JAKARTA- Belakangan ini program vaksinasi Covid-19 di Indonesia masih menjadi pusat perhatian dan masih ramai diperbincangkan. Pasalnya, program vaksinasi Covid-19 di Indonesia itu menimbulkan banyak pro dan kontra.
Seperti yang kita tahu, proses vaksinasi ini pun dilakukan secara bertahap dan telah mulai berjalan sejak 13 Januari 2021 lalu.
Program ini pun diawali dari para tenaga kesehatan, petugas pelayanan publik, kemudian baru masyarakat umum.
Kemudian, bagi pihak yang menolak untuk disuntik vaksin Covid-19, maka akan mendapat sanksi administratif seperti yang dimuat dalam Perpres Nomor 14 tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 perubahan dari Perpres 99 Tahun 2020.
Sanksi administratif itu berupa penundaan atau penghentian pemberian bantuan sosial. Tak hanya itu saja, pihak yang menolak disuntik vaskin Covid-19 dapat dikenai denda atau penghentian layanan administrasi pemerintahan.
Adapun pihak yang dikecualikan untuk tidak mengikuti vaksinasi, jika ia tidak memenuhi kriteria penerima vaksin, seperti terkait kondisi kesehatan.
Meski program tersebut untuk menekan angka kasus pasien terinfeksi Covid-19, masih banyak masyarakat yang tak ingin diberi vaksin.
Sementara itu, ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman justru tak setuju dengan peraturan yang mewajibkan vaksinasi Covid-19 tersebut.
Pasalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah merekomendasikan kepada negara-negara yang tengah menghadapi pandemi virus corona, untuk tidak mewajibkan vaksinasi.
“WHO tidak dalam merekomendasikan vaksin ini bersifat wajib, jadi direkomendasikan negara-negara itu mempersuasi, memberikan strategi komunikasi resiko yang dibangun dengan kesadaran, ini lebih efektif,” kata Dicky saat dihubungi, Sabtu (13/2).
Dicky juga menyarankan bahwa sebaiknya pemerintah membangun komunikasi yang bersifat persuasif terkait vaksinasi Covid-19, daripada memberikan kesan represif.
Jadi, sebaiknya pemerintah memamarkan terkait manfaat vaksin Covid-19 ketimbang harus mewajibkannya.
“Karena akan kontradiktif, jadi yang dibangun adalah bahwa manfaatnya besar, karena saya yakin enggak ada yang mau, kalau tahu (manfaatnya), dan cara menyampaikannya juga tepat, ini yang harus dijadikan opsi utama vaksin ini,” ujarnya.
Dicky juga kembali mengatakan bahwa vaksinasi itu harus bersifat sukarela, bukan malah mewajibkannya dan akan diberi sanski jika menolak.
“Jadi, ini lebih pada, upaya membangun trust ini dengan strategi komunikasi resikonya yang tepat dari pemerintah. Tidak dengan menakut-nakuti,” imbuh dia. (Lita Anggraini)