JAKARTA- Ketua Panja RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) Baleg DPR RI Willy Aditya mengatakan, RUU PPRT yang masuk dalam Prolegnas 2020 sangat urgen dibahas guna memberi perlindungan serta kepastian hukum kepada para Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pemberi kerja. Mengingat, selama perlindungan terhadap PRT belum terakomodir dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“RUU ini urgen dibahas untuk mencegah diskriminasi, pelecehan dan kekerasan kepada PRT, mengatur hubungan kerja yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan,” katanya usai memimpin rapat antara Tim Ahli Baleg DPR RI dengan Anggota Baleg yang dilakukan secara virtual disiarkan dari Ruang Rapat Baleg, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (6/4) lalu.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, dalam pembahasannya, lanjut Willy, ada beberapa hal yang perlu dispesifikan, salah satunya aturan perekrutan PRT baik melalui yayasan atau perorangan.
“Harus diatur supaya tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran, baik pelanggaran ekonomi, pelanggaran hak asasi, dan pelanggaran hukum. Namun, ini harus kita klasifikasi, karena kalau berpikir untuk kemudian pukul rata, ini bisa menjadi boomerang,” katanya.
Untuk itu, dalam perjalanan menyusun RUU PPRT, guna pembahasan secara lebih spesifik mengenai relasi kerja antara pemberi kerja dengan PRT itu sendiri, pihaknya masih akan terus mengundang beberapa ahli agar RUU yang dihasilkan terukur dan bisa dilaksanakan.
“Kami mau membuat RUU yang terukur dan bisa dilaksanakan. Saat ini, kami sedang berusaha melakukan clusterisasi apa saja yang menjadi pokok perlindungan,” jelas Willy Aditya.
Optimis Baleg
Sebelumnya, menurut politisi Fraksi Partai Nasdem itu, perlindungan bagi pekerja rumah tangga (PRT) menjadi suatu kebutuhan yang mendesak, mengingat wilayah kerjanya yang bersifat domestik dan privat, sehingga rentan akan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Data dari Survei International Labour Organization (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, mencatat setidaknya terdapat 4,2 juta jiwa PRT berasal dari Indonesia. Secara kuantitas ini tergolong yang tertinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia, yakni India 3,8 juta dan Filipina 2,6 juta.
Untuk itu menurutnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berkomitmen untuk segera menyelesaikan aturan yang sudah mangkrak selama 3 periode ini. Sementara pada periode ini, RUU Perlindungan PRT telah masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas 2020. Hal ini dinilai sebagai pencapaian yang sangat maju oleh Wakil Ketua Baleg Willy Aditya, yang memimpin langsung RDPU Baleg dengan Komnas Perempuan dan Jaringan Nasional Advokat Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/2) lalu.
“Ini inisiatif Baleg, dan kita optimis Insya Allah tahun ini, bahkan RDPU sebelumnya semua fraksi semangat hadir, ini kita jadikan ikhtiar bersama. Kali ini kami kembali ingin mendapat masukan dari Komnas Perempuan dan Jala PRT agar proses penyusunan Undang-Undang ini nantinya tidak pukul rata, karena ini wilayahnya sangat privat, sehingga kehadiran Undang-Undang ini bisa memberikan kepastian hukum dan melindungi pekerja rumah tangga yang jumlahnya sangat banyak,” kata Willy kepada pers.
RUU itu menurutnya tidak hanya mengatur tentang pemberian jaminan seperti kesehatan, ketenagakerjaan, dan hak untuk mendapatkan libur, UU ini nantinya akan memberikan hak bagi pekerja untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan. “Di sini kita akan adakan pendalaman khusus terkait BLK (Balai Latihan Kerja) yang akan membantu proses pendidikan yang titik beratnya kepada pihak pemberi kerja dan pekerja sendiri, fungsi pemerintah belum banyak dilibatkan, ini yang perlu kita dalami,” imbuhnya.
Mengenai isu kapitalisasi yang sempat mengemuka, politisi Fraksi Partai NasDem ini tidak khawatir. Menurutnya, kapitalisasi melalui agen penyalur kerja akan lebih mudah diatur jika pihak tersebut terdaftar ke pemerintah sehingga mudah untuk diawasi.
“Yang sulit ini relasi yang semi feodalistik, tidak ada kontrak kerja sehingga marak praktik-praktik ekspoitasi pekerja,” tandasnya.
Meski dihadapkan dengan tantangan secara sosiologis, menurutnya, Undang-undang ini nantinya juga harus dihadapkan dengan keadaan sosial budaya dimana relasi kerja masih dalam ranah yang feodalistik. Untuk itu, Willy menekankan perlunya pembahasan secara lebih spesifik mengenai relasi kerja antara pemberi kerja dengan PRT itu sendiri.
“Tadi sudah bagus yang dua item seperti abdi dalem dan santri tidak disertakan, tetapi kita harus lebih spesifik lagi,” ungkap legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur XI itu.
Jika disahkan nantinya, RUU Perlindungan PRT ini akan otomatis meratifikasi Konferensi ILO No. 189 Tahun 2011 tentang Pekerjaan Layak bagi PRT. Konvensi organisasi pekerja sedunia tersebut, hinga kini belum juga diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
“Dengan RUU Perlindungan PRT ini disahkan maka otomatis kita meratifikasi peraturan tersebut, ini penting sehingga kita juga memiliki kekuatan hukum bagi buruh migran kita diluar negeri, khususnya para pekerja rumah tangga,” pungkas Willy.
Dukungan Gerakan Buruh
Sementara itu sebelumnya, Ketua Harian Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Muhammad Rusdi menegaskan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) lebih mendesak untuk disahkan ketimbang RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Hal ini karena, sebagai pekerja, selama ini nasib PRT belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah.
Rusdi menyebutkan, PRT bukan budak yang bisa disuruh kerja kapan saja dan diberi upah berapa saja. Untuk itu harus ada perlindungan terhadap mereka. Mulai dari waktu kerja, hak istirahat, upah, jaminan sosial, kebebasan berserikat untuk para PRT, dan lain sebagainya.
KSPI meminta pemerintah dan DPR RI serius dalam persoalan ini. Jangan sampai RUU PPRT yang masuk dalam Prolegnas Prioritas hanya sekedar basa-basi. Karena meskipun sudah beberapa kali masuk Prolegnas, nyatanya beleid ini tak kunjung dibahas hingga tuntas.
Padahal, perlindungan PRT sudah diatur dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 189 tentang Pekerja Domestik. Karena itu dibutuhkan undang-undang yang khusus memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepara para Pekerja Rumah Tangga.
KSPI menyebutkan, keberadaan UU PPRT sekaligus menjadi bukti bahwa pemerintah berkomitment memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga. Sehingga negara lain yang saat ini mempekerjakan PRT dari Indonesia juga akan menghormati para PRT Indonesia yang bekerja di sana.
“Pemerintah jangan hanya melindungi investor dan pemilik modal, yang tercermin dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) tetapi kelompok-kelompok yang rentan justru terus ditekan,” kata Rusdi, Minggu (16/2). (Aminah)