Home Politik & Hukum Kini Para Ahli Desak Penyelidikan Kebocoran Laboratorium Misterius Milik AS, Fort Detrick

Kini Para Ahli Desak Penyelidikan Kebocoran Laboratorium Misterius Milik AS, Fort Detrick

by admin

JAKARTA- Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev baru-baru ini mengatakan pihaknya memiliki banyak alasan untuk menyerukan penyelidikan laboratorium milik AS yang diduga tengah mengembangkan senjata biologis. 

AS diketahui memiliki banyak bio-labs di beberapa belahan dunia, terutama yang sangat misterius adalah di dekat perbatasan China-Rusia, dan bahwa wabah penyakit non-tipikal telah dilaporkan muncul di sekitar wilayah itu. Pernyataan itu memperkuat seruan untuk menyelidiki laboratorium milik AS agar lebih memahami asal-usul virus corona.

Para ahli mengatakan, bahwa penyelidikan bio-labs milik AS mungkin menawarkan petunjuk ke asal-usul virus. Namun, sejauh ini AS terus mengabaikan pertanyaan komunitas internasional atas keberadaan dan kegiatan di laboratorium tersebut. 

Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian pada Kamis (8/4) juga mendesak AS untuk menanggapi kekhawatiran ini dan membuat klarifikasi komprehensif tentang kegiatan militerisasi biologis di dalam dan di luar AS, serta berhenti memblokir pembentukan mekanisme verifikasi di bawah Konvensi Senjata Biologi. 

Li Wei, seorang peneliti di Institut Hubungan Internasional Kontemporer China, mengatakan kepada Global Times bahwa penyelidikan menyeluruh terhadap laboratorium biologi AS dapat memberikan petunjuk ke asal virus. 

AS dilaporkan telah mendirikan laboratorium bio di 25 negara dan wilayah di Timur Tengah, Afrika, Asia Tenggara, dan bekas Uni Soviet, dengan 16 di Ukraina saja.

Beberapa tempat di mana laboratorium berada telah menyaksikan wabah campak dalam skala besar dan penyakit menular berbahaya lainnya, kata kementerian itu, mengutip laporan media. 

Laboratorium Fort Detrick yang menangani bahan penyebab penyakit tingkat tinggi, seperti Ebola, di Fredrick, Maryland, ditutup setelah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengeluarkan perintah penghentian terhadap organisasi tersebut pada Juli 2019, seperti laporan media lokal. 

USA Today melaporkan, bahwa sejak 2003, ratusan insiden yang melibatkan kontak tidak disengaja dengan patogen mematikan telah terjadi di laboratorium bio AS di dalam dan luar negeri. 

Zeng Guang, kepala ahli epidemiologi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, mengatakan bahwa sementara China membuka laboratorium Wuhan seluasnya untuk para ilmuwan, AS justru sangat tertutup terhadap bio-labs miliknya, dan terus mengabaikan pertanyaan komunitas internasional atas misteri bio-labs tersebut. 

“AS selalu menjadi negara sombong yang hanya membiarkan dirinya sendiri menggunakan kekuatannya untuk menggunakan tongkat melawan negara lain, tetapi tidak ada satu pun yang mengintip untuk merefleksikan dirinya sendiri,” kata Zeng. 

Wang Yiwei, direktur institut urusan internasional di Renmin University of China mengatakan, hanya pemerintah AS yang memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dan kunci kebenarannya.

Namun, dunia memahami dengan jelas bahwa AS tidak akan dengan mudah mengijinkan penyelidikan ke laboratorium biologisnya, karena didorong oleh standar ganda yang biasa terjadi pada urusan internasional, dan pola pikir hegemoni yang keras kepala. 

Setelah kunjungan lapangan dan kunjungan mendalam mereka di China, anggota misi yang dipimpin oleh WHO dengan suara bulat setuju bahwa teori kebocoran laboratorium sangat tidak mungkin, tetapi Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus agaknya mulai gamang dengan menyebutkan bahwa dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut untuk menyelidiki kebocoran laboratorium di lokasi yang sama di Wuhan. 

“Penyelidikan lebih lanjut mestinya dilakukan di laboratorium di seluruh dunia, termasuk laboratorium biologi AS, jika memang ada bukti lebih lanjut bahwa hipotesis perlu dinilai ulang,” tukas para ahli. 

Penyelidikan apa pun tidak boleh diperlakukan sebagai penyelidikan kriminal, tetapi negara-negara terkait setidaknya harus bekerja sama erat dengan para ahli WHO secara ilmiah, terbuka, transparan, dan bertanggung jawab, seperti yang telah dilakukan China, kata mereka. (Jumiyem) 

Related Articles

Leave a Comment