Home RumahPengasuhan Anak PRT Single Parent dan Jerih Payah Menghidupi 2 Anak Perempuan

PRT Single Parent dan Jerih Payah Menghidupi 2 Anak Perempuan

by admin

Oleh: Dora Herta Lisna

Saya bangga menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). Karena pekerjaan inilah, saya bisa menafkahi kedua anak saya. Saya berharap pekerjaan ini bisa membuat saya menyekolahkan mereka hingga mendapat gelar sarjana.

Nama saya Dora Herta Lisna, orangtua tunggal dari dua orang putri, harta paling berharga dalam hidup saya.

Saya berasal dari Parapat, Sumatera Utara. Di sana, saya tinggal bersama kedua orangtua saya hingga lulus SMP. Setelah lulus, saya melanjutkan sekolah SMA di Jambi, dan tinggal bersama saudara dari pihak Bapak saya. Saya diangkat menjadi anak asuh mereka. Setelah 2 tahun sekolah di Jambi, saya pindah dan melanjutkan pendidikan di Bekasi. Sebab, saudara saya tersebut merupakan pegawai kantor pemerintah yang sering berpindah-pindah ke luar kota. 

Di rumah orang tua asuh saya, saya mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci, memasak, mencuci dan menyetrika pakaian. Saya bangun pukul 4 pagi dan tidur pukul 12 malam setiap harinya. Kalau tidak, saya akan dimarahi. Harus saya akui, selama tinggal bersama mereka, saya lebih diperlakukan seperti budak daripada sebagai anak. Mereka memperlihatkan kasih sayang pada saya hanya saat saudara lainnya datang berkunjung ke rumah.

Namun, saya tetap bertahan hingga lulus sekolah tepatnya pada tahun 2002. Setelah tamat, saya sempat bekerja di kantor orangtua asuh saya sebagai seorang tenaga honorer. Saya bekerja di sana selama hampir 3 tahun. Saya memutuskan untuk tinggal sendiri dan mencari sebuah kos-kosan di daerah Jakarta Timur, dekat dengan kantor tempat saya bekerja. 

Awal mula, semua berjalan lancar. Hingga saya memutuskan menikah pada Agustus 2005 dengan salah satu teman kantor saya. Namun, peraturan kantor tidak membolehkan pasangan menikah bekerja dengan teman sekantor. Saya pun mengalah dan memutuskan berhenti bekerja. 

Setelah itu, saya sempat bekerja sebagai kasir di salah satu restoran. Namun, sangat disayangkan beberapa bulan kemudian suami saya berhenti bekerja dan memilih bekerja sebagai supir angkot. Tidak lama kemudian, saya hamil dan memutuskan untuk berhenti bekerja. 

Saat itulah perekonomian keluarga kami morat-marit. Saya tidak bisa mengandalkan uang penghasilan suami. Sementara saya sedang hamil, kami tinggal di rumah kontrakan, kadang saya hanya makan mie instan saja. 

Pada Mei 2007, saya melahirkan anak pertama saya. Kami sangat bahagia, terlebih saya karena sudah menjadi seorang ibu. Hari demi hari, bulan demi bulan, sangat sulit bagi saya dan suami karena kondisi perekonomian kami yang kian sulit.

Akhirnya, setelah memulihkan diri pasca-melahirkan, tepatnya saat anak saya berumur sekitar satu setengah tahun, saya pun memutuskan kembali bekerja. Saya mendapat tawaran dari seorang teman untuk bekerja sebagai PRT.

Tepatnya pada Oktober 2008, saya bekerja dengan keluarga ekspatriat asal Amerika Latin. Majikan saya memiliki 3 orang anak laki-laki, berusia 12 tahun, 5 tahun dan 3 tahun. Saya bertugas untuk membersihkan rumah. 

Saya bersyukur mereka sangat baik kepada saya. Memang mereka itu sangat perhatian dengan semua pekerja yang bekerja dengan keluarga mereka. Belum genap setahun bekerja, saya pun hamil anak kedua. Saya sempat takut tidak bisa bekerja. Setelah bercerita dengan majikan, ternyata dia menyambut gembira kondisi kehamilan saya. Saya tetap diberi kesempatan untuk bekerja, dan majikan pun memberi saya pekerjaan yang ringan-ringan saja. 

Awal bulan Juli 2009, saya mengambil cuti kerja. Pada akhir Agustus 2009, saya pun melahirkan anak kedua saya. Selama tiga bulan cuti, majikan tetap membayar gaji saya. Jujur saja, keluarga kami sangat terbantu selama bekerja dengan majikan saya tersebut.

Cuti selesai, saya pun kembali bekerja. Suami saya pun mendapat pekerjaan di salah satu bank swasta sebagai supir. Saya bersyukur kami dibantu oleh tetangga dan mertua untuk menjaga anak pertama dan kedua. 

Tak Mudah Menjadi Single Parent

Namun, tak dinyana, setelah mendapatkan banyak uang, suami saya berselingkuh dan pergi dari kehidupan saya bersama perempuan lain. Saya pun tidak kuat dan kami bercerai pada tahun 2015. Anak-anak ikut bersama saya. Ini menjadi saat-saat buruk dalam hidup saya.

Pada 2017, majikan saya harus tinggal menetap di Amerika. Sebelum pergi, mereka memberikan pesangon untuk semua pekerjanya. Saya bekerja selama 9 tahun dan mendapat pesangon yang cukup besar. Uang itu yang kemudian saya gunakan untuk keperluan anak-anak saya. Setelah mereka pergi, saya pun mencari pekerjaan lagi.

Kemudian, saya bekerja dengan keluarga ekspatriat asal Inggris. Namun, saya hanya bertahan dua hari. Beban kerjanya sangat berat, majikan laki-lakinya juga galak. Seminggu setelah berhenti bekerja, saya diterima bekerja sebagai PRT di keluarga ekspatriat asal Jerman. Lagi-lagi, mereka tidak memperlakukan saya dengan baik. Tidak ada waktu istirahat, sehingga saya pun tidak tahan.

Selama satu bulan saya tidak bekerja. Kemudian, saya pun mendapat tawaran pekerjaan di daerah Pondok Indah bersama keluarga asal India. Awalnya mereka baik, tetapi setelah hampir satu bulan, perlakuan mereka berubah. Saya tidak boleh salat, semua pekerjaan saya kerjakan sendiri, dan parahnya saya dituduh mencuri uang sejumlah Rp300.000,00.

Saya berdebat dengan mereka dan meminta bukti kalau benar saya mencuri uang mereka, tetapi mereka tidak bisa membuktikannya. Saya pun mengundurkan diri dan menerima gaji terakhir saya. 

Dua minggu kemudian, saya bekerja lagi dengan keluarga ekspatriat asal Inggris-Malaysia. Saya bekerja selama 8 bulan, memilih bertahan dengan sifat sang istri majikan yang superjudes. Para pekerja dilarang saling menyapa. Pada masa ini pula, saya bertemu dengan Bu Dian Cindy, dan bergabung dengan organisasi Sapulidi. Banyak sekali ilmu yang saya dapatkan dari Sapulidi. 

Setelah berhenti bekerja dengan keluarga Inggris, saya menyambung pekerjaan ke keluarga asal Arab. Majikan saya tersebut bekerja di kantor kedutaan. Sebelum bekerja, tentunya saya bernegosiasi dulu dengan mereka. Namun, saya hanya bekerja selama 9 bulan di sini karena banyak perubahan yang majikan lakukan, yang tidak sesuai dengan kontrak awal saat proses negosiasi kerja. 

Satu bulan setelah saya berhenti, saya kembali mendapat tawaran. Kali ini dengan orang Indonesia. Saya mendapat gaji pokok di atas rata-rata, yakni 2 juta rupiah ditambah uang transportasi 500 ribu rupiah. Beban kerja yang diberikan juga tidak banyak. Majikan saya sangat memahami keadaan saya sebagai orangtua tunggal. Jika sewaktu-waktu saya meminta izin untuk keperluan anak-anak, majikan pasti memberikan izin. 

Saya bersyukur masih bisa bekerja saat pandemi melanda. Banyak teman yang kehilangan pekerjaan sejak adanya kasus Covid-19 di Indonesia. Inilah yang membuat saya terus berjuang dan bertahan demi anak-anak saya.

DORA HERTA LISNA

Bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), aktif di SPRT Sapulidi, Jakarta

Related Articles

Leave a Comment