JAKARTA- Dimasa wabah Corona ini, sebagian besar PRT di ibukota mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja) yang melemahkan ekonomi keluarga PRT. Untuk berusaha sendiri pasti butuh modal. Untuk mencari pinjaman modal tidak mudah, karena penghasilan tidak menentu. Hal ini disampaikan Ajeng Astuti kepada Tungkumenyala.com di Jakarta, Sabtu (26/9). Ajeng telah bekerja sebagai PRT sejak usia 15 tahun di Jakarta pada tahun 1991.
Ia menceritakan, sekitar tiga minggu lalu ada kawannya yang mengajak mendaftarkan usaha dagangannya. Kebetulan ada pihak Kelurahan mendata usaha kecil dan mikro.
“Surat ijinnya sudah keluar dan bisa digunakan untuk mengajukan pinjaman dan mengembangkan modal usaha. Tapi saya masih piker-pikir, karena penghasilan masih belum menentu. Kalau tidak bisa mengembalikan pinjaman gimana. Butuhnya sih besar juga lima juta rupiah untuk beli alat dan bahan,” ujarnya.
Sebelumnya, untuk menutupi kebutuhan hidup di Jakarta Ajeng mencoba berjualan makanan dan minuman pesanan dari rumahnya di Cilandak, Jakarta Selatan.
“Karena terinspirasi dari teman-teman yang berjualan sayapun berpikir mencoba peruntungan dengan berjualan, awalnya saya suka bikin cemilan seperti cilok, gabin tape dan biji ketapang,” jelasnya.
Ajeng jugapun mencoba membuat jamu kunyit asem dan beras kencur dan banyak yang suka cocok rasanya.
“Hasil penjualan lumayan antara lima puluh sampai seratus ribu rupiah per minggu. Bisa memenuhi kebutuhan dapur,” ujarnya.
Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, Ajeng menjadi PRT karena kebutuhan ekonomi. Saat itu dirinya putus sekolah dan tidak punya pilihan lain karena tidak mengantongi ijazah.
Sejak tahun 2014 Ajeng bekerja di daerah Kemang Jakarta Selatan pada majikan asal Singapura dengan gaji Rp 2,7 juta per bulan. Tapi setahun yang lalu majikan pulang ke Singapura karena habis kontrak kerjaannya di Indonesia.
“Bos punya satu unit apartemen disewakan. Kemudian saya di percaya untuk menghendel jika ada tamu yang mau sewa. Tugas saya bersihkan unit dan mengatur keperluan tamu, seperti air galon, teh, kopi, gula, sabun mandi, sampo, harus selalu di cek kapan habis dan harus belanja lagi,” katanya.
Sejak ada wabah Covid 19, bulan Juni lalu suami Ajeng di PHK dari tempat kerjanya karena adanya pengurangan karyawan.
“Karena Covid, penghasilan saya juga berkurang karena tidak ada tamu yang menyewa apartemen bos lagi karena sepi. Biasanya yang sewa warga asing dan sewa harian. Padahal tadinya, penghasilan dari sewa apartemen bisa Rp 1,2 juta per bulan,” jelasnya.
Ajeng berharap punya penghasilan tetap, sehingga bisa meminjam modal untuk buka usaha jual makanan dan minuman. (Lita Anggraeni)