tungkumenyala.com – Sistem pengupahan dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja jadi sorotan Komisi IX DPR RI. Pasalnya, cara pengupahan seperti ini dinilai tidak ada dasar hukumnya. Semua sistem pengupahan seharusnya merujuk pada aturan upah minimum regional (UMR) di masing-masing daerah.
Demikian mengemuka saat Komisi IX DPR RI menggelar pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Dinas Ketenagakerjaan Bogor, para pengusaha, dan perwakilan pekerja setempat. Di kesempatan itu, Anggota Komisi IX DPR Abidin Fikri mengatakan, bila tak ada payung hukumnya, sistem pengupahan berdasarkan kesepakatan ini akan jadi gejolak di sejumlah daerah.
“Pengupahan dengan kesepakatan payung hukumnya belum ada. Kalau tidak diatur, maka di daerah akan bergejolak. Kita tidak bisa melepas begitu saja, masing-masing perusahaan melakukan perjanjian kerja dengan sistem upah kesepakatan,” ucap Abidin dalam pertemuan yang digelar di Kantor Bupati Bogor, Jawa Barat, Kamis (17/11/2022).
Sistem upah dengan kesepakatan ini menghadapkan dua pihak (pengusaha dan pekerja) melakukan kesepakatan bersama di luar mekanisme UMR. Bisa jadi upah yang disepakati jauh di bawah UMR. Ini perlu disorot untuk kemudian dibicarakan dengan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Bagaimana pun, pekerja harus dilindungi dan jangan sampai para pekerja itu juga kehilangan pekerjaannya,” tandas politisi PDI Perjuangan itu.
Sistem upah dengan kesepakatan ini menghadapkan dua pihak (pengusaha dan pekerja) melakukan kesepakatan bersama di luar mekanisme UMR. Bisa jadi upah yang disepakati jauh di bawah UMR.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.
Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut?
Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, diminta memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut.
Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.
Mengapa upah dengan kesepakatan menjadi sebuah masalah? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.
Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Oleh karena itu, harus ada pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman. Sehingga baik pekerja maupun pengusaha tidak dirugikan.