Tujuh belas tahun sudah RUU perlindungan pekerja rumah tangga (RUU PPRT) diperjuangkan, tapi tanda-tanda bakal disahkan malah makin sayup. Banyak pihak, terutama pemberi kerja khawatir kalau RUU ini bakal merugikan mereka. Padahal senyatanya dengan adanya RUU PPRT hak para pemberi kerja justru lebih terjamin.
Admin
Ngeri-ngeri sedap dan sarat dengan dinamika, istilah itu tepat untuk melukiskan pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).Tercatat 17 tahun sudah berbagai elemen masyarakat memperjuangkan pengesahan RUU PPRT. Namun hingga kini belum ada titik terang, kapan DPR akan membahas RUU ini karena masih ada fraksi yang belum mau RUU ini dibahas secara serius di Senayan.
Bahkan belakangan muncul sinyal, RUU PPRT akan ‘dikorbankan’ dan belum akan disahkan tahun ini demi memberikan jalan bagi RUU Pencegahan Kekeresan Seksual yang meski muncul belakangan tapi dinilai lebih seksi. Alasannya, jika dua-duanya mau tetap jalan, dikhawatirkan malah tidak lolos.
Meski dinilai sudah sangat mendesak, para pemangku kebijakan sepertinya tak terlalu menaruh perhatian pada RUU PPRT. Padahal aturan ini sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan bagi PRT yang sebenarnya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi roda ekonomi.
Nggak cuma itu, selama ini PRT bekerja dalam kondisi penuh kerentanan akibat belum diakui dan dilindunginya profesi ini oleh hukum Indonesia. Data Komnas Perempuan melalui CATAHU mencatat, ada 2.332 kasus kekerasan yang menimpa PRT sepanjang 2005-2020. Data dari Jala PRT lebih spektakuler, di mana dalam kurun 2015-2019 tercatat 2.148 kekerasan yang dialami PRT.
Kekerasan itu meliputi berbagai hal seperti kekerasan ekonomi, fisik, seksual, maupun psikis. Pandemi Covid -19 menambah lapis kerentanan yang membelit PRT sepertinya meningkatnya risiko kehilangan pekerjaan tanpa pesangon, kesulitan mengakses program jaring pengaman sosial dan kerentanan terpapar Covid-19.
Daftar panjang kekerasan terhadap PRT yang mayoritas diperani perempuan ini sudah seharusnya direspon pemerintah melalui kebijakan perlindungan. Sudah saatnya PRT mendapatkan hak jaminan atas pengakuan, pelindungan dan kepastian hukum yang adil, lewat UU PPRT. Apalagi RUU PPRT ini sudah 17 tahun diperjuangkan, kalau manusia udah layak dapat KTP.
Pengesahan RUU PPRT akan mencegah dan meminimalisir yang selama ini dialami PRT. Dan, dijamin RUU ini tak hanya menguntungkan PRT namun juga pemberi kerja. Karena di sana diatur hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja, sehingga pemberi kerja lebih terjamin haknya untuk mendapatkan hasil kerja dari PRT yang dipekerjakannya.
Di RUU PPRT ini juga diatur tentang agen penyalur yang selama ini dinilai sebagai sumber beragam kasus kekerasan yang dialami PRT.
“Secara politis seharusnya tidak lagi diperdebatkan. Yang perlu dilakukan adalah menyosialisasikan RUU ini kepada pemangku kebijakan yang lain, sehingga anggapan bahwa RUU ini akan memberatkan pemberi kerja bisa dikikis,” ujar Nur Nadlifah, Tim Panja Badan Legislatif (Baleg) DPR di sela diskusi “Kemendesakan Pengesahan RUU PPRT” yang dihelat Komnas Perempuan pada Selasa (15/11/2021).
Nadlifah yang sudah tiga periode terlibat dalam pembahasan RUU PPRT mendorong Komnas Perempuan dan elemen masyarakat yang ingin agar RUU ini segera disahkan, untuk lebih aktif mendekati partai politik. Menurutnya, bergerak. Ia meminta Komnas Perempuan, Jala PRT mendekati pimpinan partai politik.
Jika pimpinan partai politik sudah aware dan memberikan arahan maka kami yang di DPR akan lebih mudah menjalankan,” ujarnya.
Tujuh poin krusial dalam perlindungan PRT
Membahas tentang perlindungan pekerja rumah tangga (PRT), bisa dikatakan ada sejumlah isu krusial. Pertama, terkait perjanjian kerja antara PRT dengan pemberi kerja. Dengan perjanjian kerja yang jelas maka akan disepakati tentang jam kerja. Hak dan kewajiban, libur dan cuti, jaminan sosial, dan sebagainya.
Kedua, penegakan hukum norma kerja, di mana norma kerja tersebut akan merujuk pada perjanjian kerja. Hal-hal yang muncul yang dapat merugikan PRT selama ini berangkat dari tidak adanya perjanjian kerja.
Ketiga, PRT masih dianggap sebagai pekerja sektor informal. Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2020, pekerja informal perempuan berjumlah 61,35 persen dari total 74,04 juta orang pekerja sektor informal.
Selain itu masih terdapat tantangan terkait perlindungan bagi PRT yang menimbulkan kerentanan. Beberapa tantangan itu termasuk pelecehan profesi, eksploitasi dan bahkan kekerasan baik secara fisik maupun psikologis dalam bentuk intimidasi bagi mereka yang bekerja sebagai PRT.
Selain masalah ketenagakerjaan seperti jam kerja panjang, tidak ada istirahat dan hari libur serta ketiadaan jaminan sosial, serta banyak PRT yang terlibat kasus hukum yang sering kali PRT berada pada posisi yang lemah.
Berikut adalah tujuh poin krusial yang disorot dalam RUU PPRT
- Definisi dan ruang lingkup PRT
Definisi dan jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan merujuk pada ketentuan standar dalam Konvensi ILO 189 pasal 1 tentang kerja layak bagi PRT. Ditegaskan pula penyebutan PRT sebagai pekerja bukan pembantu atau sebutan lainnya.
- Hak/kewajiban PRT dan pemberi kerja
RUU PPRT tidak hanya mengatur hak dan kewajiban PRT saja, tetapi juga hak dan kewajiban pemberi kerja. Sehingga keduanya memiliki posisi yang jelas dan diuntungkan dengan keberadaan beleid ini.
- Pengesahan hubungan kerja melalui perjanjian kerja
Melalui perjanjian kerja ini diatur tugas-tugas, hak dan kewajiban PRT, sehingga tercipta kejelasan kerja maupun hak dan kewajibannya demi meminimalisir dan mencegah terjadinya eksploitasi.
- Kesehatan, keamanan dan keselamatan kerja (K3)
Seperti pekerja lainnya, PRT juga berhak mendapatkan tempat kerja yang layak dan aman dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
- Pendidikan dan pelatihan bagi PRT
Untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan PRT. Ini diharapkan dapat meningkatkan daya tawar PRT dalam dunia kerja
- Agen Penyalur
Selama ini terjadinya eksploitasi terhadap PRT sering dimulai dari agen penyalur, sehingga hal ini perlu diatur dan diawasi agar bisa meminimalisir eksploitasi terhadap PRT.
- Pengawasan dan penyelesaian perselisihan
Sering dalam relasi kerja antara PRT dengan pemberi kerja terjadi perselisihan, untuk itu dibutuhkan adanya mekanisme penyelesaian perselisihan. (*)