JAKARTA- Pihak manajemen Rumah Sakit Siloam Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan mengumumkan bahwa pasien cuci darah yang akan melakukan tindakan hemodialisa (cuci darah) diwajibkan untuk mengikuti rapid tes virus corona sebagai bentuk upaya pencegahan. Hal ini disampaikan oleh Petrus Hariyanto, Sekjen Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) kepada Pers di Jakarta, Selasa (14/4)
Petrus menyampaikan beberapa laporan yang diterima KPCDI sebelumnya, rumah sakit siloam yang menerapkan kebijakan tersebut diantaranya, Siloam Surabaya, Siloam Lippo Cikarang dan Siloam Asri. Dan mungkin akan bertambah keseluruh rumah sakit Siloam di Indonesia dengan mewajibkan pasien cuci darah untuk melakukan rapid test.
“Dikatakan, rapid test ini wajib dilakukan setiap 10 hari sekali selama wabah virus corona berlangsung. Sedangkan biayanya dibebankan langsung oleh pasien dan keluarganya. Tentu sangat memberatkan!” kata Petrus yang selama ini menjadi pasien cuci darah di Rumah Sakit Siloam Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Ia menjelaskan test tersebut dilakukan di Rumah Sakit Siloam Asri dengan harga khusus bagi pasien yang memang melakukan tindakan hemodialisa di Siloam. Biayanya sekitar Rp. 500 ribu. Teknisnya, ketika mendaftar cuci darah, si pasien langsung juga daftar rapid test dan melakukan pembayaran, agar saat cuci darah bisa langsung diambil sample-nya.
“Ketentuan ini wajib dilakukan oleh semua pasien, menjadi ketentuan Rumah Sakit Siloam Asri dalam upaya mencegah penularan virus corona di tempat dan ruangan dialysis,” katanya.
Akibat kebijakan ini, menurutnya, para pasien cuci darah menjadi resah, terutama pasien dengan pekerjaan buruh harian. Sebulan saja bisa membutuhkan biaya Rp 1,5 juta untuk 3 (tiga) kali pemeriksaan tes ini.
“Entah berapa bulan harus keluar uang, karena sampai hari ini wabah terus meningkat? Celakanya, saat ini kita memasuki krisis ekonomi dengan ditandai pendapatan masyarakat yang terus menurun, bahkan dalam bayang-bayang PHK secara massal,” ujarnya.
Tentunya, para pasien menurutnya menyayangkan kebijakan tersebut, karena sebenarnya BPJS Kesehatan tidak punya aturan khusus terkait pemeriksaan ini, dan tidak boleh cost sharing hanya untuk mendapatkan pelayanan cuci darah seperti syarat khusus pemeriksaan rapid test.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) telah mengeluarkan protokol penanganan hemodialisa selama wabah virus corona. Bahkan kewajiban pasien melakukan rapid test juga tidak ada dalam protokol tersebut.
“Pernefri hanya memberi panduan agar pasien yang akan melakukan hemodialisa harus diperiksa kesehatannya dengan benar seperti sebelum memasuki area rumah sakit, harus ditanya si pasien pergi kemana saja dalam waktu dekat ini, mengukur suhu tubuh apakah ada demam atau tidak, mewajibkan mengunakan masker dan cuci tangan dengan bersih menggunakan air mengalir atau hand sanitizer, juga diberi tahu cara dan etika batuk dan bersin yang benar,” jelas Petrus Hariyanto.
Sebelummya, Pernefri memberikan nasehat agar rumah sakit penyelenggara hemodialisa untuk menyediakan ruang isolasi khusus hemodialisa bagi pasien yang dikategorikan ODP, PDP dan suspect virus corona. Mereka juga harus tetap melakukan tindakan hemodialisa di ruang khusus agar tidak berbaur dengan pasien lainnya.
Namun, justru ketentuan ini yang tidak dijalankan mayoritas rumah sakit penyelenggara layanan hemodialisa. Akhirnya, beberapa pasien merenggang nyawa karena dinyatakan PDP tanpa tindakan cuci darah. Sebuah kelalaian yang sangat fatal sekali.
“Saya sebagai pasien cuci darah di Rumah Sakit Siloam Asri keberatan dengan kebijakan di atas. Sebuah kebijakan yang berpotensi membunuh diri saya dan pasien lainnya. Persoalan ini akan kami laporkan kepada Dirut Utama BPJS Kesehatan dan anggota parlemen. Kami juga sudah menyampaikan hal ini ke salah satu staff di Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Semoga ada kebijakan yang berpihak kepada pasien,” katanya. (Lita Anggraeni)