Saya mendapat majikan laki-laki yang genit dan senang memegang-megang saya, itu pengalaman pertama kali saya bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam rumah ketika PRT bekerja
Oleh: Puji Astuti.Utami
KETIKA saya menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk pertama kali, saya langsung mendapat pelecehan seksual. Umur saya masih belasan tahun. Majikan saya yang laki-laki selalu genit dan memegang-megang tangan saya. Dan ternyata, bukan itu saja pengalaman buruk menjadi PRT
Cerita duka saya menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) lainnya masih banyak. Saat dilecehkan, diremehkan, dan didiskriminasi. Inilah kisah saya, Puji Astuti Utami.
Saya terlahir dalam keluarga broken home sehingga saya dibesarkan oleh orangtua dari bapak. Si mbah menyekolahkan saya tetapi hanya sampai kelas 6 SD. Menurut mereka saat itu percuma bagi perempuan untuk sekolah tinggi karena akhirnya akan ke dapur juga. Bagi mereka juga, yang penting saya sudah bisa baca tulis. Mereka menganggap dua kemampuan itu saja yang cukup saya miliki. Toh saya cuma anak petani.
“Untuk apa sekolah tinggi-tinggi?,” katanya.
Orangtua saya bercerai ketika saya berumur satu tahun. Dari umur satu tahun, saya tidak mengenal sosok ibu. Peristiwa itu membuat saya tidak begitu akur dengan ibu dan saudara tiri saya.
Dari kelas satu hingga enam SD, saya sudah terbiasa bekerja keras, mencari kayu bakar, menjadi buruh tanam padi, dan mencari ulat tembakau. Saya ngasak atau mencari sisa-sisa panen, menjadi buruh pemetik tembakau. Uangnya lalu saya kumpulkan untuk membeli buku dan jajan.
Ketika lulus SD, saya ingin sekali tinggal bersama ibu kandung saya dan tinggal bersamanya. Karena semasa kecil, saya hidup di bawah tekanan bapak dan nenek saya. Masa selesai lulus itu pula, saya diajak paman ke Jakarta untuk bertemu ibu saya. Dengan suka cita dan segudang harapan, saya berangkat ke Jakarta. Waktu itu tahun 1987. Di benak saya, bertemu ibu kandung, bersekolah, dan saya bisa hidup bahagia.
Namun, sesampainya di Jakarta, semua angan dan harapan saya buyar. Saya hanya bisa menahan tangis dan kekecewaan yang amat sangat karena ibu berkata kalau pendaftaran sekolah sudah ditutup.
“Kamu telat datang,” katanya.
Saya tidak mau menyusahkan ibu, tetapi juga tidak mungkin bagi saya untuk kembali ke kampung. Saya pun berinisiatif mencari pekerjaan apa saja.
Tahun 1988, saya kemudian mendapat sebuah pekerjaan sebagai pengasuh anak di daerah Serpong. Gajinya Rp15.000,00 per bulan. Saya yang masih anak-anak, polos dan lugu tidak betah bekerja di sana karena majikan laki-lakinya genit, suka memegang-megang tangan saya. Saya mengundurkan diri dengan alasan sakit maag akut. Itu benar-benar pengalaman buruk bagi saya, bekerja pertama kali dan mendapatkan pelecehan seksual
Kemudian, saya pun mencari pekerjaan lain. Saya bekerja dengan majikan di luar Jakarta. Mereka sangat baik pada saya. Saya dianggap seperti keluarga sendiri di rumah mereka. Saya kerja dengan mereka hingga tahun 1990 karena ibu dan bapak harus pindah ke Bogor. Setelah itu, saya berpikir untuk ikut dengan ibu kandung saya akan lebih baik. Namun, ternyata tidak.
Tahun 1991, saya kemudian bekerja di sebuah keluarga Semplak, Bogor. Saya menjadi pengasuh cucu keponakan majikan dengan gaji Rp25.000,000 per bulan. Sebelum diterima bekerja, saya sempat ditanyai tentang sebab kenapa sudah bekerja padahal saya masih kecil. Dengan polos saya menjawab:
“Kata orangtua sudah telat daftar sekolah, kalau memaksa biayanya juga mahal.”
Saya pun ditanyai lagi apakah saya mau sekolah atau tidak. Tentu saya menjawab iya, tetapi tidak ada biaya. Majikan pun bercerita panjang lebar dan akhirnya saya ikut tinggal dengan keluarga mereka.
Di sinilah kehidupan saya mulai membaik. Saya bekerja dengan mereka, sembari juga tetap sekolah. Mereka senang dengan hasil pekerjaan saya. Mereka pun semakin menyayangi saya. Ketika itu tahun 1993, saya sekolah di SMPK Marsudi Luhur, Bogor dan masuk pada pagi hari. Saya tidak lagi mengasuh cucu, sehingga pukul 4 pagi saya sudah mengerjakan pekerjaan rumah. Semakin hari, pekerjaan saya semakin berat karena juga membantu ibu yang memiliki kantin. Namun, saya tidak menyerah. Saya berupaya tetap senang mengerjakan semua pekerjaan tersebut.
Akhirnya, saya bisa mengecam pendidikan SMA, dan bahkan kuliah di Papandayan, Bandung, pada tahun 1998. Saya bisa menunjukkan pada orangtua saya kalau saya mampu tanpa mereka. Walaupun, saya diolok-olok oleh adik-adik tiri saya karena saya bekerja menjadi PRT, yang dulu dikenal dengan sebutan jongos.
Setelah bekerja selama 8 tahun disana, saya memutuskan untuk sekolah di sekolah khusus baby sitter atau pengasuh bayi. Saya cukup sering berpindah-pindah pekerjaan karena suka mendapat pengalaman baru sebagai baby sitter. Selama dua tahun, saya sempat bekerja sebagai pengasuh Lansia dengan gaji sebesar Rp1.300.000,00 per bulan. Setelah orang yang saya rawat meninggal, seorang teman menawari saya pekerjaan dengan orang asing. Saya menerimanya dan di sinilah saya mulai belajar bahasa Inggris, memasak, dan lain-lain. Saya juga sempat mengurusi anak-anak pecandu narkoba di sebuah yayasan di Bogor
Tak mudah menjadi PRT, jalan hidup saya sangat panjang dan kalau dipikir-pikir ini sangat melelahkan, tapi tetap saja saya memilih untuk bersyukur, apalagi yang bisa saya lakukan saat ini selain bersyukur
PUJI ASTUTI UTAMI
Sehari-hari Bekerja Sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT)