Jakarta – Selama 20 tahun masyarakat sipil di Indonesia tak lelah memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT), agar jutaan PRT mendapatkan perlindungan dan jaminan atas hak-haknya.
Pekerja rumah tangga merupakan pintu gerbang bagi perempuan untuk memasuki pasar kerja guna meningkatkan taraf hidup mereka. Namun, hingga kini Negara belum mengakui mereka sebagai pekerja yang legal. RUU PPRT yang diusulkan sejak 2004, hingga kini mandeg di DPR. Meski telah beberapa kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, nasib RUU PPRT tetap jalan di tempat.
Direktur Sarinah Institute, Eva Kusuma Sundari mengatakan, Hari PRT Internasional yang diperingati setiap 16 Juni harus menjadi momen penting untuk menjaring dukungan dari semua pihak serta memberikan pemikiran bagi terwujudnya praktik baik dalam pemenuhan hak PRT.
Belajar dari negara lain, keberadaan UU PPRT justru mendukung semua skema perlindungan social bagi jutaan perempuan yang kini bekerja sebagai PRT.
“UU PPRT bukan hal yang harus ditakuti, baik secara ekonomi maupun secara social, tetapi harus didukung karena terbukti memberikan dampak positif dalam kehidupan social masyarakat,” ujar Eva saat membuka webinar bertajuk “Berbagi Pengalaman Perlindungan PRT di Beberapa Negara untuk Mendorong Pengesahan UU Perlindungan PRT di Indonesia” pada Minggu (19/6/2022).
Sejumlah negara yang sudah memiliki UU PRT terbukti nasib rakyatnya yang bekerja menjadi PRT baik di dalam maupun luar negeri, lebih terlindungi. Di Asia, ada Filipina dan di Amerika Latin, ada Chile yang telah memiliki peraturan perundangan Perlindungan PRT, yang mencakup perlindungan sosial – jaminan sosial bagi PRT.
Pelajaran dari Filipina
Himaya Montenegro, dari UNITED (Organiisasi PRT Filipina) yang diundang dalam webinar itu mengatakan, keberadaan UU PRT banyak memberi manfaat baik bagi mereka yang bekerja sebagai PRT maupun pemberi kerja. Dijelaskan, dalam UU PRT Filipina antara lain diatur batas usia bagi PRT dan keharusan adanya kontrak kerja.
“Mempekerjakan anak dilarang, meski dalam prakteknya masih banyak yang melakukan,’ ujar Himaya dalam kesempatan yang sama.
Terkait kontrak kerja, antara lain diatur jam kerja, besaran upah, uraian kerja, kompensasi, cuti-cuti bagi PRT, fasilitas yang didapat, kondisi yang disetujui kedua belah pihak dan hal-hal lain yang berkenaan dengan pekerjaan rumah tangga.
Keberadaan UU PRT ini bisa menekan terjadinya pelanggaran hukum. Himaya mencontohkan, sejak ada UU PRT pemotongan gaji dan gaji tidak dibayar yang dulu sering dialami PRT di Filipina kini menurun signifikan.
“Agen-agen juga dilarang memotong gaji PRT, Mereka tidak boleh menerapkan biaya penempatan yang dibebankan kepada PRT,” imbuhnya.
UU PRT melindungi baik PRT maupun pemberi kerja, yang akhirnya berdampak ada pelayanan PRT kepada pemberi kerja. Dengan adanya jaminan perlindungan bagi PRT, menurut Himaya, kualitas kerja PRT semakin meningkat.
UU PRT ini juga memudahkan penanganan jika terjadi perselisihan kerja. Jika salah satu pihak melanggar kontrak, maka kontrak bisa dibatalkan. UU itu juga mengatur jam kerja bagi PRT antara lain ada istirahat selama 8 jam sehari serta istirahat mingguan selam 24 hari/minggu yang tidak boleh diganggu-gugat.
UU PRT Filipina tidak secara lugas menyebutkan upah minimum, kewenangan ini diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah. Namun di sana digariskan upah berkisar antara 2000-3000 peso per bulan tergantung lokasi bekerja. Gaji ini harus dibayarkan secara tunai setiap bulan.
UNITED juga mendorong Pemda melahirkan Perda untuk laksanakan UU PRT sesuai dengan kondisi wilayahnya masing-masing. Pengurus UNITED yang tersebar di 17 cabang juga terus memperjuangkan pengaturan upah regional PRT.
Para PRT diajak bergabung dalam organisasi PRT, dan jika ada PRT yang kehilangan pekerjaan karena berorganisasi maka UNITED akan melakukan advokasi. Selain itu UNITED melalui question city juga memberikan beasiswa bagi PRT untuk menyelesaikan pendidikannya baik formal maupun non formal.
“Kami Juga memberikan kursus pendek untuk PRT yang berkaitan dengan ketrampilan para PRT,” ujarnya.
Pengalaman di Chili.
Maria Elena Valenzuela, dari Organissi PRT Chili mengatakan perhatian kepada nasib PRT di Chili sudah ada sejak 1920an. Hal ini didorong oleh mobilisasi dan gerakan buruh di negeri itu.
Sejak tahun 1931, pemerintah Chile sudah memasukkan PRT ke dalam aturan tentang buruh dan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, sejak tahun 1950an, mobilisasi dan pengorganisasian PRT
1970an mulai ada pembahasan Undang-undang tentang PRT, namun pembahasan terhenti karena adanya kudeta militer. Pembahasan dimulai kembali setelah junta militer jatuh pada 1990. Saat itu mulai dirancang skema perlindungan dan perlindungan hak untuk pekerja rumah tangga
Pada 2016 Chile meratifikasi Konvensi ILO 189 yang menghasilkan pembatasn jam kerja dan perlindungan lainnya. PRT berhak mendapatkan upah sebesar UMR nasional yang harus dibayarkan secara cash.
Adanya UU PRT memberikan dampak positif terhadap nasib PRT. Salah satunya PRT masuk dalam sistem perlindungan sosial. Pada 2022 ini 54% PRT di Chile telah terdaftar di sistem perindungan sosial.
UU PRT Chile juga mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan PRTnya ke dalam system perlindungan social nasional, sehingga PRT di sana bisa menikmati berbagai pelindungan seperti halnya pekerja lainnya.
“PRT bisa mendapatkan cuti melahirkan selama 18 minggu dengan gaji dibayarkan penuh oleh Jaminan perlindungan social. PRT juga dilindungi dan tidak boleh dipecat selama hamil dan mnyusui hingga si anak berusia 1 tahun,” terang Maria.
Jika si anak jatuh sakit, ibu berhak mengambil cuti. Demikian juga ketika PRT sakit dan tidak bisa bekerja, gajinya tetap dibayar 100% oleh Dinas Kesehatan setempat.
PRT yang menjadi disabilitas dan harus berhenti bekerja meski belum memasuki usia pensiun, maka ia berhak mendapatkan tunjangan pensiun. Demikian juga dengan PRT yang dipecat juga mendapatkan benefit yang semua dibayarkan dari sistem jaminan sosial nasional.
Namun, untuk mendapatkan semua manfaat itu PRT harus punya kontrak kerja yang terdaftar di Direktorat Pengawasan Ketenagakerjaan. Dinas ini akan mengecek apakah pekerja memang ada dan preminya benar-benar dibayarkan. Jika tidak ada pembayaran ke system jaminan, akan ada semacam peringatan otomatis kepada pemberi kerja.
“Jika di kemudian hari ada masalah pembayaran premi yang mandeg, Pemberi kerja punya kewajiban untuk memberikan bukti yang relevan seperti tidak ada kontrak kerja, atau kontrak kerja sudah distop,” terang Maria.
Pengalaman di Filipina dan Chile ini bisa menjadi contoh bagi Indonesia dalam merumuskan pasal-pasal RUU PPRT seklaigus mendorong pengesahan RUU PPRT. Perkembangan terakhir, Kantor Staf Presiden (KSP) berkomitmen untuk membentuk Gugus Tugas untuk mendorong RUU PPRT. Pembentukan Gugus Tugas ini diharapkan bisa mengakselerasi pembahasan RUU PPRT. RUU PPRT diyakini akan memberikan dampak yang baik dalam perlindungan dan kinerja PRT.
“Akan memberikan jaminan hukum dan pemenuhan hak-hak PRT oleh Negara,” ujar Eva.
Foto: Liputan6.com