Jakarta – Mendekati pembukaan Masa Sidang DPR pada 13 Januari2022 mendatang, para pengusul Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT) terus merapatkan barisan, agar rancangan beleid yang diusulkan sejak 2004 ini bisa dibahas di Rapat Paripurna.
Meski sejak 2020 sudah masuk ke Prolegnas Prioritas, RUU Perlindungan PRT belum juga menemukan jalan untuk disahkan. Bahkan belakangan nasibnya kian tak menentu, setelah pimpinan dua fraksi besar di DPR, yakni PDIP dan Golkar menolak membawa RUU ini ke paripurna
Para pendukung RUU perlindungan PRT, seperti Jala PRT, Komnas Perempuan, Kowani, para aktivis dan tokoh agama sepakat untuk menggaungkan kampanye pengesahan RUU yang akan berumur 18 tahun itu. RUU Perlindungan PRT sangat urgen sebagai payung hukum bagi jutaan PRT.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan semakin hari, risiko ketidakadilan, marginalisasi, hingga diskriminasi terhadap PRT semakin tinggi. Sementara di kalangan legislator ada cara pandang yang salah terhadap RUU ini.
“Ada miskonsepsi, bahwa aka nada kontrak kerja industrial yang meniadakan semangat gotong royong yang berlangsung selama ini. Padahal kekhawatiran seperti ini tidak perlu ada,” kata Theresia dalam diskusi pada Senin (3/1/2022) malam.
Theresia menambahkan, setelah Bamus gagal memutuskan membawa RUU Perlindungan PRT ke paripurna, pihaknya telah melakukan lobi ke berbagai pihak, baik anggota Dewan di Senayan maupun dari eksekutif, organisasi masyarakat sipil maupun tokoh agama.
Theresia mengatakan ada sejumlah alasan kenapa ada orang menganggap RUU ini tak penting. Salah satunya, adalah adanya bias pandangan yang dimiliki oleh anggota parlemen saat ini.
“Secara jujur kami ingin mengatakan dinamika ini sangat diwarnai dengan berbagai bias, yang kami bilang ini bias yang dialami oleh anggota Parlemen kita,” imbuhnya.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Ruma Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini membenarkan. Ia mengatakan bahwa para pengambil kebijakan yang merupakan pejabat dan memiliki PRT di rumahnya, malah mengambil sikap sebagai majikan dalam menyikapi urusan ini,
“Ada conflict of interest. Jadi mereka lebih mewakili diri mereka sebagai majikan, dari pada sebagai wakil rakyat yang harus memberikan perlindungan bagi wong cilik seperti PRT dan pemberi kerja dari praktek-praktek yang tak baik,” kata Lita.
Gerakan pukul panci
Lita menyerukan gerakan kampanye besar-besaran agar RUU Perlindungan PRT mencuri perhatian public. Salah satunya adalah gerakan pukul panic untuk mengetuk nurani anggota Dewan sehingga RUU ini segera disahkan.
“Kita bom media social dengan kampanye pukul panci untuk menuntut pengesahan RUU Perlindungan PRT,” ujarnya.
Lita menargetkan ada ribuan video aksi pukul panci yang akan meramaikan jagat maya pada 9 Januari nanti. Video-video ini akan diunggah serentak pada hari yang sama untuk menuntut pembahasan RUU Perlindungan PRT.
Sejak diusulkan pada 2004, baru pada 2010 RUU ini masuk dalam tahap pembahasan di Komisi 9 DPR. Sepanjang 2011 hingga 2012, Komisi Ketenagakerjaan DPR itu telah melakukan riset di 10 kabupaten/kota, uji publik di 3 kota, hingga studi banding ke dua negara. Pada 2013, draf RUU akhirnya diserahkan ke Baleg.
Namun masuk ke masa bakti DPR 2014-2019, RUU ini seakan lenyap dan hanya sebatas masuk ke daftar tunggu Prolegnas. Harapan baru muncul di periode DPR 2019-2024. Pada Juli 2020, RUU Perlindungan PRT selesai dibahas di Badan Legislasi dan tinggal masuk ke Badan Musyawarah (Bamus). Namun, RUU ini hampir hilang dari Prolegnas Prioritas 2021. Terakhir, rapat Bamus pada 8 Desember RUU ini tidak berhasil dibawa ke paripurna untuk dijadikan RUU inisiatif DPR untuk kemudian dibahas dan disahkan.
Ada delapan fraksi yang menyatakan dukungan pada RUU ini. Diketahui dua fraksi yang belum memberi sikap tegas adalah Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Baca : PBNU Desak RUU PPRT Segera Disahkan
Upaya untuk membawa RUU Perlindungan PRT ke Rapat Paripurna harus tetap dikawal. RUU Perlindungan PRT dinilai sangat penting. Ketiadaan payung hukum membuat jutaan PRT bekerja dalam kondisi kerja tak layak, tanpa jaminan sosial, diupah rendah, jam kerja panjang,
Data International Labour Organization (ILO) mencatat, pada 2015 jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang dan diperkirakan terus tumbuh. Data Jala PRT pada 2020 memperkirakan bahwa ada lebih dari 10 juta PRT di Indonesia.