Kepemilikan Negara atas Minyak, Gas dan Mineral Batubara di seluruh wilayah NKRI dalam Undang-Undang Migas dan Undang-Undang Minerba,– sangat penting dicantumkan untuk kepastian hukum Republik Indonesia yang akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini seperti yang diperintahkan oleh UUD 45 dan terus diingatkan oleh pakar Dr Kurtubi, Alumnus Colorado School of Mines, Amerika Serikat, Institut Francaise du Petrole, Perancis dan Direktur Center for Mineral and Energy Economics Studies. Tungkumenyala.com memuat hal ini kembali untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Dr. Kurtubi
SEMUA kekayaan alam migas dan minerba yang ada di perut bumi harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Migas harus ada pasal yang menyebutkan mengenai status kepemilikan (ownership) dari kekayaan yang sangat strategis dan sangat besar nilainya ini.
Oleh karenanya perlu dicantumkan, bahwa cadangan terbukti dari migas dan minerba adalah kekayaan MILIK NEGARA,–tidak sekedar ‘dikuasai’ negara tetapi juga harus ‘dimiliki’ oleh Negara. Hal ini harus diatur lewat Undang-Undang agar bisa memberi manfaat kemakmuran yang maksimal bagi rakyat.
Untuk itu pertama, harta migas dan minerba harus dikelola, ditambang dan dibukukan oleh Perusahaan Negara yang sengaja dibentuk oleh undang-undang,–bukan oleh Akte Notaris, dan diberi Kuasa Pertambangan (Mining Right) melalui Undang-Undang terkait, yakni Undang-Undang Migas untuk migas dan Undang-Undang Minerba untuk minerba.
Kedua, Investor asing dan swasta sangat dibutuhkan karena mereka punya dana, teknologi dan bersedia menanggung resiko.
Ketiga, semua investor asing dan swasta dipermudah dan mereka harus berkontrak dengan Perusahaan Negara Pemegang Kuasa Pertambangan (PNPKP) secara ‘B to B’ agar tidak ribet dan birokratik.
Empat, investor dijamin hak-hak ekonominya (Economic Rights) dengan: mengembalikan semua biaya-biaya yang sudah dikeluarkan dalam explorasi dan exploitasi. Pengembalian biaya-biaya oleh PNPKP lewat mekanisme cost recovery dan mereka juga dipastikan memperoleh Bagi Hasil sebagai miliknya. Cadangan diperut bumi bukan milik mereka meskipun mereka yang melakukan explorasi atas biaya mereka.
Kelima, negara lewat PNPKP merencanakan dan bertanggung jawab untuk membangun INDUSTRI TERINTEGRASI HULU HILIR BERBASIS TAMBANG,– sekaligus perencanaan pemenuhan kebutuhan listrik yang bersih, aman dan efisien,–yang dapat mendukung industrialisasi.
Keenam, jangan ada lagi rencana atau skenario untuk MEMPRIVATISASI pengelolaan kekayaan alam yang sangat strategis, bernilai tinggi dan tidak terbarukan yang ada di perut bumi ini.
Ketujuh, hentikan pembuatan undang-Undang dan regulasi yang tidak mengatur bahwa asset migas dan minerba yang ada diperut adalah MILIK NEGARA dan dikelola oleh negara melalui PNPKP yang dibentuk dengan UU. Hentikan membuat Undang-Undang dan regulasi yang menempatkan status kepemilikan kekayaan cadangan migas dan minerba secara samar-samar atau tidak ada kejelasan pemilik dan pengelolanya. Sebab cadangan terbukti migas dan minerba sudah bersifat ‘Bankable dan Tradeable’.
Kedelapan, sudah waktunya kita kelola kekayaan alam diperut bumi yang berupa migas dan minerba termasuk Uranium dan Thorium sebagai bahan baku energi nuklir harus sesuai dengan konstitusi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Kesembilan, investor asing dan swasta harus dipermudah dan harus dihargai hak ekonominya (Economic Right). Pemerintah tidak boleh berbisnis.
Kesepuluh, pemerintah sebagai pengendali pemerintahan, pemegang kedaulatan, pemegang kebijakan dan regulator yang berarti pemerintah adalah pemegang kekuasaan tertinggi dibidang migas dan minerba,– sebagai Pemegang Mineral Rights. Investor jangan diberi beban untuk mengurus berbagai macam perijinan. Pengurusan ijin yang diperlukan bagi pelaksanaan Kontrak ‘B to B’ diserahkan kepada PNPKP sebagai penanda tangan kontrak dari pihak host country,– Republik Indonesia. Sebab yang mengerti teknologi dan bisnis migas dan minerba adalah PNPKP.