JAKARTA – Jalur pantai utara (pantura) Pulau Jawa dikepung banjir setelah diguyur hujan dengan intensitas tinggi selama beberapa hari terakhir. Salah satu penyebab terjadinya banjir di Wilayah Pantura Pulau Jawa ini karena adanya penurunan tanah. Hal tersebut diakui peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas.
Dia mengaku tidak terkejut bila daerah-daerah di jalur pantura Pulau Jawa terendam banjir pada 2021 ini. Sebab, Heri dan timnya telah menemukan adanya penurunan tanah (land subsidence) yang mengerikan di jalur pantura sejak beberapa tahun lalu.
“Jadi memang pantura ini tanahnya turun luar biasa. Nah konsekuensinya nanti akan lebih rendah dari laut atau lebih rendah dari sungai di beberapa bagiannya sehingga rawan banjir,” ujar Heri kepada National Geographic Indonesia, beberapa waktu lalu.
Menurut Heri, salah satu daerah di pantura yang patut menjadi sorotan karena penurunan tanahnya berlangsung semakin cepat adalah Semarang. Sekitar sepuluh tahun lalu penurunan tanah di Semarang hanya 1-10 sentimeter per tahun. Namun pada 2015, 2016, sampai dengan hari ini, penurunan tanah di Semarang –terutama bagian utara dan timurnya seperti Kaligawe dan Raden Patah– jadi makin cepat.
“Jadi sekarang tuh ada yang 19 senti per tahun. Yang tadinya 10 senti per tahun jadi 15 senti per tahun, jadi 18 senti per tahun.”
Semarang Mengkhawatirkan
Heri mencatat, penurunan tanah secara signifikan di Semarang sudah terjadi setidaknya sejak 20 tahun lalu. Jika selama 20 tahun terakhir kita kalikan dengan kecepatan penurunan tanah sebesar 5 sentimeter per tahun, berarti setidaknya tanah di Semarang sudah turun 1 meter.
Menurut hasil riset Heri, ada daerah-daerah di Semarang yang dulu ketinggiannya masih di atas permukaan laut, sekarang jadi di bawah permukaan laut.
“Bahkan beberapa ratus hektare sudah hilang tanah di semarang itu ke dalam laut. Cuma tidak diekspos saja. Banyak yang dulunya area pabrik dan perumahan lalu hilang (jadi laut)” katanya.
Heri mencontohkan, tinggi jalan utama Kaligawe di Semarang menuju Demak sekarang sudah di bawah permukaan laut. Ada yang sudah minus 1 meter, ada yang minus 50 sentimeter.
Secara khusus Heri menyoroti ketinggian tanah dari Kaligawe di Semarang sampai Sayung di Demak itu karena ia menemukan kecepatan penurunan di sana sudah semakin cepat.
“Ini yang mengkhawatirkan,” tegasnya.
“Makanya sebenarnya sudah saya sampaikan ini kalau ada hujan yang besar, pasti kelelep Semarang ini. Itu sudah saya sampaikan beberapa tahun lalu. Akhirnya sekarang kejadian, ya,” sambungnya.
Penurunan Tanah Sepanjang Pantura Tak hanya mengkhawatirkan penurunan tanah di Semarang, Heri juga waswas dengan penurunan tanah di jalur pantura secara umum.
Jalur Pantura adalah jalan yang memanjang dari Pelabuhan Merak, Cilegon, hingga Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Berdasarkan hasil risetnya, dari sisi barat pantura, kecepatan penurunan tanah yang tinggi dan semakin cepat sudah ditemukan di Tangerang bagian utara, terutama di daerah Kosambi, dan Teluk Naga.
Kemudian di Kamal Muara, DKI Jakarta. Lalu, di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Kemudian, di pantura Jawa Barat, seperti daerah Pamanukan, Pondok Bali, Pamtiban, hingga Indramayu.
Heri memprediksi, banjir rob di Pantura Jawa Barat akan luar biasa ramai pada sepuluh tahun mendatang.
“Bahkan nggak usah tunggu 10 tahun lagi. Kalau hujannya deras banget, itu bisa banjir juga,” ujarnya.
Pekalongan Paling Cepat Tenggelam
Ke jalur pantura bagian Jawa Tengah, Heri menyoroti penurunan tanah di Pekalongan, selain Semarang yang sudah disinggung sebelumnya.
Menurutnya, kondisi penurunan tanah di Pekalongan lebih luar biasa daripada Jakarta. Sebagai perbandingan, perluasan banjir akibat penurunan tanah di Jakarta mencapai tiga kali lipat.
Rinciannya, kala tanpa ada penurunan tanah, banjir Jakarta hanya seluas 4 ribuan hektare, tapi sekarang karena ada faktor penurunan tanah sudah jadi seluas 12 ribu hektare.
Adapun di Pekalongan, perluasan banjir akibat penurunan tanah bisa mencapai lebih dari tiga kali lipat.
“Pekalongan itu menjadi salah satu kota paling cepat tenggelam di dunia. Ini prediksi saya. Sekarang ini sudah 35% area Kota Pekalongan terdampak banjir. Di 2030-2040 85% wilayah kotanya itu ada di bawah laut,” paparnya.
Daerah-daerah di pantura yang kecepatan penurunan tanahnya masih relatif agak kecil adalah Cirebon, Tegal, Brebes, dan Pemalang, Penurunan tanah di sana relatif agak lambat mungkin dikarenakan jumlah penduduknya lebih sedikit dan manajemen airnya lebih bagus.
“Kalau Pekalongan itu kota dengan manajemen air paling buruk di Jawa. Karena 90% penyediaan air oleh pemerintah di sana itu menyedot air tanah lewat program PAMSIMAS (Program Nasional Penyediaan Air Minum)” ujar Heri.
Kemudian, di daerah pantura bagian timur, kecepatan penurunan tanah yang relatif cepat ditemukan di wilayah Surabaya.
Berdasarkan ringkasan pemetaan penurunan tanah oleh Heri dan timnya, kecepatan penurunan tanah yang paling mengerikan di jalur pantura adalah Jakarta yang bisa mencapai 20 sentimeter per tahun, lalu Pekalongan yang bisa mencapai 15 sentimeter per tahun, lalu Semarang dan Surabaya hingga 20 sentimeter per tahun.
Penyebab Permukaan Tanah Turun
Ada tujuh faktor yang bisa menyebabkan permukaan tanah di suatu daerah menurun. Dua merupakan faktor alamiah atau disebabkan oleh alam, lima lainnya adalah faktor antropogenik atau disebabkan oleh manusia.
Dua faktor alamiah adalah berupa kompaksi dan tektonik. Menurut perhitungan Heri, kontribusi kedua faktor alamiah itu paling maksimum hanya akan menyebabkan kecepatan penurunan tanah di Jalur Pantura sebesar 2,3 sentimeter per tahun.
Jadi, jika ada daerah-daerah di Pantura yang kecepatan penurunan tanahnya mencapai 10 sentimeter per tahun, 15 sentimeter per tahun, bahkan 20 sentimeter per tahun, itu berarti sebagian besarnya disebabkan oleh faktor antropogenik.
“Faktor antropogenik itu meliputi eksploitasi air tanah; beban bangunan dan infrastruktur; eksploitasi migas; eksplorasi geotermal dan tambang bawah permukaan; dan terakhir pengeringan lahan gambut,” papar Heri.
Di sebagian besar daerah di Pulau Jawa, penyebab utama penurunan tanahnya adalah eksploitasi atau penyedotan air tanah secara berlebihan. Contohnya, hal ini terjadi pada Jakarta, Semarang, dan Pekalongan.
“Di Jakarta, (penyebab utama turunnya tanah adalah) beban bangunan dan eksploitasi air tanah,” sebut Heri.
“Kalau di Pantura Jabar, seperti di Muara Gembong hingga Indramayu, lebih cenderung disebabkan eksploitasi migas. Nah kemudian untuk Pekalongan tadi jelas eksploitasi air tanah. Kalau Semarang, terutama di bagian utara dan timur, itu ada kawasan industri yang jadi penopang Jawa Tengah. Jadi bisa dipastikan itu juga karena eksploitasi air tanah.”
Yang perlu kita –masyarakat dan pemerintah– pahami, air tanah bukanlah satu-satunya sumber untuk air konsumsi. Ada sumber-sumber air lainnya yang bisa kita manfaatkan demi mencegah penurunan tanah akibat airnya terus-menerus kita eksploitasi.
“Sebenarnya kalau kita bisa mengelola air permukaan di sungai (water treatment) untuk air konsumsi, itu kan cadangannya masih luar biasa. Kemudian dari air hujan, ada istilahnya water harvesting. Itu (cadangannya) sangat luar biasa, bahkan bisa dibilang tak terhingga kalau kita mau. Bahwa air hujan bisa ditampung untuk jadi air konsumsi.”
Bahkan, di luar negeri mulai marak juga penerapan water recycling, yakni mendaur ulang air yang sudah dipakai untuk dipakai kembali. Sayangnya, masyarakat dan pemerintah di Indonesia cenderung lebih suka cari cara instan tanpa memikirkan dampaknya di masa depan.
“Kita ini kan tipikalnya ketika ada yang mudah, kenapa mempersulit diri,” celetuk Heri.
Sayangnya, cara memperoleh air konsumsi yang kita anggap mudah selama bertahun-tahun ke belakang ini, ternyata bakal mempersulit diri kita di masa depan. Bahkan, bukan hanya berbuah kesulitan di masa depan, melainkan juga kesusahan di masa kini. Banjir di Pulau Jawa adalah buahnya. (Sargini)