Ratusan dokter dan tenaga kesehatan telah gugur, akibat kelelahan di rumah-rumah sakit perang melawan Covid-19, berjuang menyembuhkan pasien. Sementara jumlah kasus terus meningkat. Pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan darurat memperkuat dokter dan tenaga kesehatan. Karena mereka adalah tulang punggung dari perang ini. Dr. Eva Sridiana, Sp.P menuliskan pengalamannya kepada pembaca Tungkumenyala.com (Redaksi)
Oleh: Dr. Eva Sridiana, Sp. P
SEBUT saja namanya puteri, nama samaran seorang Pasien saya. Gadis muda belia, Pasien rutin Cuci darah di Rumah sakit saya.
Hari itu saat saya bertemu di ruang rawat inap biasa, saya mendapatinya dalam keadaan demam, batuk, pilek.
Mendapati kondisi demikian ditambah hasil pemeriksaan darah serta foto rongent dadanya menunjukkan infiltrat khas Covid-19, maka saya memiliki kecurigaan ke arah Covid-19.
Saya benar-benar dilema dalam mengambil kesimpulan, diagnosis untuk Pasien muda ini.
Jika saya simpulkan sebagai Covid-19, artinya Pasien ini tidak bisa cuci darah lagi di Rumah sakit kami karena tidak tersedia mesin Cuci darah untuk Pasien Covid.
Pasien harus dirujuk ke Rumah sakit rujukan Covid yg mempunyai fasilitas Cuci darah untuk Pasien Covid-19. Sementara Rumah sakit rujukan hampir semua penuh.
Jika saya anggap penyakit infeksi Paru bukan Covid-19, Pasien akan terlambat ditangani sebagai Pasien Covid-19, selain itu juga akan menyebabkan penularan di ruang rawat inap selain kepada Pasien di sekitarnya, Pasien-Pasien Cuci darah lainnya, juga menularkan nakes serta dokter yang merawatnya.
Setelah diskusi panjang dengan dokter Internis yang biasa merawat pasien ini, saya putuskan diagnosisnya tersangka Covid-19, dan dan berharap bisa merujuknya ke rumah sakit rujukan dengan fasilitas cuci darah agar pasien bisa tetap cuci dan sehat kembali.
Namun rumah sakit rujukan yang dituju penuh, ditambah pula keluarga masih menolak dirujuk, sehingga pasien sementara kami rawat diruang isolasi Covid-19, sambil dilakukan pemeriksaan Swab PCR untuk mengetahui apakah pasien ini memang Covid-19 atau bukan.
Menurut dokter Internisnya, pasien masih mungkin toleransi jika terpaksa tidak cuci darah untuk sementara waktu. Saya berharap sebelum masa toleransi itu habis, hasil swab pasien sudah keluar, dan hasilnya negatif sehingga pasien bisa segera cuci darah lagi.
Namun takdir berkata lain, hasil swab PCR nya lama baru keluar dan Rumah sakit rujukan tidak kunjung didapatkan. Hasil akhir ternyata memang hasil swab PCR nya menunjukkan positif Covid-19.
Pasien yang awalnya hanya demam batuk pilek..masih baik-baik saja..masih segar bugar, selalu sibuk dengan handphonenya..lambat laun kondisinya memburuk..makin sesak..kejang ..tidak sadar..dan akhirnya jiwanya tidak terselamatkan.
Bukan hanya karena Covidnya pasien muda ini tidak tertolong, tapi terutama diperberat keadaan tidak cuci darah lagi dalam waktu diluar batas toleransi tubuhnya.
Semoga Puteri husnul khotimah, demikian juga semua dokter, nakes dan pasien yang wafat karena Covid-19 ini
Aaminn ya Allah aamiin
Adalah hal yang menyakitkan bagi kami Dokter menyaksikan kematian pasiennya tanpa bisa berbuat..apalagi saya masih memiliki harapan keselamatan pasien jika fasilitas yang dibutuhkan tersedia.
Cerita ini tidak pernah hilang dalam ingatan, terus menggores hati..bersama cerita-cerita tragis pasien kami lainnya..yang terpaksa meregang nyawa karena fasilitas yang tidak tersedia.
Kami dokter dan Nakes adalah manusia yang punya hati..bukan robot yang tanpa beban dalam menghadapi pasien.
Kami punya rasa dan harapan yang sama dengan pasien.
Jadi tidaklah mungkin kami menjadi bagian dari konspirasi Pandemi Covid-19 ini.
Bagi kalian yang menganggap Covid-19 biasa-biasa saja, dan ribuan jiwa yang pergi hanya sebatas angka-angka..
Semoga Allah SWT memaafkan kalian..
Ya Allah, pemilik jiwa ini..
hilangkanlah kesedihan ini
hentikanlah wabah ini
Aamiin ya Allah aamiin
Jakarta 15 September 2020