Home Sosial & Budaya Jenang Opo Jeneng

Jenang Opo Jeneng

by admin

Bagi manusia Jawa, pilihan etis jenang opo jeneng adalah hal yang butuh seperangkat pengetahuan bukan sekedar ilmu ganti kalender, tapi pengetahuan yang mengantarkan kepada keselamatan diri, keluarga dan bangsanya. Budayawan Fathurrohman mengupasnya untuk.pembaca Tungkumenyala.com (Redaksi)

Oleh: Fathurrohman

KEHIDUPAN manusia Jawa dengan beragam simbolisasi telah menghasilkan nilai-nilai, adat istiadat dan kebiasaan, kebudayaan. Atribusi identitas seseorang jelas menjadi cara mudah untuk mengetahui asal usulnya. Minimal tahu bagaimana arah berpikir dan bertindak, karakter kebiasaan.

Bicara budaya Jawa, ada banyak perspektif yang bisa dibahas. Sama juga saat bicara budaya Minang, budaya Bugis, budaya Melayu, budaya melanesia, budaya Papua, budaya Dayak, budaya Tioghoa, budaya Sasak, budaya Aceh dan lain sebagainya.

Ada nilai, karakter budaya yang menandai suku bangsa di nusantara. Ada kehormatan, martabat dan kebiasaan adat yang begitu beragam di nusantara. Budaya Jawa salah satunya, yang sering dibicarakan sebagai budaya yang hegemonik. Wajar saja karena pusat kekuasaan budaya, kekuasaan pemerintahan, awal mula pendidikan modern seperti berdirinya universitas ada di Jawa. Jumlah penduduk penutur bahasa juga terbanyak suku Jawa, dulunya, entah nantinya seperti apa karena ada perubahan kultur dan kemajuan zaman.

Jadi jika ada yang bertanya, jenang opo jeneng dalam bingkai budaya, itu sejatinya bisa membuka orientasi seseorang. Pilihan jawaban bisa berikan petunjuk kapasitas individu. Kala pertanyaan kita ajukan kepada para pemimpin atau calon pemimpin (erte, erwe, kepala desa, bupati, walikota, gubernur hingga presiden, dst) , disampaikan oleh para pemimpin, bisa kita ketahui kualitas diri, kesadaran atas sikap diri dan perilaku, kepemimpinan model jenang atau memimpin dengan model jeneng.

Termasuk simbolisasi budaya makan jenang sengkalan (jenang merah-jenang dengan gula jawa) di akhir tahun berdasarkan kalender Jawa. Ada kegiatan kenduri menandai waktu pergantian tahun, dedonga lan umbul donga untuk keselamatan dan rasa syukur hadirnya pergantian tahun dan sikap yang tepat menjalani, mewujudkan harapan.

Selain simbol, budaya Jawa menyediakan juga banyak nasehat dan pedoman hidup. Malah ada yang dibuat menjadi lagu anak-anak.

Gundul gundul pacul cul, gemblelengan
Nyunggi-nyunggi wakul kul, gemblelengan
Wakul ngglempang segane dadi sak ratan
Wakul ngglempang segane dadi sak ratan

Lirik lagu anak-anak ini cukup populer. Entah, apakah ini masih suka dinyanyikan anak-anak hari ini? Lirik lagu ini soroti siapa saja yang tengah kuasa, memiliki kuasa dan mendapat mandat menjadi pemimpin.

Gemblelengan yang bermakna sombong, sok kuasa, nggaya atau suka bergaya. Kalau sudah dapat kekuasaan, berikanlah sepenuh hati kekuasaan itu untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Urip prasojo, sak madya. Hidup yang bermartabat, bermakna, berkualitas serba cukup dan selau bersyukur. Manusia Jawa, menjadi Jawa sekaligus menjadi Indonesia dalam masa dewasa ini banyak menghadapi paradoks-paradoks.

Kalau di tengah ramainya pembahasan soal baju adat, glorifikasi soal identitas atau merayakan keberagaman ekspresi budaya tiap suku hanya berhenti soal baju, kemewahan pernik hiasan dst rasanya kok eman-eman ya.

Hadirnya perjumpaan antar budaya, menghadirkan beragam ekspresi budaya baru hadirkan proses adaptasi budaya baru. Di masa pandemi begini, masa pagebluk dalam alam pikir manusia Jawa memberikan pilihan tindakan etis bagi semua pihak.

“Ayo mbudi daya piye amrih sekabehe slamet, tata tentrem, kerta raharjo, sing uwis iyo uwis,”

Bagi manusia Jawa, pilihan etis jenang opo jeneng adalah hal yang butuh seperangkat pengetahuan bukan sekedar ilmu ganti kalender, tapi pengetahuan yang mengantarkan kepada keselamatan diri, keluarga dan bangsanya.

Pilihan jenang bermakna prasyarat tercukupinya kebutuhan dasar, urusan pangan. Kalau pilihan jeneng, bermakna upaya atau pilihan jalan pentingnya menjaga kehormatan, karakter diri. Ada jagat cilik jeneng, jagad gede jeneng yang diharapkan selalu harmonis.

Urip tansah iso mesem ngguyu. Urip mulyo, urip bejo, urip prasojo.

Jadi kalau hari hari ini jagat medsos ributkan nama dan orientasi politik juga saling sorot soal kuasa dan kekuasaan ideal seperti apa yang tepat dipilih oleh bangsa ini, dari perspektif alam pikir budaya Jawa semua itu tengah rebutan saja, rebutan jenang dan rebutan jeneng. Hehehee. Apa begitu ya.

#ceritapinggirjalan
#budaya
#catatanawaltahun

Related Articles

Leave a Comment