Home Sosial & Budaya PRT Digaji Majikan Tapi Tak Bisa Diperlakukan Semena-mena

PRT Digaji Majikan Tapi Tak Bisa Diperlakukan Semena-mena

by Engelbertus Viktor Daki

“Korupsi bukan selamanya soal uang. Korupsi pada inti terdalamnya adalah pemerkosaan terhadap nilai kemanusiaan setiap pribadi.”

Keberadaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) bagi masyarakat kelas menengah ke atas amat penting di kawasan urban. Kesibukan kerja di luar rumah mau tidak mau membuat keluarga menengah ke atas melimpahkan hampir semua pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci baju, merawat rumah, dan sebagainya PRT. Mereka membantu meringankan urusan rumah tangga dan menjaga aura kehidupan di dalam rumah.

Sentralnya peran mereka dalam rumah para pengguna jasa mereka ternyata kerap tidak sebanding dengan apa yang diterima. PRT kerap mengalami perlakuan  kurang pantas, lagi menyakitkan.. Mulai dari tidak dibayar gajinya, ditahan-tahan ketika hendak pulang, disiksa, dikurung, dan bahkan yang paling kejam adalah dilecehkan-diperkosa.

Realitas PRT di Indonesia

VOA Indonesia dalam  ‘JALA PRT: 400-an Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan pada 2012-2021‘, yang merupakan hasil survei Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menunjukkan secara gamblang banyaknya pekerja rumah tangga yang diperlakukan secara tidak manusiawi di Indonesia.

Lita Anggraini, koordinator survei ini mengatakan, “Data terakhir hingga Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap PRT dari berbagai aspek. Seperti psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.

Mengenal Pekerja Rumah Tangga

Sebelum beranjak lebih jauh, perlulah dulu dijernihkan istilah Pekerja Rumah Tangga. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 2 Tahun 2015 menegaskan, “pekerja rumah tangga atau selanjutnya disingkat PRT adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan atau imbalan dalam bentuk lain.”

Permen itu juga menegaskan, seorang PRT wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan Perjanjian Kerja; menyelesaikan pekerjaan dengan baik, menjaga etika dan sopan santun di dalam keluarga Pengguna, dan memberitahukan kepada Pengguna dalam waktu yang cukup apabila pekerja rumah tangga akan berhenti bekerja.

Dilanjutkan, para majikan yang menggunakan jasa seorang pekerja rumah tangga, wajib membayar upah sesuai Perjanjian Kerja, memberikan makanan dan minuman yang sehat, memberikan hak istirahat yang cukup kepada PRT, memberikan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut, memberikan tunjangan hari raya sekali dalam setahun, memberikan hak cuti sesuai dengan kesepakatan, mengikutsertakan dalam program jaminan sosial, memperlakukan mereka dengan baik, dan melaporkan penggunaan jasa kepada Ketua Rukun Tetangga atau dengan sebutan lain.

Meskipun demikian, fakta di lapangan seringkali tidaklah seideal permen tersebut. Lita Anggraini, dalam kompas.com (05/07/2020) menuliskan bahwa  PRT bekerja dalam situasi yang tidak layak, jam kerja panjang, beban kerja, tidak ada kejelasan istirahat, libur mingguan dan cuti, serta jaminan sosial bahkan larangan untuk bersosialisasi berorganisasi.

Menelisik Konsekuensi Perubahan Istilah

JALA PRT bersama Serikat PRT terus mengkampanyekan pentingnya menggantikan istilah pembantu menjadi pekerja. Perubahan istilah ini membuat mereka mampu mendapat hak-hak yang jelas dan terjamin.

Jika istilahnya masih pembantu, maka tidak ada kekuatan hukum. Pembantu masih dianggap sebagai orang yang secara sukarela membantu tanpa adanya adanya kekuatan ikatan ketenagakerjaan yang bisa menolongnya kalau-kalau di kemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena sifatnya membantu, maka mereka dapat diperlakukan semaunya oleh yang dibantu, dapat digaji ala kadarnya, tidak perlu kontrak kerja, kapan saja dapat diberhentikan tanpa memenuhi hak-hak sesuai hukum ketenagakerjaan.

Kemanusiaan PRT

Pekerja Rumah Tangga merupakan manusia yang memiliki martabat setara dengan majikan mereka. Status majikan sebagai pengguna jasanya tidak berarti ia bebas bertindak semaunya atas para PRT. Memperlakukan seorang pekerja rumah tangga secara bermartabat adalah wajib hukumnya.

Sulit untuk disangkal bahwa adanya penyelewengan kuasa oleh para majikan terhadap para PRT adalah akibat dari pola pikir majikan lebih tinggi statusnya dari pada pekerja rumah tangga. Merasa sudah atau mampu membayar, majikan sering berbesar kepala.

Adagium ‘pembeli (pengguna jasa)’ adalah raja kiranya berbunyi di sini. Adagium ini lahir dari pengamatan dan refleksi manusia atas fenomena manusia (pelayan) di hadapan raja. Raja adalah orang yang berkuasa dan dihormati. Maka, apapun kehendaknya, meski tidak menyenangkan bagi hambanya, hal itu wajib dilakukan bila raja menginginkannya. Hal yang sama dapat kita temukan dalam perilaku majikan terhadap para PRT.

Penyelewengan

Adanya pemaknaan ataupun identifikasi keliru para majikan yang menganggap diri raja, membuat mereka sering ngawur. Lord Acton (1833-1902) tepat, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” atau “Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan itu absolut korup seratus persen”.

Korupsi tidak selalu soal uang. Penyelewengan kekuasaan, pengambilalihan hak dan martabat orang lain adalah sebuah bentuk korupsi karena bersifat mengurangi,  mencuri, dan merusak.

Kita mungkin akan bertanya, para majikan itu orang kaya dan umumnya berpendidikan baik (kaum menengah ke atas), tapi mengapa mereka berbuat demikian? Jawabannya bisa sangat sederhana, yakni karena penyelewengan atau pelanggaran itu nikmat dan menguntungkan.

PRT Itu Manusia

Peliknya situasi para PRT di Indonesia merupakan gambaran bahwa masih terdapat banyak pihak yang menganggap rendah pekerjaan ini. Hal ini menyebabkan para majikan lupa bahwa para PRT ini juga manusia seperti mereka, punya perasaan, keluarga, dan harapan masa depan yang baik.

PRT bukanlah orang yang berpendidikan tinggi. Mereka adalah orang-orang sederhana, yang umumnya datang dari daerah demi memperjuangkan hidup yang lebih baik. Adalah sesuatu yang amat memalukan, lagi menyakitkan, jika sebagai orang yang berpendidikan lebih atau memiliki kemampuan lebih, menindas mereka yang sudah berada dalam posisi yang tidak ideal ini.

Pelanggaran terhadap hak-hak PRT baik secara hukum maupun kemanusiaan (memperkosa, menyiksa, dan sebagainya) adalah sebuah tindakan yang amat keji. Pelanggaran terhadap mereka bukan hanya merugikan PRT materil, melainkan juga merusak kemanusiaan mereka sebagai makhluk yang memiliki rasa-perasaan dan hati nurani. Penindasan atas hak dan kemanusiaan pada mereka adalah sebuah pembunuhan kemanusiaan yang bengis yang tak termaafkan.

Melihat dan Bergerak Bersama

Adanya situasi yang pelik ini, kiranya menggerakkan hati semua orang untuk membuka hati dan mulai merapatkan barisan membela para PRT. Ada beberapa hal yang bisa diperjuangkan.

Pertama, melihat-mengamat-amati situasi di sekitar kita. Apakah ada para PRT yang dilakukan tidak adil dan bermartabat, baik oleh kita sendiri maupun orang lain. Jika ada, maka perlu ada gerak bersama untuk menghentikannya sebagai tanda bahwa kita ini manusia yang memang punya hati dan rasa kemanusiaan.

Kedua, mendengar dan menghormati PRT. Sebagai sesama manusia, kita perlu membuka mata dan telinga lebar-lebar pada realitas kehidupan mereka. Bisa jadi mereka yang menjadi korban adalah orang-orang di sekitar kita. Seringkali para PRT ini memilih diam karena merasa tidak didengarkan dan tidak dihormati.

Ketika, usaha bersama. Upaya pemberantasan berbagai pelanggaran dan pelecehan terhadap para PRT ini perlu menjadi langkah bersama. Usaha yang sporadis, seringkali sulit membuahkan hasil.

Pada akhirnya, sebagian orang mungkin merasa nyaman dengan ketidakadilan terhadap para PRT, tetapi orang perlu berpikir melampaui logika untung dan rugi. Membela PRT bukan soal membela korban semata, melainkan membela kemanusiaan universal yang mulia, bermartabat, dan berharga.

Related Articles

Leave a Comment