Jakarta – Sebuah kabar baik bagai penyandang disabilitas berhembus dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta Pusat. Dalam persidangan yang digelar pada Kamis (2/6/2022) hakim mengabulkan seluruh permohonan DH, aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) penyandang disabilitas atas pemecatan dirinya dengan alasan tidak disiplin alias indispliner.
Padahal senyatanya, DH adalah penyintas Skizofrenia paranoid yang masuk dalam kategori disabilitas sehingga harus mendapatkan perlakuan khusus.
Dalam keputusannya, Majelis Hakim PTTUN menyatakan Surat Keputusan (SK) pemecatan yang dikeluarkan Kemenkeu dan BPASN pada Agustus 2021 lalu batal. Hal ini didasarkan pada keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan penggugat.
“Menyatakan batal surat Kemenkeu dan BPASN dan memerintahkan Kemenkeu dan BPASN untuk mencabut surat keputusan tersebut,” kata kuasa hukum DH dari LBH Jakarta, Charlie Albahiji, dikutip Kamis (2/6/2022).
Sidang gugatan DH melawan Kemenkeu dan BPASN digelar secara terbuka. Namun, Majelis Hakim PTTUN tidak mengizinkan awak media untuk meliput. Lebih lanjut, kata Charlie, Majelis Hakim PTTUN memerintahkan Kemenkeu dan BPASN merehabilitasi hak penggugat sebagai ASN di lingkungan Kemenkeu.
Hal ini dilakukan setelah dokter penguji kesehatan PNS menyatakan DH sudah bisa kembali bekerja di Kemenkeu. “Setelah keputusan dari dokter, maka Kemenkeu wajib mempekerjakan DH mengembalikannya ke posisi di lingkungan kerja sebagai ASN,” jelas Charlie.
Menurut Charlie, putusan ini menjadi kemenangan bagi DH dan penyandang disabilitas pada umumnya, khususnya terkait hak-hak mereka yang dijamin Undang-Undang Perlindungan Disabilitas. Menurut Pasal 11 Undang-undang 8/2016 tentang Penyandang Disabiltas, setiap penyandang disabilitas berhak untuk tidak diberhentikan karena alasan disabilitasnya.
“Jadi secara umum sih ini kemenangan buat DH dan lebih jauh lagi kemenangan buat para penyandang disabilitas,” kata Charlie.
Sebelumnya, DH dipecat dari Kemenkeu karena dianggap melanggar absensi. Padahal, DH tidak masuk karena gangguan mental. Tepatnya menderita skizofrenia paranoid. Ia sempat pergi ke Sumatera atas tugas dari ‘tim’ (tidak nyata) dan putus kontak dengan keluarganya.
Beberapa waktu kemudian, Kemenkeu menerbitkan SK pemberhentian DH karena masalah absensi.
Gangguan yang DH derita bertambah parah sebelum akhirnya keluarganya membawa dia untuk berobat dan didampingi psikiater.
Setelah keadaan membaik, DH melaporkan kondisinya ke Kemenkeu. Namun, ia justru diminta mengajukan banding ke BPASN.
Ia juga diminta mengembalikan uang ratusan juta rupiah karena dinilai melanggar perjanjian ikatan dinas saat mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Australia.
DH pun kemudian mengajukan banding ke BPASN dan meminta pertimbangan khusus karena telat menggugat. Namun, BPASN menolak dengan alasan waktu banding sudah lewat dari 14 hari kerja sejak SK pemecatan itu dikirimkan ke keluarganya.