Home Politik & Hukum Ramai-Ramai Majikan Mengeluh soal PRT, Harusnya Ada Perjanjian Kerja antara Majikan dan PRT

Ramai-Ramai Majikan Mengeluh soal PRT, Harusnya Ada Perjanjian Kerja antara Majikan dan PRT

by Ika Ariyani

Seorang majikan baru saja mempekerjakan seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang berasal dari sebuah yayasan.

Ia mengeluhkan PRT yang dirasa tidak profesional dalam bekerja. Dia menceritakan pengalamannya ini di X.

PRT tersebut diceritakan oleh pemberi kerja dalam cuitannya, mengajukan cuti untuk pulang kampung selama seminggu, padahal baru satu bulan bekerja. Sementara perjanjian di kontrak yang dibuat yayasan adalah cuti baru bisa diajukan setelah minimal empat bulan bekerja.

Selain itu, sang PRT juga dianggap tidak bisa bekerja sesuai keinginan pemberi kerja. Seperti tidak rapi saat membereskan ruang kerja dan lemari pakaian.

Ia juga mengeluhkan perilaku PRT seperti suka jajan dan menggunakan AC dalam waktu lama. Dalam penjelasannya, ia juga menyertakan tangkapan layar chat dengan PRT nya sebagai pembuktian ceritanya.

Cuitan inipun ramai dan menjadi bahan pembicaraan netizen X selama beberapa hari. Terdapat anggapan pro dan kontra terkait hal ini.

Beberapa akun lain akhirnya juga mengungkapkan pengalaman mereka selama mempekerjakan PRT di rumah.

Di lain sisi, beberapa pihak menyayangkan cuitan tersebut karena dianggap berlebihan. Permintaan cuti dan keluar rumah untuk jajan dianggap masih dalam batas wajar dan tidak berlebihan.

Pembicaraan ini akhirnya melebar kemana-mana, yang awalnya hanya problem pekerjaan domestik hingga pertentangan kelas.

Beberapa orang mengeluhkan perilaku PRT mereka yang dianggap tidak profesional, ada yang bercerita tentang PRT yang mencuri barang-barang pribadi mereka, ada yang bercerita tentang PRT yang tidak baik dalam mengerjakan tugas hingga perilaku personal yang dirasa mengganggu.

Dari sekian banyak cerita pengalaman negatif dengan PRT, ada juga netizen yang membahas hal ini dari sisi kelas. Meskipun sama-sama menggunakan jasa PRT, namun ia menyadari bahwa memiliki PRT adalah sebuah privilege dari sisi kelas sosial. Seseorang yang tidak bisa menyelesaikan pekerjaan domestik karena bekerja akhirnya harus mempekerjakan PRT. Sedangkan ironinya seorang PRT harus bekerja dengan meninggalkan rumah, keluarga bahkan urusan rumah tangganya sendiri.

Menanggapi hal ini, Koordinator Jala PRT Lita Anggraini menjelaskan kepada Konde.co (27/10/2023) bahwasanya Jala PRT juga sering mendapat keluhan yang sama. Hal ini karena profesi sebagai PRT masih dianggap sebagai profesi informal.

Salah satu penyebabnya, karena peraturan yang dibuat oleh yayasan atau majikan tidak pernah melibatkan PRT selaku pekerja, akhirnya keluhan semacam ini terjadi karena ketidaksepahaman komunikasi antara pihak yayasan, pemberi kerja dan PRT.

“Jala PRT sering menerima keluhan seperti itu. PRT itu masih dianggap pekerjaan informal, tidak ada peraturan resmi, yang ada hanya peraturan antara yayasan dan pemberi kerja. Karena sifatnya informal sehingga terjadi spontanitas. Harusnya ada kesepakatan antara tiga pihak: yayasan, pemberi kerja, dan PRT. Yang jadi masalah jika tidak ada kesepakatan ketiga pihak saling mengetahui bersama,” jelas Lita.

Menanggapi kasus PRT yang meminta cuti padahal baru sebulan kerja, dengan alasan menghadiri perkawinan kakaknya, Lita mengatakan bahwa hal ini sebenarnya bisa dibicarakan dengan mengganti waktu kerja di hari lain misalnya.

“Misal cuti, libur, kapan cuti diambil harus dikomunikasikan dan ada perencanaannya. Kepentingan duka, sakit, pernikahan kakak misalnya mungkin harus dihadiri, dan mengganti di hari lain. Masalahnya di komunikasi, tidak ada pembicaraan. Seandainya ada keperluan mendadak bagaimana? Itu harus dibicarakan di awal,” jawab Lita.

Terkait peraturan yang bisa mengakomodir kepentingan berbagai pihak, Lita membeberkan pentingnya RUU PPRT sebagai payung hukum  untuk memberi kepastian bukan hanya bagi PRT namun juga pemberi kerja.

“Pentingnya peraturan perundangan, supaya tidak ada kesewenangan dari yayasan, pemberi kerja, maupun PRT. Ada pembicaraan dan segala sesuatu harus detail di awal. Misal kalau saya cuti, tidak boleh dipotong gaji, cuti itu kan menggunakan hari kerja dan dibayar. Misalnya sudah mengambil lebih dari 12 hari kerja, tapi saya meminta izin, itu sebaiknya dibicarakan lagi,” tegas Lita.

Dalam RUU PPRT, Lita menjelaskan juga bahwa RUU tersebut juga akan memastikan bahwasanya yayasan harus berbadan hukum khusus perusahaan penempatan PRT, sehingga tidak ada lagi peraturan yang dibuat secara mandiri, karena peraturan akan berada di bawah undang-undang.

Dengan ini yayasan hanya akan berperan dalam penempatan PRT saja dan tidak berhak membuat peraturan mengenai hak dan kewajiban PRT.

“Yayasan harus berbadan hukum sebagai perusahaan penempatan PRT, dan ada aturan-aturan mengacu pada hak dan kewajiban kedua belah pihak. Yayasan sifatnya menempatkan saja, tapi hak dan kewajiban menjadi pembicaraan antara PRT dan pemberi kerja.”

Peraturan yang dibuat undang-undang nantinya akan menjadi acuan bagi ketiga belah pihak yaitu penyalur, pemberi kerja dan PRT. Selama ini yang terjadi adalah kerancuan dan ketidaksepahaman antara ketiga pihak itu.

Dengan adanya RUU PPRT, tidak akan ada lagi ketidaksepemahaman. Lita menjelaskan perjanjian kerjasama harus dibuat secara tertulis.

Selama ini, jenis pekerjaan PRT yang informal itu membuat perjanjian hanya disampaikan secara lisan saja, sehingga ikatan hukumnya tidak kuat.

“Misalnya contoh PRT yang pergi saja, tidak dibayar, karena tidak bekerja sesuai kesepakatan. Hal ini karena bukan tradisi untuk mengikatnya dalam perjanjian tertulis. Menurut pemberi kerja begini, yayasan begini, PRT begini, ingatan manusia kan punya kelemahan. Perjanjian secara lisan punya kelemahan. Harus secara tertulis untuk meminimalkan pelanggaran, merubah budaya, saling bertanggungjawab, dan membicarakan yang belum diatur secara mufakat,” terangnya.

Keluhan lain yang diungkapkan netizen adalah keterampilan yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan, dan perilaku PRT yang terkesan tidak profesional.

Menanggapi itu, Lita menekankan pentingnya mengesahkan RUU PPRT agar PRT mendapatkan pelatihan yang diperlukan untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan seperti itu.

“Untuk meminimalkan persoalan semacam ini, mencegah kesewenangan, diperlukan pelatihan keterampilan kerja, pelatihan soal hukum. Untuk bagaimana hak dan kewajiban kedua belah pihak, memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik, diperlukan juga pelatihan wawasan yang berkaitan perundangan. Jika ada masalah, pemberi kerja dan PRT dapat membicarakan bersama, kemudian bisa juga dimediasi Dinas Ketenagakerjaan, juga oleh Kelurahan.”

Lita juga menyampaikan adanya perundangan dapat membuat perubahan budaya kerja PRT yang selama ini masih dianggap informal. RUU PPRT dapat membuat PRT menghargai pekerjaannya demikian juga dengan pemberi kerja.

“Akan ada perubahan budaya kerja dimana kedua belah pihak akan saling menghargai secara profesional. Kedua belah pihak tidak saling menggampangkan. Mengatur pihak penempatan PRT agar  tidak sewenang-wenang, mencegah trafficking dan eksploitasi.”

Terakhir, Lita mengingatkan agar pemberi kerja dan PRT saling mengetahui identitas masing-masing demi keamanan dan kenyamanan bersama.

“Sebelum bekerja harus tahu identitas masing-masing, keluarga mengetahui di mana PRT bekerja, aparat kelurahan juga mengetahui keberadaan PRT yang bekerja. Hal ini untuk mencegah penempatan buta dan perekrutan buta. Keadaan saat ini kadang PRT dipaksa bohong oleh yayasan misalnya punya keterampilan ini itu padahal tidak. Dalam UU juga diatur mekanisme penempatan PRT berbasis perlindungan, mencegah kalau ada apa-apa kita tahu,” kata Lita.

Masih Menggunakan Diksi ART dan Pembantu

Dalam diskursus mengenai PRT ini, masih banyak orang yang menggunakan istilah asisten rumah tangga (ART) bahkan pembantu. Penggunaan istilah ini kurang tepat mengingat PRT adalah pekerja yang sama seperti pekerja pada umumnya.

Pekerja rumah tangga merujuk pada hubungan kerja sehingga antara pekerja dan pemberi kerja memiliki hak dan kewajiban yang jelas di antaranya. Sementara asisten rumah tangga hanyalah kata serapan dari bahasa Inggris  assistant yang tidak mengubah esensi bahwa artinya adalah pembantu.

Pembantu, bisa diartikan sebagai orang yang membantu, dan bisa jadi tanpa imbalan. Berbeda dengan PRT yang secara orientasi adalah seorang pekerja. Sementara itu menurut Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 tentang kerja layak bagi pekerja rumah tangga, istilah PRT juga lebih diterima secara internasional.

Cerita pengalaman personal mengenai PRT ini memang menarik. Namun hal yang diperlukan adalah adanya peraturan yang mengatur adanya kejelasan antara pemberi kerja dengan pekerja.

Oleh karena itulah penting untuk disahkannya RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) karena dalam RUU PPRT ini, bukan hanya PRT yang dijamin haknya dalam bekerja, namun pemberi kerja juga mendapat jaminan akan pekerja yang akan dipekerjakan.

Dalam RUU PPRT, pemberi kerja punya hak untuk mengetahui identitas PRT, mendapatkan hasil kerja PRT yang sesuai harapan, serta perlindungan dari praktik penyalahgunaan pola rekrutmen yang menipu.

Related Articles

Leave a Comment