JAKARTA- Suka atau tidak, Work From Home atau bekerja dari rumah dan Social Distancing atau pembatasan sosial, belakangan menjadi Physical Distancing atau mengatur jarak setiap orang harus dilakukan,– untuk bisa memutus rantai penularan wabah Corona. Di ibu kota Jakarta malahan lebih dulu memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dampak dari semua itu berimbas pada kegiatan belajar di sekolah yang harus pindah belajar di rumah. Sehingga kedua anak majikanku yang bersekolah di sebuah sekolah internasional di Jakarta diliburkan dari pertengahan bulan Februari hingga bulan Agustus. Ini pun belum jelas karena mengikuti perkembangan situasi pandemi Corona di Indonesia. Kemudian sekolah-sekolah lokal menyusul dari bulan Maret hingga 28 Mei. Semua siswa diminta untuk belajar dari rumah melalui online
Sekarang,– setiap pagi masuk kerja di lantai bawah rumah majikan, kedua anak majikanku sudah duduk di meja menghadap layar laptop masing masing. Mereka sudah siap belajar online dan mengerjakan tugas dari sekolah.
Dua anak laki-laki itu berusia 7 tahun dan 9 tahun. Di samping mereka ada ibunya yang ikut duduk untuk mengawasi dan memberi arahan ketika mereka kesusahan mengerjakan tugas. Guru mereka akan ontime melakukan siaran langsung melalui video dan mereka mendengarkan apa yang diajarkan. Setelah selesai, giliran mereka mengerjakan tugas.
Dalam hati saya berkata, “Sungguh beruntung mereka bisa belajar di rumah dan mempunyai fasilitas yang sangat memadai,– masing-masing punya laptop dan sambungan wifi yang tanpa putus, tidak ada kendala sinyal. Mereka beruntung hidup serba berkecukupan.
Jadwal belajar mereka Senin sampai Jumat dari jam 8 sampai 10 pagi harus selesai mengerjakan semua tugas setiap hari yang diberikan dari guru. Lalu mengirimkan jawaban tugas. Jika jam 10 mereka belum selesai, maka sang ibu akan tetap meminta menyelesaikannya walapun waktunya sudah lewat.
Awalnya, proses belajar mereka lakukan dengan tertib dan santai. Mereka bisa ambil jeda main sebentar terus lanjut lagi. Tapi kadang mereka kelihatan stres juga. Mereka melampiaskan dengan berteriak-teriak, terus memukul meja belajar. Atau saling ganggu sampai berantem dan menimbulkan kegaduan. Mereka akan berteriak-teriak sampai ibunya dan memarahi mereka. Lucu juga anak-anak seumur mereka belajar di rumah. Namun kelakuan anak-anak ketika gaduh dan berantem membuat ibunya juga ikut stress. Maka ibunya pun akan berteriak memarahi dan menenangkan mereka.
Pernah ibunya mengeluh,– tidak bisa membayangkan bagaimana sehari-harinya menghadapi anak-anak belajar di rumah dalam jangka panjang. Karena sekolah mereka libur hingga bulan Agustus. Itu pun belum pasti karena tergantung perkembangan pandemi Corona saat ini. Sehari saja katanya sudah stres apa lagi berbulan-bulan.
Hal yang sama dihadapi setiap keluarga di seluruh Indonesia yang diliburkan hingga 28 Mei. Namun berbeda dengan yang aku alami. Anakku Dhiva (11 tahun) juga harus bersekolah secara online dari rumah di kampung,–di Desa Sidamulih, kota Purwokerto. Saat ini, setiap hari hanya ayahnya yang harus mendampinginya belajar dari rumah.
Dhiva memang punya handphone sendiri dan setiap sebulan sekali ku isi paketan internetnya. Jadi jika habis duluan ya resiko dia harus nunggu hingga waktu yang sudah ditentukan. Ini supaya Dhiva belajar tertib dan hemat.
Nah, saat ini, ketika sistim belajar di rumah diberlakukan, semuanya berbanding terbalik. Awalnya Dhiva menikmati belajar dari rumah. Tiap hari mata pelajaran berganti sesui jadwal dan guru yang akan memberikan rangkuman via whatsapp. Kadang guru akan mengarahkan untuk membaca buku salah satu mata pelajaran, bab sekian, halaman sekian. Setelah itu Dhiva harus mengerjakan tugas. Hasilnya harus dikirim balik ke gurunya melalui Whatsapp. Dia juga harus membuka aplikasi google untuk mempelajari kata- kata yang dia tidak tahu dan masih bingung. Untuk itu kadang dibantu ayahnya.
Semula, semua berjalan lancar tapi belakangan kejenuhan pun melanda. Setiap hari Dhiva sering mengeluh dan bilang tugas terlalu banyak. Pelajaran makin susah dan harus menggunakan internet terus. Kadang jaringan atau sinyal di kampung susah karena cuaca juga mempengaruhinya. Belum lagi, ia mengeluh capek, mata sakit karena liatin layar hape yang kelamaan.
Ketika sedang ngerjain tugas koneksi internet putus dan habis kuotanya,–Dhiva pasti kesal dan marah. Aku pun harus merogoh saku lebih untuk beli kuota internet tambahan lagi untuk dia. Pernah Rp100 ribu untuk 11Gb habis 2 minggu hanya untuk ngerjain tugas dari sekolah. Aku harus sering-sering cek Dhiva saat jamnya belajar,– memastikan kalau dia belajar sungguh-sungguh. Karena posisiku masih di Jakarta, bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Kalau dipikir, aku sering merasa sedih karena tidak bisa menemani Dhiva belajar. Saat ini Dhiva pasti butuh aku. Karena biasanya di sekolah ada guru yang menemaninya belajar, tapi saat ini di rumah Dhiva harus belajar sendiri.
Belum lagi, ketika ada himbauan dari Menteri Pendidikan Nadiem Makarim agar semua siswa belajar melalui televisi,– TVRI,– Dhiva tambah complain. Dhiva pernah bilang, mata pelajaran di TVRI tidak sama dengan pelajaran di sekolah. Dia bingung dan juga bilang tidak bisa kosentrasi. Duh, kesedihan bertambah lagi. Aku berani membayangkan dia belajar sendiri di rumah tanpa ibunya.
Aku juga mendengar cerita keluh kesah teman-teman mengenai tugas belajar anak-anaknya di rumah. Ibunya mengeluh tugas sekolah banyak dan harus dampingi proses belajar anak juga. Belum lagi, ketambahan pengeluaran uang yang dua kali lipat dari biasanya untuk membeli paket internet.
Aku bilang ke mereka, “Kalian beruntung karena bisa berkumpul dengan keluarga disini. Bisa menemani anak belajar. Lah,–aku harus terpisah sama anak.”
Memikirkan Dhiva, semakin keras niatku untuk bekerja sungguh-sungguh. Dari jauh aku berharap semoga Dhiva bisa mengerjakan tugas-tugasnya dan melewati semua ini. Walaupun fasilitas terbatas, tapi anakku harus bisa menyerap pelajaran. Yang biasanya libur bisa mudik melepas kangen,–kini pun harus terhalang aturan larangan mudik.
Tugas Semakin Bertambah
Sebagai pekerja rumah tangga dengan adanya libur sekolah dan bekerja dari rumah aku harus membantu menyiapkan makan siang dan sebagainya. Semua itu biasanya tidak ku lakukan, karena tugasku beres-beres rumah saja. Biasanya aku bisa pulang bekerja lebih awal karena tugas-tugas bisa selesai 4 jam tanpa anak dan majikan di rumah. Kini kurang lebih 5 jam.
Kadang juga aku nyuri waktu kerja untuk bisa mengingatkan Dhiva belajar ketika jam pelajaran online dimulai. Aku akan menelpon atau chatting lewat Whatsapp, ke ayahnya juga untuk mengawasi proses belajarnya Dhiva.
Dampak wabah Corona sangat berat dirasakan oleh rakyat, apalagi buat kami Pekerja Rumah Tangga. Jadwal pekerjaan dan tugas pun berubah makin bertambah semenjak pandemi Corona. Belum lagi, aturan pemerintah yang menganjurkan Work From Home (WFH),– bekerja dari rumah. Aku pun kena dampaknya karena dirumahkan. Walaupun tetap digaji full tapi tunjangan makan dan transportasi dipotong selama dirumahkan.
Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Karena disisi lain bagus dirumahkan untuk karantina diri dirumah supaya tidak terjangkit virus Corona. Tapi disisi lain hak tunjangan dipotong. Situasi seperti ini harusnya pemberi kerja tidak mengurangi hak pekerjanya. Tapi apa mau dikata, aku tidak berani nego karena bekerja paruh waktu (partime) tiga kali seminggu, maksimum 5 jam. Pekerjaan ini tinggal satu-satunya sumber mata pencaharian,– sumber ekonomi keluarga setelah kehilangan 2 pekerjaan yang lain dalam waktu yang bersamaan belum lama ini. Berat rasanya harus berada pada situasi begini. Tapi kondisiku saat ini masih beruntung dibanding situasi kawan-kawan pekerja rumah tangga yang banyak dirumahkan, tidak dibayar gajinya, diPHK atau dipotong gajinya selama dirumahkan.
Sebentar lagi mau lebaran. Kebutuhan pangan makin menaik harganya. Sekarang aku menjadi tulang punggung keluarga karena suami bekerja dan tidak bisa ke Jakarta. Sudah tidak ada angkutan yang beroperasi dari kampung ke Jakarta begitupun sebaliknya.
Tidak mudah mencari pekerjaan baru untuk menambah pemasukan. Saat ini pun sangat susah karena terfokus pada situasi dan keselamatan masing-masing. Jadi aku harus benar-benar bekerja serius. Seberat apapun aku harus tetap semangat dan terus berjuang demi keluarga dan masa depan anak. Semoga pandemi ini akan segera berakhir dan ekonomi akan segera kembali normal lagi.
Aku tidak bisa membayangkan jika situasi ini perkepanjangan, bagaimana nasib para pekerja rumah tangga yang sedang kesulitan ekonomi,–sementara roda kehidupan terus berputar. Biaya hidup di Jakarta makin meningkat, tanpa diimbangi pemasukan pendapatan yang cukup.
Sebelum wabah Corona, kami para pekerja rumah tangga sedang memperjuangkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang melindungi 4,2 juta pekerja rumah tangga. Sudah 12 tahun kami berjuang, tapi Pemerintah dan DPR tidak mau memberikan perlindungan mengesahkan status kami sebagai pekerja yang harus dilindungi negara. Sampai sekarang pekerja rumah tangga tetap dipandang sebelah mata, dan tersisihkan.
Baru saja aku baca berita dalam peringatan Hardiknas di akun twitter @jokowi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa Pandemi Corona telah memberi begitu banyak pelajaran dalam pembelajaran siswa. Lebih lanjut, Presiden minta agar sekolah-sekolah berkreasi memanfaatkan teknologi dalam proses belajar mengajar.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar mengajak seluruh insan pendidikan di tanah air mengambil hikmah dan pembelajaran dari krisis Covid-19. Mendikbud juga mengajak seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk selalu berinovasi di tengah pandemi Covid-19.
Katanya, belajar memang tidak selalu mudah, tetapi inilah saatnya kita berinovasi. Saatnya kita melakukan berbagai eksperimen. Inilah saatnya kita mendengarkan hati nurani dan belajar dari Covid-19.
Semua orang tua pasti punya keinginan yang sama, seperti yang disampai pak presiden dan mas menteri,– saatnya berinovasi, berkreasi memanfaatkan teknologi dalam proses belajar mengajar. Terbayang anakku Dhiva belajar dari rumah di kampung. Terbayang lagi dua anak majikanku belajar dari rumah di Jakarta. Kapan mereka bisa memiliki fasilitas belajar yang sama? (Leni Suryani)