JAKARTA- Para Pekerja Rumah Tangga,–kaum Sarinah menulis surat terbuka kepada para pemimpin Indonesia dan para wakil rakyat di DPR-RI. Isinya menyampaikan nasib pekerja rumah tangga yang tak pernah dilindungi oleh negara di negeri ini. Hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pun tidak jelas kapan akan disahkan oleh DPR-RI.
Dibawah ini surat lengkap Kaum Sarinah yang diterima Bertungkumenyala.com di Jakarta, Minggu (23/8) :
Kepada yang mulia, Para Pemimpin Negeri dan Wakil Rakyat
Kami menulis surat ini sebagai ungkapan kegelisahan dan keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi dan situasi yang kami, para pekerja rumah tangga hadapi.
Dalam sejarah negeri ini, kami telah mencurahkan seluruh jiwa, tenaga dan segala yang kami punya untuk bekerja mencari nafkah dengan kesungguhan hati dan cinta kasih baik keluarga kami dan keluarga majikan kami.
Kami bekerja pada para majikan kami, termasuk di sini para pemimpin negeri dan wakil rakyat.
Kami bekerja bahkan tak mengenal waktu dan hari. Bekerja dari pagi subuh sampai malam, bahkan larut malam.
Kami bekerja melayani dengan pelbagai cara, mulai dari mencuci pakaian, menyetrika, memasak, menyapu, mengepel, membersihkan rumah dan halaman, menjaga rumah, merawat taman kebun, merawat orang tua atau yang sedang sakit dan mengasuh sang buah hati majikan dengan kasih sayang, serta juga mendengar segala keluh kesah majikan.
Kami adalah kaum “Sarinah”.
Kami seperti Sarinah yang mengasuh Presiden Soekarno sewaktu kecil, dengan penuh perhatian, tanggung jawab, dan cinta kasih.
Namun, kami, kaum “Sarinah” ini keberadaannya dianggap tidak penting. Apa yang dilakukan dengan sepenuh hati itu tidak dihargai.
Kami yang tinggal di desa maupun kota, umumnya berasal dari keluarga miskin dari pelbagai sisi. Kami terpinggir secara ekonomi, terlempar dari pendidikan, dan terhalang dari segala informasi. Tetapi hal tersebut tidak membuat kami putus harapan. Kami tetap ingin hidup dengan bekerja, sebagai pekerja rumah tangga.
Kami memang bekerja.
Bekerja mencari upah nafkah untuk menghidupi keluarga. Kami bekerja dengan sepenuh hati dan karenanya kami dekat dengan keluarga majikan. Kami membutuhkan pekerjaan dan majikan membutuhkan kami. Saling membutuhkan. Majikan dan keluarganya selalu ada tempat di hati dan pikiran kami. Kami bekerja dengan hati manusiawi. Karenanya sering menjadi tempat curhat para anggota keluarga majikan dan berusaha menentramkan. Meskipun situasi kami sendiri tidak “tenteram”.
Namun, juga setiap kali kami bertanya karena kegelisahan, kekhawatiran juga nasib kami dan keluarga kami. Situasi yang serba sulit terbatas untuk bisa bicara tentang kami yang dihadapkan pada situasi yang sering tidak manusiawi sebenarnya. Kami selalu dituntut “super mengerti” dari semua pekerjaan yang kami sendiri tidak mendapat pendidikan dari sekolah yang ada.
Pokoknya harus bisa segala hal pekerjaan yang majikan minta. Kami berusaha untuk selalu bisa meski itu tidak mudah.
Situasi bekerja di rumah yang tertutup, pekerjaan yang membuat lelah karena dari subuh hingga larut, membuat kami tidak bisa berbicara yang sebenarnya kami alami.
Perlakuan yang tidak manusiawi sering kami alami. Keberadaan kami yang dibutuhkan dipandang sebelah mata, sering dilecehkan dan bahkan menjadi bahan tertawaan serta pelampiasan amarah.
Ada apakah dengan pekerjaan kami yang dilakukan kaum Sarinah ini? Bekerja dengan cara memberikan pelayanan kepada keluarga para majikan, agar mereka bisa bekerja, berkarir di dunia kerja di luar sana, membuat rumah bersih terpilihara, membuat masakan kesukaan keluarga, dan membuat anak-anak terawat.
Kami seperti masuk dalam lingkaran ketakutan, kekhawatiran, kerja paksa. Kami sering mengalami kekerasan secara lisan bahkan juga fisik, hal yang sering dianggap wajar tapi sebetulnya tidak manusiawi.
Ada banyak kami yang tidak diupah, dipotong upahnya. Ada kawan yang disekap, tidak diberi makan, disiram air panas dan disiksa.
Nasib kami tergantung pada majikan. Mungkin ada banyak majikan yang baik. Tapi lebih banyak situasi kerja yang tidak manusiawi.
Kami tidak memiliki apa yang disebut stirahat yang jelas, libur, cuti, jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan, yang kami ketahui kemudian setelah kami berorganisasi.
Yang mulia pemimpin negeri dan wakil rakyat, kami hanya minta perlindungan agar kami dimanusiawikan, agar kami bisa bekerja dengan tenteram. Nasib kami ada di tangan yang mulia para pemimpin negeri dan wakil rakyat.
Hari peringatan kemerdekaan Agustus ini mengingatkan kami, akan salah satu Proklamator Kemerdekaan Negeri, Presiden Soekarno. Mengingatkan kami juga tentang bagaimana Presiden Soekarno menghargai pemikiran kemanusiaan dari Mbok Sarinah yang mengasuh beliau. Pesan kemanusiaan Presiden Soekarno dari Mbok Sarinah yang harusnya ada dalam hati pemikiran serta tindakan yang mulia pemimpin negeri dan wakil rakyat.
Yang mulia para pemimpin negeri dan wakil rakyat, kami 16 tahun sudah berjuang meminta lahirnya Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, sebagai wujud perikemanusiaan untuk kami.
Sekali lagi untuk kemanusiaan bagi kami dan bagi semua untuk memanusiakan kami, para Pekerja Rumah Tangga.
Tidak ada yang perlu ditakutkan yang mulia dan segenap bangsa ini akan lahirnya suatu Undang-Undang untuk perikemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kecuali jika memang pikiran dan tindakan jauh dari perikemanusiaan itu sendiri.
Medan, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar
23 Agustus 2020
Salam kemanusiaan,
Kami Pekerja Rumah Tangga
Jumiyem, Murtini, Sargini, Titin, Safrida.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang sudah berusia 16 tahun mangkrak di DPR-RI. Ini membuktikan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dari Pancasila tidak akan pernah ada ditingkat rumah tangga, apalagi di tingkat nasional. (Sargini)