Home Politik & Hukum Kata Penggiat HAM, Harusnya Tidak Boleh Ada Pidana Penjara dalam PPKM Darurat

Kata Penggiat HAM, Harusnya Tidak Boleh Ada Pidana Penjara dalam PPKM Darurat

by admin

JAKARTA – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menyinggung soal sanksi dalam pelaksanaan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Menurutnya, tidak boleh ada sanksi pidana selama masa pelaksanaan PPKM.

“Kesalahan pengaturan soal sanksi ini sudah terjadi sejak awal pandemi, ketika pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),” katanya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Koran Jakarta, Kamis (21/7).

Kepada Tungkumenyala.com dilaporkan, seperti diketahui, pemerintah telah memutuskan memperpanjang pelaksaan PPKM Darurat hingga tanggal 26 Juli 2021. Istilah pun kini berganti jadi PPKM 4 level. Kata Maidina, berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 15 tahun 2021 yang kemudian mengalami perubahan pada diktum kesepuluh berkaitan dengan sanksi melalui Instruksi Mendagri Nomor 16 tahun 2021. Perubahan tersebut salah satunya dipusatkan dengan menambahkan tentang pemberlakukan sanksi bagi orang yang melanggar PPKM.

“Berbeda dari PSBB yang sanksi pelanggarnya diatur dalam skema sanksi administrasi berdasarkan Peraturan Gubernur, kali ini pelanggar PPKM diatur sebagai tindak pidana, dengan bunyi diktum kesepuluh huruf c, yang menyatakan setiap orang dapat dikenakan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular berdasarkan KUHP Pasal 212 sampai dengan Pasal 218, UU Nomor 4 tahun 1984 tehtang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain,” tuturnya.

Menurut Maidina, dalam diktum kesepuluh huruf c seolah begitu mudah menyatakan sesorang melakukan tindak pidana. Padahal masing-masing aturan yang dirujuk memilki unsur tindak pidana yang jika ingin diterapkan harus dibukti berdasarkan unsur tersebut.

Hukum pidana tidak serta merta dapat begitu saja diterapkan tanpa memperhatikan unsur perbuatan jahat. Terlebih lagi, sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan Perda, tidak tersedia untuk instruksi menteri dalam negeri.

“Tapi faktanya kesalahan pengaturan soal sanksi ini sudah terjadi sejak awal pandemi saat diberlakukannya PSBB,” ujarnya.

Pemerintah pusat, kata dia, membuat aturan yaitu PP tentang PSBB untuk penanggulangan Covid-19 tidak mematuhi tata aturan. Sehingga penerannya di lapangan sewenang-wenang. Tidak memperhatikan tata hukum yang ada dan standar hukum pidana.

Kesalahan ini kembali terjadi dalam pelaksanaan PPKM. Ini menunjukkan bahasan tentang sanksi pelaksaan PSBB ataupun PPKM tidak dibahas secara serius. Padahal pemberlakukan sanksi memuat pelanggaran hak asasi manusia, berkaitan dengan exercise aparat pemerintah dan penegak hukum menjalankan kewenangannya.

“Tapi bahasan itu tidak pernah dipikirkan matang. Alhasil kita lihat kasus yang terjadi, warga dihukum dengan denda, sementara aparat berkerumun tidak dihukum, alat-alat berjualan masyarakat miskin disita tanpa mekanisme pemulihan dan uji yang jelas. Sewenang-wenang terhadap masyarakat rentan yang miskin ataupun tidak paham hukum,” katanya.

Bahkan, kata Maidina,di Tasikmalaya, ada pelanggar PPKM justru dijatuhi pidana penjara karena tidak sanggup membayar denda. Hal ini sangat memprihatinkan, baik dari kebijkanan maupun kepekaan aparat penegak hukum. Adanya PPKM ditujukan untuk menanggulangi penyebaran virus. Orang diminta untuk di rumah. Tidak berinteraksi dengan orang yang tidak tinggal serumah. Ketika melanggar justru ia dikirim ke penjara, tempat yang penuh sesak, banyak penyebaran penyakit.

“Pun ketika dimasukkan harus melalui serangkaian protokol kesehatan yang menghadirkan beban biaya tambahan,” katanya.

Menurut Maidina, ini menujukkan, penerapan sanksi PPKM pun dilaksanakan tidak dengan memperhatikan secara serius tujuan dari pemberlakusan sanksi pelanggaran PPKM. Aparat penegak hukum harusnya lebih sensitif dan progresif melihat hal ini. Hukuman tidak musti denda dan penjara dalam Lapas. Bisa secara progresif diperkenalkan penahanan rumah sebagai hukuman. Atau kerja sosial berkontrubusi pada penanggulangan wabah, dan lain sebagainya.

“Dengan adanya kasus ini maka dapat dikatakan aparat pun tidak memahami mengapa penting untuk melaksanakan PPKM dan menanggulangi wabah,” ujarnya.

Maidina pun melihat, carut marutnya permasalahan penegakan hukum pelanggar PPKM sudah ada sejak awal pandemi. Pemerintah membuat kebijakan soal sanksi tanpa memperhatikan tata hukum yang ada.

“Terlalu sering menerobos kewenangan. Hal ini merupakan masalah besar untuk pemerintah saat ini,” katanya. (Jumiyem)

Related Articles

Leave a Comment