Home Sosial & Budaya Masih Mahal, Jokowi Perintahkan Harga PCR Rp550 Ribu

Masih Mahal, Jokowi Perintahkan Harga PCR Rp550 Ribu

by admin

JAKARTA- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi arahan agar harga polymerase chain reaction (PCR) dipangkas menjadi Rp450.000-Rp.550.000. Jokowi mengaku sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin terkait harga tes PCR ini.

“Salah satu cara untuk memperbanyak testing adalah menurunkan harga tes PCR. Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran Rp450.000-Rp550.000,” katanya dalam keterangan persnya, Minggu (15/08/2021).

Menanggapi arahan Jokowi tersebut, Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan, seharusnya Presiden Jokowi memerintahkan Menkes Budi Gunadi menurunkan harga tes PCR serendah-rendahnya sampai Rp150 ribu.

Karena, menurut Pandu, penurunan biaya tes PCR menjadi Rp450 ribu-550 ribu, masih terbilang mahal.

“Tes PCR berdasarkan e-Catalogue bisa ditekan 150 ribu rupiah. Pak @jokowi memerintahkan ke pak @BudiGSadikin @KemenkesRI harus menekan kemahalan dengan serendah-rendah dan secepat-cepatnya. Kalau dipatok 500 ribu itu masih sangat mahal,” cuit Pandu lewat akun Twitter @drpriono1.

Selain PCR, Pandu menyebut, tes cepat antigen pun semestinya bisa ditekan hingga Rp70 ribu rupiah.

“Satu dus tes antigen berisi 25 tes. Satu dus tes PCR berisi 100 tes. Jadi kenapa bisa terjadi harga kemahalan, walaupun sudah diprotes, karena banyak yang diuntungkan dan tidak pengawasan yang ketat dari regulator Kemenkes RI,” tuturnya.

Senada, Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi juga menyebut harga tes PCR semestinya masih bisa ditekan. Menurut Baidowi, meskipun Jokowi telah meminta harga diturunkan 50 persen, tapi masih tinggi dibandingkan negara-negara lain.

Ia mencontohkan, di Uzbekistan misalnya, harga PCR sekitar Rp350 ribu. “Itu pun yang (hasilnya keluar) 6 jam. Kalau yang 24 jam lebih murah,” ujar pria yang akrab disapa Awiek itu lewat keterangan tertulis, Ahad, 15 Agustus 2021.

Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, peneliti ICW Wana Alamsyah juga membandingkan harga tes PCR Indonesia dengan India. Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp96.000. Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 sebelumnya menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp900.000 atau sekitar 10 kali lipat dari tarif di India.

Hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh pelaku usaha senilai Rp180.000 hingga Rp375.000.

Jika harga batas atas PCR yang ditetapkan Kemenkes dibandingkan dengan harga beli pelaku usaha, maka gap harga reagen PCR mencapai lima kali lipat.

Wana mengkritik Kemenkes yang selama ini tidak pernah menyampaikan mengenai besaran komponen persentase keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR. “Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja,” ujar Wana.

Tak Terjangkau oleh Pekerja Bergaji Rp3 Juta/Bulan

Sebelumnya, mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menilai harga tes PCR yang berlaku di Indonesia saat ini masih terlalu mahal. Harga tes dengan kisaran Rp900 ribu itu disebut-sebut tidak dapat terjangkau untuk masyarakat dengan upah Rp3 juta per bulan.

“Saya mengatakan misalnya kalau kita fokus ke kesehatan, PCR tidak bisa semahal sekarang. Harganya sekitar Rp900 ribu, kalau upah minimum Rp3 juta, enggak mungkin itu. Sangat exspensive. Negara harus masuk,” ujar Chatib dalam webinar bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia di Oslo, Minggu, 15 Agustus 2021.

Tes PCR merupakan salah satu upaya untuk menangani pandemi COVID-19. Pemerintah dinilai mesti mengejar peningkatan pengetesan dengan menjamin harga tes PCR yang terjangkau untuk semua kalangan.

Di saat yang sama, Chatib mengatakan percepatan vaksinasi juga penting agar negara segera lepas dari masalah COVID-19. Vaksinasi, pengetesan, hingga pelaksanaan protokol kesehatan ini berdampak terhadap pola pemulihan ekonomi.

Chatib mengungkapkan pola pemulihan ekonomi yang terjadi di negara maju dan berkembang berbeda. Negara maju dengan akses vaksin yang lebih cepat dan protokol kesehatan ketat biasanya memiliki pola pemulihan ekonomi V Shape atau slope.

“Ada perbedaan pemulihan ekonomi negara maju yang memiliki akses vaksin dengan negara berkembang atau yang tidak menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Negara maju yang menjalankan protokol kesehatan ketat, pemulihan ekonomi membentuk shape berbentuk V,” ujar Chatib.

Sementara itu untuk negara berkembang yang umumnya memiliki masalah terhadap akses vaksinasi dan protokol kesehatan, pola pemulihan ekonominya membentuk huruf L, swoosh atau seperti logo Nike, atau W. Pola L memungkinkan suatu negara memiliki pertumbuhan ekonomi yang stagnan.

Sedangkan untuk swoosh, pola pemulihan ekonomi suatu negara melandai atau turun, kemudian meningkat kembali, namun lambat. Adapun untuk pola W, biasanya negara mengalami pemulihan ekonomi dengan kurva pertumbuhan yang sempat meningkat, namun kembali menurun dan selanjutnya naik lagi.

Pola ini diperkirakan terjadi di Indonesia yang pada kuartal II berhasil mengejar pertumbuhan positif 7,07 persen sehingga negara keluar dari jurang resesi. Namun ancaman pemulihan ekonomi masih akan terjadi pada kuartal III karena adanya peningkatan kasus COVID-19 akibat munculnya varian baru corona delta.

“Kita harus antisipasi mungkin kuartal III pertumbuhan ekonomi akan turun lagi karena adanya restriksi pemerintah. Implikasinya pemulihan tidak mungkin dijalankan jika pandemi tidak diatasi,” ujar Chatib.

Di tengah ancaman pelemahan ekonomi pada kuartal III, Chatib Basri berujar pemerintah harus memberikan jaminan bantuan sosial kepada 160 juta penduduk atau 40 juta keluarga. Nilai bansos pun semestinya diperbesar dari Rp 300 ribu menjadi Rp 1-1,5 juta dengan total kebutuhan anggaran Rp 180 triliun untuk tiga bulan. (Sargini)

Related Articles

Leave a Comment