Home Politik & Hukum Hari Lingkungan Hidup: Eksploitasi Lingkungan Picu Migrasi dan Trafficking Perempuan

Hari Lingkungan Hidup: Eksploitasi Lingkungan Picu Migrasi dan Trafficking Perempuan
Solidaritas Perempuan mengungkapkan 4 kerusakan lingkungan hidup yang merampas hak perempuan.

by admin

Jakarta – Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 2022, Solidaritas Perempuan menagih pemerintah Joko Widodo untuk merealisasikan janji politik pada Pemilu 2019 dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup, bencana iklim, dan pelanggaran HAM yang berdampak pada kehidupan perempuan dan warga negara lainnya.

Pada Pemilu 2019, pemerintahan Jokowi berjanji untuk berpihak pada kemanusiaan dan lingkungan hidup dalam Nawacita II. Faktanya, pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan peningkatan investasi dengan alasan untuk menumbuhkan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Cara-cara yang dilakukan justru mengorbankan kelestarian lingkungan dan mengakibatkan ketimpangan penguasaan lahan.

Fakta tersebut didukung dengan serangkaian kebijakan yang telah disahkan dan terbukti secara masif memperparah kehancuran lingkungan hidup. Berikut beberapa catatan Solidaritas Perempuan terkait kebijakan pemerintah yang membahayakan kelestarian lingkungan:

Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja  

Lahirnya Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sebagai kitab sapu jagat menjadi produk legislatif yang nyata-nyata mengancam kelestarian lingkungan, yang selanjutnya semakin mengancam kesehatan dan posisi perempuan. Proses penyusunan hingga pengundangan dilakukan serampangan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.

Alih-alih menciptakan aturan yang melindungi rakyat, UU Cipta Kerja justru hadir guna mengeruk, merusak, dan merampas ruang hidup masyarakat yang tercantum dalam pasal per pasal. Salah satunya adalah pelemahan Analisa mengenai dampak lingkungan atau AMDAL. Hal ini tentu menjadi langkah mundur sejak Kementerian Lingkungan Hidup membuat komitmen yang dituangkan dalam peraturan menteri dan secara jelas menyebut perempuan sebagai salah satu kelompok kepentingan yang harus dilibatkan dalam konsultasi Amdal dan KLHS. 

Padahal AMDAL merupakan salah satu ruang bagi upaya masyarakat untuk mempertahankan hak atas lingkungan hidup yang bersih sebagai sumber kehidupannya. Jika dengan AMDAL saja sudah begitu banyak kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup perempuan dan masyarakat terjadi atas nama pembangunan, maka UU Ciptaker menjadi legitimasi terhadap pelanggaran hukum yang dipraktikkan pemerintah dan perusahaan selama ini.

Skema Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Upaya Sentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam 

Keberadaan PSN yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020 juga merupakan aturan yang berorientasi pada pembangunan ekstraktif dan infrastruktur.

Rentetan isu agraria dan lingkungan hidup akibat PSN dirasakan oleh perempuan pesisir yang secara langsung terdampak oleh Proyek Makassar Newport (MNP) yang merupakan salah satu proyek strategis nasional.  MNP dibangun dengan mereklamasi tanah yang mengubah kondisi bentang pesisir dan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem yang tersusun di dalamnya.

Selain itu, kegiatan reklamasi juga berpotensi besar meningkatkan kekeruhan air laut. Keruhnya air merupakan salah satu indikator penting bagi kesehatan ekosistem perairan. Ketika air laut keruh maka dapat dipastikan produktivitas ekosistem juga akan menurun. 

Proyek Bendungan Bener yang  juga merupakan PSN juga menjadi sorotan Solidaritas Perempuan.  Proyek yang dibangun untuk menyuplai air bersih untuk Bandara YIA ini telah merampas ruang hidup perempuan dan warga Wadas. Eksplorasi batuan Andesit di desa Wadas akan menghabisi vegetasi penutup tanah dan membuka peluangnya terjadinya bencana longsor di desa Wadas. Penambangan batuan Andesit di Wadas bisa diartikan membuka pintu atau peluang untuk terjadinya bencana.

“Wadas sebagai kawasan lindung dan serta rawan bencana dirusak dengan penambangan untuk pembangunan Bendungan Bener, yang sangat membahayakan keselamatan dan memaksa kami kehilangan sumber hidup dan kehidupan yang selama ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hutan sebagai penyeimbang alam, serta tempat menanam kopi, durian, gula aren, padi, bambu yang ditunjang oleh kurang lebih 27 sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat,” demikian salah satu anggota Wadon Wadas kepada Koalisi Perempuan.

Penanganan Krisis Iklim yang Berorientasi pada Investasi dan Pasar

Krisis iklim yang terjadi telah memperburuk dampak dari eksploitasi alam dan ekosistem yang terjadi akibat pembangunan yang patriarki. Alih-alih mengatasi krisis tersebut, justru yang terjadi pemerintah mengomoditisasi dengan mengejar pendanaan semata. Atau bahkan terjebak pada proyek-proyek solusi palsu, yang tidak mengatasi dampak perubahan iklim dan justru menimbulkan kesulitan bagi masyarakat.

Transisi energi yang dirancang semata hanya mengubah sumber energi, tapi tidak melakukan perubahan sistem yang terbukti telah menghasilkan krisis. Para aktor yang selama ini mengambil keuntungan dan mencemari lingkungan hingga mengakibatkan krisis tetap mendapatkan ruang dan akses dalam skema transisi energi. 

Tidak ada kepentingan rakyat, terlebih perempuan, dalam skema tersebut. Hal ini terlihat bagaimana pembangunan PLTA Poso telah menghilangkan mata pencaharian, warisan budaya, sumber air bersih, tanah, dan berdampak pada gangguan kesehatan perempuan akibat pencemaran air di sungai Poso karena aktivitas PT Poso Energi yang menggunakan bom batuan untuk memperlancar aliran air ke turbin.

Eksploitasi Lingkungan Mendorong Migrasi dan Trafficking Perempuan 

Masifnya eksploitasi lingkungan telah menambah deret permasalahan yang dihadapi perempuan. Tanah yang telah menghidupi dan menjadi ruang kelolanya, lambat laun habis dirampas guna memperlancar kepentingan segelintir golongan.

Perampasan ruang hidup tentu memiliki dampak berlapis pada perempuan, mulai dari hilangnya hak-hak atas seksualitas, hingga berdampak pada hilangnya kesempatan yang setara, hilangnya tanah dan sumber air bersih, hilangnya budaya dan adat-istiadat yang telah melekat secara turun-temurun, hingga hilangnya mata pencaharian. Alhasil, banyak perempuan yang juga harus mencari pekerjaan ke luar negeri guna menghidupi keluarganya. 

Keempat fakta di atas telah menunjukan bahwa persoalan lingkungan hidup tak pernah jadi komitmen bagi elit politik. Konsolidasi elit politik yang belakangan terjadi sesungguhnya menjadi alarm agar kita melihat janji politik pemerintah di Pemilu 2019 dan mengkritisi rekam jejak agenda perlindungan hak masyarakat khususnya tentang lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 

Memasuki babak akhir dari periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, para elit politik mulai berlomba melakukan berbagai strategi politik dan kampanye untuk mempertahankan kursinya maupun mengamankan posisi incaran di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Narasi yang muncul bukan soal perhatian mereka terhadap suhu bumi yang semakin panas, kualitas udara yang buruk, deforestasi yang masif terjadi, maupun buruknya situasi perempuan yang terdampak oleh kerusakan lingkungan hidup, tapi cenderung menampilkan drama pasangan capres-cawapres yang seolah menempatkan rakyat hanya sebagai komoditas politik hanya dimanfaatkan suaranya jelang pesta demokrasi dan diabaikan saat mereka telah meraih kursi kekuasaan.

Related Articles

Leave a Comment