Home Politik & Hukum Perkosaan Tak Masuk RUU TPKS, Korban Perkosaan Paling Merasakan Dampaknya

Perkosaan Tak Masuk RUU TPKS, Korban Perkosaan Paling Merasakan Dampaknya
Akan Ada Diskriminatif Bagi Korban Perkosaan

by Puan Datu

Jakarta – Pekan-pekan ini  Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dijadwalkan akan dibahas di Rapat Paripurna DPR untuk disahkan. Namun, demikian ada satu hal yang dirasakan mengganjal, yakni tidka masuknya pasal perkosaan dan pemaksaan aborsi dalam RUU yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh para aktivis perempuan ini.

Dalam pembahasan d tingkat Panitia Kerja atau Panja, pemerintah dan DPR sepakat menghapus tindak pidana pemerkosaan dari jenis kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Keputusan ini diambil karena pasal perkosaan dianggap bakal tumpang tindih dengan ketentuan soal pemerkosaan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sedang direvisi. Perkosaan akan diatur dalam pasal jembatan, yang nantinya akan diatur secara lebih detail di Rancangan KUHP.

Lantas, apa dampak dari keputusan ini? Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andi Yentriyani menilai korban pemerkosaan akan jadi pihak yang paling merasakan dampak dari keputusan ini.

“Persoalannya sekarang, kalau RUU KUHP-nya belum berhasil direvisi, waktu tunggu sampai RUU KUHP dibetulkan bisa menjadi ruang kerugian khususnya bagi perempuan yang mengalami pemaksaan hubungan seksual,” kata Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani dalam diskusi virtual, Selasa (5/4/2022).

Andi menilai, selama KUHP masih direvisi, maka akan terjadi kegamangan proses hukum bagi korban pemerkosaan jika “pemerkosaan” tidak diakomodasi dalam UU TPKS kelak.

Akan terjadi kegamangan proses hukum bagi korban pemerkosaan jika “pemerkosaan” tidak diakomodasi dalam UU TPKS kelak.

Pendapat senada dilontarkan Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nur Syamsi. Ia khawatir, UU TPKS terbit tanpa mengakomodasi “pemerkosaan”, sementara KUHP yang direncanakan bakal mengatur soal “pemerkosaan” masih dalam proses revisi yang tak berkesudahan.

Fajri membandingkan RUU TPKS dengan RUU Penyandang Disabilitas 5 tahun lalu. Saat itu, lanjutnya, ada pasal dalam RUU yang mengatur pertanggungjawaban dan pengurangan pidana berdasarkan penilaian personal, bukan status disabilitas.

“Pasal itu ditolak masuk UU Penyandang Disabilitas karena dianggap akan diatur dalam RKUHP. Hasilnya, hal itu tidak masuk dalam UU Penyandang Disabilitas, sementara RKUHP tidak kunjung selesai pembahasannya,” jelas Fajri.

Kegamangan proses hukum yang bakal merampas hak korban pemerkosaan juga diamini dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyati Eddyono. Ia menyoroti berbedanya acara pidana jika pemerkosaan diatur dalam KUHP yang notabene ketentuan umum, dengan pemerkosaan jika diatur dalam UU TPKS sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Padahal, RUU TPKS dirancang juga mengatur secara khusus pemulihan dan perlindungan korban kekerasan seksual yang tidak dapat disamakan dengan korban tindak pidana lain.

“Kalau dia (pemerkosaan) berlaku umum dalam KUHP, maka hukum acaranya pakai hukum acara umum (KUHAP). Ini yang jadi problem,” ujar Sri sembari menambahkan dengan penerapan KUHAP ini maka perlakuan terhadap korban perkosaan menjadi berbeda dengan korban kekerasan seksual lainnya.

“Menjadi pertanyaan, nanti berarti diskriminatif dong antara korban kekerasan seksual lain dengan (korban) pemerkosaan?” pungkasnya.

Related Articles

Leave a Comment