halnya dengan mempertahankan ekosistem negara.
Paham feminisme sangat diperlukan untuk saling bahu membahu dengan segenap unsur bangsa untuk terwujudnya keadilan dan kesejahteraan untuk semua. Jika kualitas perempuannya kerdil maka kesejahteraan hanya ilusi. Kita tahu, penduduk Indonesia didominasi oleh perempuan, sehingga memperbaiki kualitas kehidupan perempuan juga berarti memperbaiki kualitas hidup berbangsa dan sebagia bentuk upaya membangun Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. (*)