Tidak diakuinya PRT sebagai pekerja berimbas pada hilangnya hak-hak dasar sebagai pekerja. Seperti, jaminan kesehatan, jaminan sosial dan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap kecelakaan kerja, jam kerja dan sistem pengupahan. Padahal, ini bagian dari hak asasi setiap manusia.
Nurul Nur Azizah
Jakarta – Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin menegaskan pekerja rumah tangga (PRT) harus mendapat jaminan perlindungan. Menurutnya, selama ini dibandingkan dengan kelas pekerja lain, PRT menjadi kelompok paling rentan. Ironisnya, UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 pun, tak mengakui PRT sebagai pekerja.
Dalam UU itu menyebutkan, status pekerja hanya disematkan bagi mereka yang melakukan produksi barang dan jasa yang memiliki “nilai”. Artinya, kerja-kerja yang dilakukan PRT selama ini masih belum dianggap sebagai sebuah “nilai” yang diakui UU di negara ini.
Konsekuensinya, Zainal mengatakan, PRT selama ini jadi tidak memperoleh hak-hak dasar sebagai pekerja. Seperti, jaminan kesehatan, jaminan sosial dan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap kecelakaan kerja, jam kerja dan sistem pengupahan. Padahal, hal tersebut termasuk dari hak asasi yang melekat pada diri manusia.
“Kita berbicara mengenai HAM yang kemudian tidak didapatkan oleh PRT, tentu saja ini berbenturan dengan negara (Indonesia) sebagai negara hukum atau negara yang menjamin HAM setiap warganya,” tegas Zainal di kesempatan sama.
Dia menilai, tertundanya pengesahan RUU PRT yang telah mangkrak bertahun-tahun lamanya, menurut dia, sebagai bentuk ketidakseriusan negara dalam komitmen ataupun tidak adanya kemauan politik (political will) untuk melindungi hak-hak PRT.
18 Tahun RUU Perlindungan PRT Mandeg
Sudah 18 tahun lamanya, Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mengajukan RUU Perlindungan PRT. Namun hingga kini, DPR dan pemerintah tak kunjung meloloskan RUU yang sudah empat kali masuk dalam program legislasi atau Prolegnas ini.
Realitas hingga hari ini, PRT masih menjadi salah satu elemen masyarakat yang kerap dipandang sebelah mata. Diperlakukan semena-mena dan mengalami diskriminasi dari berbagai aspek. Mulai gaji yang tak layak, jaminan kesehatan dan sosial minim, hingga rentan terhadap kekerasan dan pelecehan.
Mendesak kembali urgensi pengesahan RUU PRT dan pentingnya publik turut memberikan dukungan, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja pada Selasa (8/2/2022), menggelar konferensi pers yang menghadirkan sejumlah PRT dan aliansi pekerja. Hadir sebagai pembicara perwakilan masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum, mulai dari Jumiyem dari PRT, Eva K Sundari dari Institut Sarinah, Luviana dari Konde.co, Zainal Arifin dari YLBHI, dan Dian Septi dari FSBPI.
Jumiyem wakil dari Jala PRT menekankan bahwa selama ini sudah ada banyak kasus dehumanisasi, kekerasan, pelecehan dan peminggiran terhadap hak-hak PRT. Salah satu kisah PRT yang mengiris hati ialah Sunarsih. PRT anak yang pada 2001 dianiaya majikannya bernama Ita hingga meninggal dunia.
Selama enam bulan bekerja di rumah keluarga Ita, Sunarsih bersama PRT lainnya, mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Mereka dieksploitasi dalam bekerja, mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis dan sosial. Selama 18 jam bekerja tiap hari, Sunarsih bersama 4 kawannya, seringkali harus tidur di lantai, upah tak dibayar, makan makanan sisa sehari sekali, dan disekap.
“Dipaksa bekerja dan tinggal dalam situasi yang menakutkan, karena sering mengalami kekerasan,” ujar Jumiyem dalam Konferensi Pers Kampanye PRT 7 Kota di Indonesia, yang diselenggarakan AJI Jakarta bersama AJI Indonesia, Senin (8/2/2022).
Sunarsih tidak sendiri, Jumiyem menyebut, PRT yang menjadi korban atas kekerasan multidimensi jumlahnya tak sedikit. Berdasarkan data JALA PRT, sebanyak 5 juta PRT di Indonesia bekerja dalam situasi yang tidak layak, rentan dari kekerasan dan pelecehan, hingga minimnya jaminan hak sebagai warga negara, pekerja dan manusia.
Dalam survei JALA PRT Desember 2020 terhadap 668 PRT, 82% PRT dan pada Survei JALA PRT Agustus 2021 terhadap 743 PRT, 86% PRT tidak bisa mengakses Jaminan Kesehatan Nasional sebagai peserta Program Penerima Bantuan Iuran.
“21 tahun mengambil pelajaran dari peristiwa Sunarsih, penting untuk mendesak dan menuntut DPR dan pemerintah agar peristiwa Sunarsih tidak terulang lagi, baik dari awal gejalanya hingga ke bentuk ekstrem,” ujar Jumiyem.
Maka dari itu, Jumiyem kembali menegaskan pentingnya pengesahan RUU Perlindungan PRT sebagai bentuk kehadiran Negara dalam menjamin dan melindungi hak-hak PRT. Di antaranya, mengakui PRT sebagai pekerja, memberikan jam kerja layak dan libur mingguan, upah yang layak, jaminan sosial, hingga menjamin perlindungan kesehatan dan kesejahteraan.
“Kami mendesak perwujudan segera ada UU Perlindungan PRT yang sudah 18 tahun mandeg di DPR,” katanya.
Kampanye 7 Kota Desak Pengesahan RUU PRT
Bertepatan dengan Hari PRT Nasional, diselenggarakan Kampanye 7 Kota di Indonesia oleh Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja yang terdiri dari AJI Indonesia, AJI Jakarta, FSPBI, JALA PRT, Institut Sarinah, IWE, Kohati, Konde.co, Perempuan Mahardhika, Mitra Imadei, Operata Panongan Tangerang, Operata Sedap Malam Jakarta Selatan, Rumpun Gema Perempuan, Sindikasi, Sahdar, SPRT Paraikatte Sulsel, SPRT Sumut Medan, SPRT Sapulidi DKI Jakarta, SPRT Tangerang Selatan, SPRT Tunas Mulia DIY, Solidaritas Perempuan Yogyakarta dan YLBHI.
Acara ini digelar secara virtual dan berlangsung sejak 8 Februari hingga 15 Februari 2022 di 7 Kota di Indonesia, seperti di Tangerang, Yogyakarta, Tangerang Selatan, Semarang, Makassar, Medan dan DKI Jakarta.
Serangkaian Dialog Kisah PRT dari 7 Kota pada tanggal 8 sampai dengan 15 Februari 2022 menghasilkan sikap sebagai berikut:
1. Menyuarakan keprihatinan persoalan PRT karena berbagai irisan bias gender, kelas, feodalisme, ras yang selama ini dibiarkan terus menerus secara sistematis dan mengakibatkan dehumanisasi, eksploitasi, berbagai bentuk pelecehan, kekerasan eksklusi (peminggiran) sosial ekonomi budaya dan hukum terhadap PRT
2. Menyuarakan keprihatinan bahwa demokrasi telah didominasi kaum elit sehingga kepentingan kerakyatan menjadi terabaikan termasuk RUU PPRT yang dijegal berkali-kali oleh berbagai elit di DPR.
3. Mengumandangkan seruan para penyelenggara negara untuk mengembalikan arah Politik Berdasar Kesadaran Kemanusiaan agar manusia tetap menjadi manusia dan bermanfaat bagi sesama manusia yang papa dan tak seorang pun boleh ditinggalkan dalam Pembangunan.
4. Seruan bersama kepada DPR dan Presiden bagi Pengesahan RUU PPRT demi menjaga martabat kemanusiaan warga PRT dan pemberi kerja.