JAKARTA- Apa yang menjadi faktor terbesar tumbuhnya sikap intoleran dalam diri seseorang? Bukan karena ajaran agama. Bukan itu penyebabnya. Hasil penelitian Wahid Foundation menguak fakta berbeda.
Hasil penelitian ini dipaparkan Direktur Wahid Foundation Hj Zanubba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid. Kata putri Gus Dur ini, kegelisahan menjadi salah satu faktor besar tumbuhnya sikap intoleran dalam diri seseorang.
“Ada yang disalahpahami oleh banyak pihak bahwa agama adalah faktor yang menjadikan orang radikal atau menjadi teroris. Ternyata itu bukan faktor pertama bukan faktor paling besar, bukan ajaran agamanya sendiri yang menjadikan orang kemudian ikut masuk gerakan-gerakan radikal dan intoleran. Tetapi faktor yang paling besarnya adalah kegelisahan, kecemasan, ketidakyakinan diri, kemarahan, dan lainnya,” tutur Yenny dalam acara Salam Forum: Kompak Menebar Rahmah di Media Sosial, pekan lalu seperti sudah diwartakan NU Online yang disiarkan ulang oleh redaksi Tungkumenyala, Selasa (4/5).
Yenny menjelaskan, dalam tinjauan grafologi –ilmu tentang aksara atau sistem tulisan– yang menganalisa para pelaku bom bunuh diri di Makassar dan Mabes Polri, para pelaku memiliki rasa kepercayaan diri yang rendah dan mempunyai tingkat kegalauan yang tinggi.
“Nah, orang-orang yang cemas dan galau ini kemudian bertemu dengan orang-orang yang melakukan provokasi dengan dalil agama untuk memberikan rasa aman dan rasa percaya diri yang semu. Jadi, dengan dalil agama didoktrin untuk membuat mereka merasa percaya diri dan penting diberi misi suci hingga mereka merasa menjadi pahlawan,” beber Yenny.
Selain doktrin-doktrin yang mengatasnamakan agama, doktrin politik juga kerap dijadikan alat provokasi. Contoh sederhana adalah provokasi Donald Trump kepada para pendukungnya untuk menyerang Capitol Hill.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, peran media sosial tak kalah besar juga. Media sosial jadi pintu masuk utama dalam memengaruhi struktur otak menjadi berbeda. Melalui media sosial kelompok ekstremis biasanya menawarkan konten-konten untuk menampung keeksisan para pengikutnya.
“Nah, ini proses perekrutan pertama, walaupun kemudian biasanya terjadi lagi lewat offline, tetapi bahwa sosial media bisa menjadi gateway (gerbang) untuk konten-konten yang tidak ramah terhadap masyarakat,” ungkapnya.
Solusinya, memastikan adanya konten-konten yang bisa meminimalisasi bahkan menutupi konten-konten yang tidak ramah itu. Tugasnya adalah memberikan opsi berbeda dari konten yang lebih ramah.(Lita Anggraini)