JAKARTA- Adanya Undang-Undang Perlindungan PRT (Pekerja Rumah Tangga) adalah bentuk hadirnya negara untuk pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT sebagai Pekerja. Negara juga memastikan penghapusan diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan perendahan terhadap pekerjaan PRT dan PRT. Demikian pernyataan bersama antara KOWANI, Maju Perempuan Indonesia (MPI), JALA PRT,Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja di Jakarta, Minggu (5/7).
“Untuk itu negara perlu mengatur hubungan kerja PRT dan Pemberi Kerja dengan Hak dan Kewajiban PRT dan Pemberi Kerja dengan memperkuat perlindungan bagi PRT Migran di negara tujuan, sebagaimana menunjukkan konsisten Pemerintah Indonesia ketika menuntut perlindungan terhadap PRT Migran Indonesia,” demikian Giwo Rubianto, Ketua Umum KOWANI.
Dibawah ini pernyataan lengkap yang diterima Bergelora.com:
PERNYATAAN BERSAMA
RUU PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA
JELANG RAPAT PARIPURNA DPR RI
Rapat Baleg DPR RI 1 Juli 2020 menetapkan Draft RUU Perlindungan PRT diajukan ke Rapat Paripurna DPR RI Akhir Masa Sidang sekarang di pertengahan Juli 2020 untuk ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI.
Kami sangat mengapreasiasi langkah maju DPR RI melalui Baleg DPR RI dan Tim Panja RUU PPRT untuk membawa Draft RUU PPRT ke Rapat Paripurna DPR RI. Dengan nantinya Rapat Paripurna DPR RI menetapkan RUU PPRT sebagai RUU INISIATIF DPR RI, maka pintu terbuka untuk jalan pembahasan bersama Pemerintah. Setelah Draft RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI berikutnya DPR akan mengirimkan RUU tersebut kepada pemerintah. Pemerintah kemudian mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan Surat Presiden (surpres) kepada DPR untuk memulai pembahasan bersama DPR. Inisiatif DPR dan pembahasan bersama dengan Pemerintah sudah ditunggu dan apabila terjadi hal tersebut, maka tahun 2020 menjadi pengharapan jalan untuk perubahan situasi PRT, untuk mewujudkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Hal ini yang terus dinantikan oleh PRT Indonesia,mengingat bahwa RUU PPRT ini sudah diajukan ke DPR sejak 2004 artinya sudah 16 tahun. RUU PPRT sudah berkali-kali menjadi bagian Prolegnas 4 kali periode DPR & Pemerintahan 2004-2009, 2009-2014, 2014-2020, 2020-2024. Pernah menjadi prioritas prolegnas 2010-2014. Artinya sudah 16 tahun perjalanan RUU PPRT.
UU Perlindungan PRT merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan situasi kerja warga negara yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di Indonesia yang berjumlah lebih dari 5 juta dengan 84% adalah perempuan. (Data Survei ILO dan Universitas Indonesia tahun 2015 jumlah PRT di Indonesia 4,2 juta). Suatu angka besar yang menunjukkan bahwa Pekerja Rumah Tangga sangat dibutuhkan. PRT juga bagian dari soko guru perekonomian local, nasional dan global. PRT adalah invisible hand yang selama ini membuat aktivitas publik di semua sektor berjalan.
Namun selama ini, dalam faktanya PRT bekerja dalam situasi kerja – tinggal yang tidak layak: jam kerja panjang, beban kerja tidak terbatas, tidak ada kejelasan istirahat, libur mingguan, cuti, tidak ada jaminan sosial, ada larangan atau pembatasan bersosialisasi, berorganisasi. Situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan, PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, pekerja dan warga Negara. PRT terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan.
Tercatat dalam kurun 3 tahun terakhir dari Januari 2018 sampai dengan April 2020 tercatat 1458 kasus kekerasan PRT yang bisa dilaporkan dengan berbagai bentuk kekerasan, dari psikis, fisik, ekonomi dan seksual serta pelecehan terhadap status – profesinya. Kasus kekerasan tersebut termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar. Junlah kasus tersebut adalah data yang kami himpun berdasar pengaduan dari pendampingan di lapangan. Sementara PRT yang bekerja di dalam rumah tangga, tidak ada kontrol dan akses melapor dan bantuan.
Di samping itu, dari survei Jaminan Sosial JALA PRT tahun 2019 terhadap 4296 PRT yang diorganisir di 6 kota: 89% (3823) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan atau menjadi peserta JKN KIS. Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit termasuk dengan cara berhutang, termasuk berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji. Meskipun ada Program Penerima Bantuan Iuran (KIS) namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Demikian pula untuk PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan KTP wilayah asal juga kesulitan untuk mengakses Jaminan Kesehatan baik dari akses Jaminan ataupun layanan. Di samping itu 99% (4253) PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Ketenagakerjaan. PRT tidak ada akses untuk mendapatkan social safety net. Sebagaimana contoh kasus dalam masa Pandemi Covid19 sebagai Pekerja, PRT tidak terdaftar. Sebagai warga miskin, dan urban PRT tidak terdaftar pula. Sementara keberadaan dan peran ekonomi PRT sangat besar, sangat dibutuhkan. Dalam masa pandemi, bagi PRT tidak ada pilihan karena PRT tidak tergolong sebagai pekerja yang bisa Work from Home, kecuali PRT harus bekerja dengan berbagai resiko. Apabila tidak bekerja, tidak ada bantuan dari pemerintah, PRT mengalami krisis pangan, papan.
Atas situasi tersebut, hadirnya Negara sudah mendesak, DPR sudah mulai menjawab, membahas dan menuju babak berikutnya. Draft RUU PPRT yang dibahas dalam Baleg DPR RI dan pendapat mini para fraksi positif, hingga kemudian disepakati Baleg DPR RI menetapkan RUU PPRT dibawa sebagai RUU Inisiatif DPR RI.
Draft RUU Perlindungan DPR RI tersebut juga menjawab kebutuhan pengakuan dan perlindungan PRT dengan karakteristik PRT sebagai Pekerja Rumah Tangga dan perlindungan Pemberi Kerja sebagai sebagaimana tercermin dalam Draft RUU PPRT yang terdiri dari 12 BAB dan 34 pasal yang memuat antara lain:
Pertimbangan dan Tujuan dari (R)UU PPRT:
- pengakuan dan perlakuan PRT sebagai pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan
- mencegah terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT
- perlindungan dan jaminan bagi pemenuhan hak-hak dasar PRT, kesejahteraan serta pendidikan dan pelatihan kerja bagi PRT
- perlindungan terhadap pemberi kerja untuk keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja antara PRT dengan pemberi kerja;
- menjamin perlindungan hukum sesuai dengan karakteristik pekerjaan PRT
RUU PPRT mengatur hal-hal pokok sebagai berikut: Jenis Pekerjaan dan Lingkup Pekerjaan PRT; Hubungan Kerja melalui kesepakatan – perjanjian kerja antara PRT dengan Pemberi Kerja; Hak dan Kewajiban PRT dan Pemberi Kerja, Pendidikan dan Pelatihan melalui Balai Latihan Kerja oleh Pemerintah dengan biaya APBN/APBD; Pengaturan Penyalur PRT yang lebih ketat, untuk mencegah eksploitasi dan perdagangan orang terhadap PRT serta penipuan terhadap PRT dan pemberi kerja; Pengawasan oleh Pemerintah yang melibatkan aparat lokal; Penyelesaian Perselisihan melalui musyawarah dan mediasi yang melibatkan aparat lokal dan suku dinas dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah; Larangan bagi Pemberi Kerja akan tindakan mendiskriminasi, mengancam, melecehkan, dan/atau menggunakan kekerasan fisik dan non fisik kepada PRT dan larangan terhadap Penyalur akan tindakan kekerasan terhadap PRT dan penipuan terhadap PRT dan Pemberi Kerja; Pidana.
Dalam hal hak PRT disebutkan antara lain: menjalankan ibadah, jam kerja-istirahat, cuti, upah, THR, dan jaminan sosial. Salah satu hal penting dalam hak adalah Jaminan Sosial PRT yang meliputi Jaminan Sosial Kesehatan sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (JKN KIS PBI) yang ditanggung oleh Pemerintah. Hal ini penting karena mayoritas PRT dengan upah yang rendah harusnya tergolong sebagai peserta PBI, namun mayoritas PRT justru belum menjadi peserta KIS PBI. Situasi selama ini PRT tidak bisa membayar KIS karena memberatkan PRT.
Demikian pula dengan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dalam RUU PPRT disebutkan hak jaminan sosial ketenagakerjaan yang ditanggung bersama PRT dan Pemberi Kerja yang sekurang-kurangnya meliputi Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Artinya apabila RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR RI dan dibahas bersama Pemerintah hingga terwujud menjadi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, maka akan menjadi kunci perubahan untuk pengakuan dan perlindungan PRT sebagai pekerja dan keadilan sosial bagi PRT sebagai bagian dari perwujudan sila ke-5 Pancasila dan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2) “Tiaptiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Adanya UU Perlindungan PRT adalah bentuk hadirnya Negara untuk:
- Adanya pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT sebagai Pekerja;
- Penghapusan diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan perendahan terhadap pekerjaan PRT dan PRT;
- Mengatur hubungan kerja PRT dan Pemberi Kerja dengan Hak dan Kewajiban PRT dan Pemberi Kerja;
- Memperkuat perlindungan bagi PRT Migran di negara tujuan, sebagaimana menunjukkan konsisten Pemerintah Indonesia ketika menuntut perlindungan terhadap PRT Migran Indonesia.
Untuk itu, kami Pekerja Rumah Tangga dan masyarakat sipil yang membutuhkan lahirnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, menyatakan sebagai berikut:
- Meminta DPR RI dalam Rapat Paripurna Akhir Masa Sidang pada pertengahan Juli 2020 untuk menetapkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai RUU Inisiatif DPR RI dan disampaikan kepada Pemerintah untuk pembahasan bersama
- Meminta kepada Presiden untuk menyambut baik RUU Perlindungan PRT sebagai RUU Inisiatif DPR dan segera mengeluarkan Surat Presiden untuk melakukan pembahasan bersama DPR hingga terwujudnya UU Perlindungan PRT
- Meminta dukungan publik untuk keberlangsungan pembahasan RUU Perlindungan PRT dan terwujudnya UU Perlindungan PRT
- Lahirnya UU Perlindungan PRT akan menjadi sejarah baru di Indonesia dalam penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap PRT, sejarah kemanusiaan, keadilan sosial, kesejahteraan warga negara Indonesia
Jakarta, 5 Juli 2020
Salam perjuangan,
KOWANI, Maju Perempuan Indonesia (MPI), JALA PRT,
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja