Keluarga Siti Khotimah, pekerja rumah tangga (PRT) yang disiksa dan mendapatkan kekerasan seksual dari majikannya di Simprug, Jakarta Selatan, kecewa atas putusan jaksa penuntut umum (JPU). Dalam sidang pembacaan tuntutan pada Rabu (5/7/2023), jaksa hanya menuntut hukuman empat tahun penjara bagi terdakwa.
“Anak saya disiksa sedemikian rupa hingga trauma dan kesakitan,” ujar ayah Siti Khotimah, Suparno, dalam konferensi pers yang digelar LBH APIK secara daring, Jumat (7/7/2023). Menurut Suparno dan pihak kuasa hukum, tuntutan tersebut sangat melukai dan mencederai korban.
Suparno juga menjelaskan, anaknya syok dan menangis saat mengetahui jaksa menuntut pelaku dengan sanksi ringan. Ia berharap, majelis hakim dapat menegakkan keadilan untuk sang anak.
“Tuntutan jaksa yang sangat ringan, sangat melukai anak saya dan keluarga,” katanya.
Tuntutan Empat Tahun Penjara
Metty Kapantow (70) dan So Kasander (73) adalah terdakwa yang pernah menjadi majikan Siti Khotimah. Mereka menyiksanya selama bekerja sebagai PRT pada April-Desember 2022. Namun, meski terbukti melakukan penyiksaan dan tindak kekerasan lainnya, jaksa hanya menuntut para pelaku dengan sanksi ringan pada sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/7/2023).
Kepada Metty Kapantow dan E, seorang PRT lain yang turut melakukan kekerasan, jaksa menjatuhkan sanksi masing-masing 4 tahun penjara. Lalu So dan anak mereka, Jane Sander (33), serta lima PRT lain yang terlibat, dituntut masing-masing 3,5 tahun penjara.
Menurut JPU dalam persidangan, ada empat hal yang meringankan tuntutan terdakwa. Pertimbangannya, terdakwa sudah lanjut usia, belum pernah dihukum, sudah menyesali perbuatannya, dan sudah membayar ganti rugi atau restitusi sebesar 257 juta Rupiah kepada Siti Khotimah dan keluarga.
Para keluarga pelaku kekerasan terhadap Siti Khotimah hanya dituntut kurungan selama empat tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Hal itu disesalkan oleh pihak keluarga serta para pendamping hukum Siti Khotimah. Bagi mereka, tuntutan tersebut terlalu ringan dibanding perbuatan para terdakwa terhadap perempuan itu.
Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini angkat bicara. Pada konferensi pers Jumat (7/7/2023), Lita berkata, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak digunakan dalam proses peradilan kasus Siti Khotimah. Selain itu, proses kejaksaan tidak melihat kondisi korban dan kekerasan yang terjadi.
Tidak ada pula pasal berlapis yang mestinya diberlakukan bagi kasus kekerasan terhadap PRT tersebut. Padahal selain penyiksaan, terjadi pula tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus tersebut. Tutur Lita, jaksa bisa dilaporkan atas hal tersebut karena tidak tidak berpegangan pada perundang-undangan yang ada.
Dalih jaksa bahwa terdakwa sudah ‘tua’ dan ‘menyesali perbuatannya’ juga tidak relevan. “Itu tidak bisa menggantikan derita korban seumur hidup,” kata Lita.
Husna Amin dari LBH Jakarta juga menambahkan, pihak korban diminta untuk menempuh jalur damai. Dalam proses tersebut, menurutnya, pendamping hukum justru tidak dilibatkan.
Lita pun mendorong semua pihak untuk terus menyuarakan perkara ini, agar majelis hakim tidak mengikuti tuntutan jaksa yang terlalu ringan.
Penyiksaan terhadap Siti Khotimah
Berdasarkan keterangan dari liputan Konde.co di sidang perdana Siti Khotimah pada Senin (5/6/2023), selama itu, Siti Khotimah disiksa dengan berbagai cara. Mulai dari disuruh makan kotoran anjing, disiram air panas, dipukuli, diborgol di kandang anjing, dirantai, hingga direndam air panas yang mendidih. Bahkan, ia mendapatkan kekerasan seksual saat difitnah mencuri celana dalam majikan.
“Ini semua fitnah, Pak Hakim. Dari difitnah, saya kemudian disiksa, disuruh makan kotoran anjing. Saya terpaksa memakan kotoran anjing, biar tidak terus disiksa,” kata Siti Khotimah di depan pengadilan. Sidang tersebut dipimpin oleh ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun, S.H., M.H..
Penyiksaan oleh majikan membuat Siti Khotimah sempat harus dirawat di Rumah Sakit Polri Jakarta, pasalnya ia mengalami luka di kaki yang amat dalam. Hingga hari ini, ia berjalan dengan menggunakan kruk penyangga.
Dalam sidang perdana tersebut, para terdakwa juga dihadirkan dalam ruang sidang, yakni Metty Katampow, So Kasander, dan Jane Sander sebagai majikan Siti Khotimah. Selain itu, hadir pula enam PRT yang turut melakukan tindak kekerasan. Mereka dijerat Pasal 333 dan 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 43 dan 45 Undang-Undang tentang Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU TKDRT).
Berharap Hukuman Seumur Hidup
Suparno selaku ayah Siti Khotimah menekankan, pelaku seakan tidak melihat anaknya sebagai manusia. Mereka memperlakukannya demikian kejam.
“Sebagai orang tua, mohon majelis hakim berpegang pada keadilan. Bayangkan saja kalau ini terjadi pada anak kalian,” katanya.
Lelaki itu berharap para pelaku dihukum seumur hidup. “Minta dihukum seumur hidup agar dia jera,” ujar Suparno. “Biar dia merasakan yang Bapak rasakan.”
Sebanyak 9 (sembilan) orang menjadi terdakwa dalam kasus ini. Terdakwa utama yaitu 3 majikan, Metty Katampow, So Kassender Jane Kasender. Sedangkan 6 PRT lainnya yakni inisial E (35), ST (25), PA (19), IY (38) dan S (48) juga turut melakukan tindak kekerasan dalam pekerja rumah tangga dengan memukul, menampar, menendang. Beberapa di antaranya juga ada yang menyiram dengan air panas, memborgol, hingga menyuapi dan melumuri sekujur korban dengan cabai.
Kuasa hukum terdakwa dalam sidang awalnya menyatakan permintaan maafnya pada Siti Khotimah atas perbuatan yang dilakukan pelaku, walau beberapa menit kemudian malah mencecar korban.
Tuani Sondang, kuasa hukum korban dari LBH APIK Jakarta menyatakan bahwa Siti tidak hanya mengalami KDRT fisik, tetapi juga seksual. Ia menyatakan seharusnya jaksa bisa menengahi situasi ini ketika Siti Khotimah dicecar karena Siti alami trauma mendalam
“Korban merasa tertekan. Jaksa tidak sensitif melihat kondisi ini, padahal Siti khotimah sudah terpukul dan menangis,” kata Tuani Sondang.
Tuani menyatakan, korban sudah seharusnya mendapat restitusi, yaitu pengganti biaya untuk korban yang sudah menderita dan mengurus kasusnya yang panjang. Siti Khotimah saat ini juga didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).