Selain peringatan Hari PRT Internasional pada 16 Juni, peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional sudah menjadi agenda rutin JALA PRT bersama anggotanya. 15 Februari 2018 adalah Hari PRT Nasional ke–12. Setelah diluncurkan bersama pada 15 Februari 2007 di Surabaya dan di Yogyakarta bersama Jaringan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JPPRT) Yogyakarta. JPPRT DIY waktu itu melakukan aksi di Titik Nol depan Kantor Pos Yogyakarta, dengan aksi teaterikal memasak, membersihkan dan mencuci. Aksi launching tersebut sangat mengesankan apalagi setelah kami melihat aksi kami esoknya dimuat di halaman depan harian Kompas 16 Februari 2007.
Sejarahnya
Dijadikannya Hari PRT Nasional setiap tanggal 15 Februari, dilatarbelakangi peristiwa penganiayaan yang dilakukan seorang majikan bernama Ny. Ita terhadap PRT Anak bernama Sunarsih yang berusia 15 tahun berasal dari Pasuruan, yang bekerja di Surabaya. Kejadiannya terungkap pada tanggal 15 Februari 2001 dan pada hari dan tanggal tersebut kawan-kawan yang peduli pada perlindungan PRT mengadvokasi dan mengangkat kasus ini.
Sunarsih bekerja bersama dengan 4 orang kawan PRTA-nya di rumah Ny. Ita. Selama bekerja 6 bulan Sunarsih dan kawan-kawan sering mendapat berbagai jenis kekerasan dari majikannya. Dalam kurun waktu tersebut, mereka bekerja lebih dari 18 jam sehari-harinya tanpa istirahat dan libur mingguan. Mereka dilarang berkomunikasi dan keluar dari rumah. Hanya boleh muncul di serambi rumah. Upah mereka tidak dibayarkan dengan alasan sudah habis dipotong untuk membayar kenaikan listrik dan air yang ditimpakan sebagai kesalahan PRT. Mereka hanya diberi makan sehari sekali dan makanan basi. Mereka tidur di lantai jemuran.
Sunarsih sebetulnya adalah korban perdagangan orang. Ketika kasus ini terungkap, tidak ada yang tahu tentang keluarga dan asal alamat Sunarsih. Orang tua Sunarsih baru mengetahui dari tetangganya yang membaca Koran Memo bahwa Sunarsih meninggal. Sewaktu Sunarsih dibawa oleh calo, orang tuanya tidak tahu kemana persisnya Sunarsih akan bekerja. Karena si calo berjanji akan memberitahu. Namun kunjung 6 bulan, tidak ada kabar hingga orang tua Sunarsih mencari anaknya dengan menjual ternak. Hingga akhirnya kepiluan setelah mengetahui Sunarsih tiada.
Majikan Pelaku yang Lolos dari Jerat Hukum
Sebetulnya Ny. Ita, majikan tersebut adalah pelaku kekerasan pada beberapa PRT sebelumnya pada tahun 1999-2000 hingga PRTnya dirawat di rumah sakit. Salah satu PRTnya dipukul hingga terluka dan lukanya disiram pembersih keramik hingga membusuk. Atas penganiayaan tersebut, Ny. Ita selalu bisa lolos dari jeratan hukum karena pergi ke luar negeri.
Dalam proses hukumnya, keadilan tidak berpihak. Untuk yang kedua kali, majikan tersebut mendapat vonis hukuman yang ringan dari Pengadilan Tinggi Provinsi JawaTimur. Divonis oleh Pengadilan Negeri Surabaya Timur hanya 4 tahun penjara. Ny. Ita naik banding ke Pengadilan Tinggi dan divonis oleh hakim sehingga turun menjadi 2 tahun penjara. Ternyata hukuman 2 tahun tersebut tidak dijalankan. Tahun 2005, Ny. Ita kembali melakukan penganiayaan ke “Sunarsih” yang lain, namun juga kemudian mendapat hukuman ringan percobaan selama 1 bulan. Bayangkan betapa para Majelis Hakim saat itu tidak melihat bagaimana perasaan orang tua dan keluarga Sunarsih. Tidak juga dibayangkan seandainya Sunarsih itu anaknya. Anak usia 15 tahun yang harusnya tumbuh kembang menikmati masa indah remaja. Ya Tuhan…betapa mengerikannya…seorang pelaku kejahatan bisa bebas dan mudahnya lagi dan lagi melakukan kekerasan kepada PRT yang bekerja di rumahnya. Sungguh hukum tidak adil.
Masyarakat beranggapan bahwa Ny. Ita mengalami gangguan jiwa sehingga tega demikian. Menurut JALA PRT, Ny. Ita sehat jiwa dan raga. Karena kalau gangguan jiwa maka tidak akan pilih PRT yang terus menjadi korban kekerasan.
Pengamatan dari JALA PRT, bahwa majikan pelaku kekerasan terhadap PRT bukan orang yang mengalami gangguan jiwa. Namun memang mereka melakukan kekerasan dengan anggapan bahwa PRT seperti budak yang bisa diperlakukan apa saja. Sungguh seperti tidak ada peradaban, saling menghormati.
Yang lebih memprihatinkan, kita Negara Indonesia memiliki pemerintahan yang harusnya melindungi warganya, tapi untuk PRT seperti tidak berlaku. Apakah PRT bukan warga negara yang sama dengan yang lain? Tidak ada perhatian terhadap kasus-kasus kekerasan. Pendapat DPR dan pejabat Pemerintah selalu meremehkan kasus.
Pelanggaran dan tindak kekerasan tersebut yang berulang kali sepertinya belum cukup bagi negara untuk mencegah tindak kekerasan dan menjamin pemenuhan hak PRT.
Hal ini terbukti dengan perjalanan panjang RUU Perlindungan PRT (RUU PPRT) di DPR dan Pemerintah. Sejak 2004, atau sudah 14 tahun dan 3 periode pemerintahan 2004-2009 ke periode 2009-2014 dan sekarang periode 2014-2019, RUU PPRT mandeg, sehingga telah bermunculan “Sunarsih-Sunarsih” lain. Sri Siti Marni atau Ani dan 3 orang temannya yang disekap dan disiksa selama 9 tahun. Nur Laela yang disekap dan disiksa 5 tahun. Dan kejadian tragis 2 hari lalu, Adelina yang meninggal di tanah rantau karena siksaan majikan. 14 tahun sudah cukup membuktikan bahwa negara memang “mengorbankan” PRT.