Simak kisah Dea Safira, influencer yang banyak mengamati hak perempuan.
Saat awal praktek menjadi dokter gigi, Dea Safira bersinggungan dengan para pasien yang datang dari berbagai latar belakang. Dari para pasien inilah Dea belajar isu perempuan, terutama perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT).
Mulai saat itu Dea pun mulai menaruh perhatian lebih pada berbagai keluhan PRT. Seperti, jam kerja panjang, beban kerja berlebih ataupun tempat kerja dan upah yang tidak layak.
Dari pengamatannya, Dea menemukan bahwa hingga saat ini pekerja rumah tangga belum dianggap sebagai isu ‘seksi’. Ini dikarenakan ada kesenjangan identitas dalam melihat PRT. Ada individualisme, sehingga isu PRT tidak dianggap sebagai isu kolektif. Ia melihat kesadaran kolektif dari feminis muda terhadap isu PRT masih kurang sehingga perjuangan PRT masih sulit diangkat menjadi isu bersama.
Di sisi lain tidak ada ruang aman, bahkan ada upaya untuk melakukan doxing pada PRT. PRT dianggap tidak mengerjakan sesuai apa yang dimaui oleh pemberi kerja. Lebih parah, banyak majikan yang menganggap bahwa kerja domestik bukanlah pekerjaan, sehingga PRT tidak diakui sebagai pekerja tapi sebagai pembantu.
“Kerja PRT yang adalah pekerjaan rumah tangga menyangkut isu reproduksi social, tapi isu ini seringkali tidak dihitung. Padahal kita semua mengerjakan dan merasakan manfaat pekerjaan PRT, dan semua pekerjaan rumah tangga yang dikenakan kepada orang lain seharusnya dihitung,” ujarnya saat berbicara dalam acara diskusi “Raise Your Voice: Suarakan Suara Pekerja Rumah Tangga” yang digelar Konde.co dan Jala PRT pada Sabtu, 4 Juni 2022 lalu.
Dea menegaskan, fakta ini seharusnya cukup untuk dijadikan alasan guna membangun kesadaran bahwa perlindungan PRT adalah perjuangan bersama. Isu PRT adalah isu bersama, karena harus diakui semua orang butuh atau bahkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
“Dan itu butuh skill. Saya sampai sekarang nggak bisa mengerjakan rumah dengan baik. Banyak PRT yang punya skill tapi kenapa ini tidak diakui sebagai pekerjaan?,” ujarnya gemas.
Para PRT, lanjutnya, tak bisa dibiarkan berjuang sendirian. Diingatkan, PRT berada dalam posisi yang lemah baik dalam hubungan kerja maupun dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Sehingga agar perjuangan mereka membuahkan hasil, perlu dukungan dari masyarakat luas.
“Banyak PRT yang datang dari kelompok ekonomi yang secara kultural kurang menguntungkan. Mereka datang dari masyarakat yang dimiskinkan,” ujarnya
Dengan alasan ini, Dea mengajak semua kalangan, terutama para feminis muda untuk mulai lebih mendengarkan kisah para PRT guna membangun empati. Ia juga menyerukan kolaborasi berbagai pihak untuk mengarus utama isu perlindungan PRT ini.
Meski lebih 20 tahun diperjuangkan, perlindungan untuk pekerja rumah tangga (PRT) hingga kini masih menjadi isu marjinal. Masyarakat yang terpapar apalagi paham mengenai isu ini masih minim.
Media massa dan influencer yang diyakini efektif sebagai pembawa pesan kepada masyarakat umum juga belum intensif mengangkat isu ini.
Sonya Helen Sinombor, jurnalis Kompas mengamini pendapat Dea. Jurnalis senior dari Harian Kompas ini mengakui, isu PRT masih kurang mendapat ekspos di media.
Selama ini media baru memberitakan jika ada kejadian yang menimpa PRT, tetapi perjuangan untuk adanya perlindungan dan payung hukum untuk PRT minim perhatian.
“Kalau ada kejadian, baru media memblow up. Tetapi pemberitaan perjuangan untuk disahkannya RUU Perlindungan PRT masih seret,” ujarnya.
Untuk itu Sonya mengajak mereka yang sudah belasan tahun berjuang untuk UU Perlindungan PRT lebih aktif mengajak insan pers lebih mendalami apa yang sebenarnya dilakukan dan menimpa PRT.
Selama ini, hanya sedikit jurnalis yang tahu praktek-praktek baik yang sudah dilakukan para PRT dalam memenuhi kewajibannya.
Perlu menambah energi, ujarnya, agar media mau mengangkat dan menampilkan isu PRT secara komprehensif. Bahwa meningkatkan kesejahteraan PRT dan memanusiakan PRT itu tidak hanya akan dinikmati PRT, tetapi juga para majikan dan masyarakat yang lebih luas.
Lebih dari itu, masalah perlindungan PRT adalah masalah sistemik yang penanganannya harus dilakukan secara kelembagaan.
Diingatkannya, dari jutaan rumah tangga yang dilayani PRT, ada banyak sosok yang punya jabatan dan peran penting dalam pemerintahan, lembaga negara dan perusahaan. Mereka punya peran penting bagi jalannya pembangunan dan bergulirnya roda ekonomi.
Jika ada satu saja PRT yang sakit dan tidak dirawat, maka jalannya rumah tangga itu yang akhirnya pekerjaannya terganggu, sehingga mengganggu roda ekonomi secara keseluruhan.
“Jika anggota DPR dan pengambil kebijakan lainnya melihat PRT dalam perspektif itu, maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mendukung pengesahan RUU PRT,” ujarnya.
Sonya menegaskan, dibutuhkan strategi khusus untuk dapat menggaungkan isu perlindungan PRT ini. Mengangkat suara PRT tidak bisa hanya sekadar bersuara, tetapi harus dipikirkan lebih diseriusi. Kontennya harus mampu menyentuh kesadaran publik, bahwa meningkatkan kesejahteraan PRT berarti mendorong proses pekerjaan atau pembangunan berjalan lancar.
Perjuangan PRT dan Konvensi ILO 190
Koordinator Jala PRT, Lita Anggraeni saat memberi pengantar diskusi mengatakan, hingga saat ini masih banyak warga masyarakat yang belum mengakui PRT sebagai pekerja. Mereka masih menyebut PRT sebagai pembantu, asisten, atau bahkan babu. Anggapan ini mempengaruhi perlakuan mereka kepada PRT yang mayoritas adalah perempuan.
Cukup sering kita mendengar cerita PRT yang dipaksa kerja belasan jam sehari tanpa uang lembur, PRT tak boleh libur dan tak boleh ikut organisasi, PRT diupah rendah atau bahkan tak diupah sama sekali, mayoritas PRT tak memiliki jaminan kesehatan apalagi jaminan hari tua, dan sederet kisah tak mengenakkan lainnya masih sering dialami para PRT.
Nur Kasanah, aktivis SPRT Merdeka Semarang yang juga hadir sebagai pembicara membenarkan kejadian-kejadian seperti itu masih sering ditemui. Untuk itu ia dan teman-temannya tak kenal lelah mengampanyekan hak-hak PRT ini dengan berbagai cara.
”Tidak semua masalah bisa diurai seketika, tetapi sedikit demi sedikit dilakukan perubahan,” ujarnya sembari menambahkan dalam lima tahun terakhir makin banyak pihak yang mempedulikan dan mendukung perjuangan para PRT, khususnya di Kota Semarang tempat ia bermukim.
Ari Ujianto dari Jala PRT yang menutup diskusi ini mengatakan, setelah perjuangan untuk pengesahan RUU Perlindungan PRT terjegal di DPR kini pihaknya mencoba pintu lain yakni mendekati pemerintah.
Penyadaran juga terus dilakukan di masyarakat juga terus dilakukan dengan mensosialisasikan poin-poin RUU Perlindungan PRT. Jala PRT tak lelah menjawab pertanyaan dan keraguan masyarakat terkait RUU ini.
“UU Perlindungan PRT ini perlu, karena kekerasan yang dialami PRT selama ini multidimensi dan meningkat terus. Perlu ada payung hukum yang komprehensif untuk itu,” ujarnya
Ari menjelaskan RUU Perlindungan PRT memaktub poin-poin di Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak dan Konvensi ILO 190 tentang Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Konvensi ILO 190 yang pada 21 Juni 2022 ini akan berusia 3 tahun akan memberikan amunisi yang baru dan lebih luas cakupannya dalam melindungi pRT
“Konvensi ini tak hanya mencakup pekerja formal tapi juga pekerja informal. Dan tidak hanya di tempat kerja tetapi juga dunia kerja, sehingga cakupannya lebih luas,” pungkasnya.