tungkumenyala.com – Memanfaatkan momen Hari Kerja Layak Sedunia yang diperingati setiap tanggal 7 Oktober, sejumlah organisasi menyampaikan kritis mereka terhadap situasi kerja layak yang tidak didapatkan oleh Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Penetapan Hari Kerja Layak Sedunia, dalam sejarahnya dilakukan untuk menyatukan pekerja agar berani bicara menentang kebijakan ketenagakerjaan yang lebih mengutamakan peningkatan keuntungan bagi para pemilik modal ketimbang hak dan kebutuhan pekerja termasuk PRT.
Terkait kerja layak untuk PRT, ada Konvensi ILO 189 yang mensyaratkan adanya standar umum dan standar khusus untuk pekerja rumah tangga, untuk memungkinkan para PRT menikmati hak-hak mereka secara penuh.
Konvensi ini mengatur syarat kondisi kerja layak bagi PRT sebagai berikut: perlindungan hak PRT; ada batasan usia minimum bekerja sebagai PRT (penghapusan PRTA); ada perjanjian kerja yang mencakup identitas, alamat kedua belah pihak dan tempat kerja, hak-hak dan situasi kerja layak; perlindungan buruh migran; privasi dan hak atas dokumennya; jam kerja, libur mingguan; pengaturan upah minimum dan pembayaran termasuk bentuk, batasan pembayaran, metode, waktu pembayaran; kesehatan dan keselamatan kerja; jaminan sosial termasuk jaminan melahirkan; akomodasi dan konsumsi; pendidikan dan pelatihan; mekanisme pengaduan.
Kondisi kerja layak bagi PRT sebagai berikut: perlindungan hak PRT; ada batasan usia minimum bekerja sebagai PRT (penghapusan PRTA); ada perjanjian kerja yang mencakup identitas, alamat kedua belah pihak dan tempat kerja, hak-hak dan situasi kerja layak; perlindungan buruh migran; privasi dan hak atas dokumennya; jam kerja, libur mingguan; pengaturan upah minimum dan pembayaran termasuk bentuk, batasan pembayaran, metode, waktu pembayaran; kesehatan dan keselamatan kerja; jaminan sosial termasuk jaminan melahirkan; akomodasi dan konsumsi; pendidikan dan pelatihan; mekanisme pengaduan.
Konvensi ini juga mensyaratkan penghormatan atas hak berserikat dan, ruang serta peran bernegosiasi secara setara dalam dialog social serta perlindungan khusus PRT Migran; dan kerjasama antar negara dalam menjamin pelaksanaan konvensi.
Bertepatan dengan peringatan Hari Kerja Layak ini, Dea Safira dari Indonesia Feminis mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk lebih berempati dan peka dengan isu-isu yang menimpa PRT yang mayoritas adalah perempuan. Dea merasa dekat dengan PRT karena pasien-pasien yang pernah ia tangani juga berprofesi sebagai PRT.
“PRT itu ada di sekitar kita, ada di lingkungan kita, ada di mana-mana. Jadi kalau kita beranikan diri saja tanya ke mereka, bagaimana kondisi kerja kamu? apa yang kamu alami? itu yang akan memudahkan kita memahami pengalaman yang mereka lalui sebagai PRT” ujar Dea dalam Konferensi Pers Peringatan Hari Kerja Layak Internasional Jumat, (7/10/2022).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Yuri Muktia dari Jakarta Feminist. Menurutnya, sudah saatnya anak muda menjadikan isu PRT sebagai isu bersama.
“Kita perlu memperluas dan memperbanyak lagi dukungan dari anak-anak muda. Kita butuh anak-anak muda supaya lebih tahu bahwa isu pekerja rumah tangga itu isu kita juga.” terang Yuri.
Selain itu, penting juga menurut Yuri untuk menilik sekitar. Apakah ada orang-orang di sekitar yang menggunakan jasa PRT, namun tidak memberi situasi kerja layak pada PRT. Dari sini, sebagai warga yang berempati kemudian bisa menegur dan memberi penjelasan tentang pentingnya situasi kerja layak bagi PRT.
PRT belum layak kerja
Hingga saat ini, PRT masih belum dianggap sebagai pekerja, kondisi ini mengakibatkan hak-haknya sebagai pekerja tidak terpenuhi. Padahal, tak bisa disangkal PRT punya peran penting dalam roda ekonomi jutaan keluarga di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan, PRT merupakan tonggak perekonomian negara.
Kerja-kerja PRT di ranah domestic, membuat pengambil kebijakan, pelaku ekonomi dan masyarakat luas bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Namun demikian kerja-kerja PRT ini kerap diabaikan dan dinilai tidak memiliki nilai ekonomi.
“PRT ini kan soko guru dari perekonomian yang tak terlihat. Tidak diakui, tidak dihitung kontribusinya” Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)
Kondisi yang dialami PRT di Indonesia ini disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur dan mengakui PRT sebagai pekerja. Ketiadaan payung hukum, membuat posisi PRT rentan terhadap kekerasan. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa sejak 2012 hingga Desember 2021 rata-rata dalam setahun sekitar 400 pekerja rumah tangga mengalami beragam kekerasan mulai dari fisik, psikis, ekonomi, kekerasan seksual, dan perdagangan manusia.
Hingga saat ini, situasi kerja PRT jauh dari kata layak. PRT tidak mendapatkan upah yang layak, tidak memiliki perjanjian kerja, tidak dilindungi jaminan kesehatan dan jaminan social. Bahkan tidak sedikit PRT yang tidak diberi libur apalagi cuti. Lingkup kerja PRT yang berada di ranah domestic, membuat kondisi mereka sulit dipantau. Hanya sedikit PRT yang diberi hak untuk berorganisasi, saat mengalami masalah dalam hubungan kerja mereka kesulitan mengakses penyelesaian perselisihan.
Royanah, PRT yang tergabung dalam JALA PRT memaparkan situasi kerja tidak layak yang dialami para PRT di Indonesia. PRT sangat rentan mengalami kekerasan dan kesewenang-wenangan pemberi kerja. Royanah bahkan mengalami sendiri gajinya dipotong dan tidak diberikan sepenuhnya.
“Saya dan kawan-kawan pekerja rumah tangga (berharap) agar secepatnya RUU PPRT disahkan, supaya PRT mendapatkan hak-haknya, serta ketika bekerja merasa aman dan nyaman, serta ada perlindungan dari pemerintah.” ujar Royanah.
Nur Meylawati dari LBH APIK Jakarta mengatakan, kekerasan terhadap PRT dipicu adanya relasi kuasa antara pemberi kerja dengan PRT. Namun, ketika mengalami kekerasan PRT sering tidak meiliki akses untuk melaporkan kejadian yang menimpanya.
“Karena ranahnya yang privat, jadi tidak ada orang yang melihat kejadian secara langsung ketika PRT mengalami kekerasan” jelas Meyla.
Tantangan lainnya, Aparat Penegak Hukum (APH) belum memiliki perspektif terhadap kasus-kasus yang dialami PRT. Melihat kondisi ini maka pemerintah dan parlemen didesak untuk tidak lagi menunda pengesahan UU Perlindungan PRT yang sudah 18 tahun mandek di DPR.
Parlemen maupun pemerintah dinilai tidak serius membahas RUU PPRT. Mandeknya pembahasan RUU PPRT selama 18 tahun menunjukkan adanya arogansi dan kepentingan politis para pembuat kebijakan.
Ketika terjadi pembahasan RUU PPRT para anggota legislatif ini lebih mencerminkan sebagai pemberi kerja daripada wakil rakyat yang harus memperjuangkan kepentingan konstituen.”
“Ketika terjadi pembahasan RUU PPRT para anggota legislatif ini lebih mencerminkan sebagai pemberi kerja daripada wakil rakyat yang harus memperjuangkan kepentingan konstituen.” ujar Lita.
Padahal kehadiran RUU PPRT akan membongkar pembagian kerja yang tidak adil di ranah domestik dan membangun budaya kerja yang lebih berperspektif gender. Sekaligus sebagai upaya untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa care work atau kerja-kerja pengasuhan dan perawatan merupakan pekerjaan bernilai yang harus dihargai, diapresiasi, dan diupah secara layak sebagaimana pekerjaan lainnya.
Jala PRT dan organisasi-organisasi terkait juga mendesak pemerintah agar segera meratifikasi ILO No.189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No.190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja sebagai mekanisme dalam memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja informal seperti PRT.