JAKARTA- Kisah kematian Fabyan menimbulkan tanda tanya jika disebutkan karena virus Corona. Kronologinya begitu cepat dan gejalanya jelas bukan Corona. Setelah kematiannya, diagnosa menyimpulkan ada radang otak akibat virus Ensfalitis pada dirinya.
Farma Dinata, ayah Fabyan menuturkan di akun facebooknya, pada minggu terakhir Maret, putranya mengeluhkan gejala kesemutan lalu kebas pada tangan kanannya. Semakin hari dia mengeluh tangan kanannya mati rasa, hingga kesulitan menulis dan makan.
Sepekan setelahnya, ia mulai memperlihatkan kebiasaan aneh, tidur sepanjang hari. Bangun cuma untuk sholat lantas tidur lagi. Makan, mandi trus tidur. Dalam sehari semalam dia bisa tidur 20 sampai 23 jam. Dokter saraf di salah satu rumah sakit di Pasar Rebo, Jakarta Timur mengatakan, ada masalah di otak kiri Fabyan
Fabyan tidak mengalami sakit kepala, tetapi tidur terus hampir selama sepekan saat itu. Kelumpuhan hanya di tubuh sebelah kanan, sehingga harus menggunakan kursi roda.
Fabyan sempat mengalami muntah-muntah dan dibawa ke poli saraf, rumah sakit terdekat di Pondok Labu Jakarta Selatan. Hasil tes darah normal, CT Scan pun tidak terlihat ada masalah di otaknya. Akhirnya Fabyan dirujuk ke Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) di Cawang, Jakarta timur.
Hingga 5 hari dirawat di RS PON kondisi Fabyan memburuk, dia sama sekali sudah tidak bangun dari tidurnya. Bahkan sudah tidak bisa merespon apalagi komunikasi. Dokter belum bisa menemukan penyebab kelumpuhan. Fabyan kemduian mulai batuk, suhu tubuhnya sempat beberapa kali tinggi diikuti kejang kejang.
Karena hasil tes thorax terindikasi terpapar Corona, Fabyan di pindah ke ruang isolasi dan diambil sample tes swab keesokan paginya. Pada hari ke-4 di ruang isolasi, Fabyan meninggal dunia, Jumat, 24 April 2020. Hasil test swab belum keluar, namun kerusakan organ terjadi sangat masif dalam waktu singkat. Belakangan diketahui dalam risalah rumah sakit tertulis diagnosa Ensefalitis virus dan sekunder Covid-19.
Ensefalitis atau Japanese Enchepalitis (JE) adalah penyakit radang otak yang menyebabkan penumpukan cairan pada otak. Jenis penyakit ini disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk.
Gejala ensefalitis akan muncul setelah 4-14 hari setelah gigitan nyamuk mengalami masa inkubasi. Gejala utama dari penyakit ini adalah demam tinggi mendadak, perubahan status mental, sakit kepala, sampai gejala gastriintestinal. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181109120231-255-345216/mengenal-japanese-encephalitis-si-radang-otak-karena-virus
Selain itu, gejalanya juga disertai perubahan gradual gangguan bicara, berjalan, adanya gerakan involuntir ekstremitas ataupun disfungsi motorik lainnya.
Sekitar 1 dari 200 penderita penyakit ini menunjukkan gejala berat yang berkaitan dengan peradangan otak (ensefalitis) seperti kaku tengkuk, disorientasi, koma, kejang, lumpuh, dan demam tinggi.
Gejala yang berbeda atas penyakit radang otak ini menimbulkan gejala yang berbeda pada anak-anak. Pada anak, gejala awal biasanya berupa demam, iritabilitas, muntah, diare, dan kejang. Kejadian kejang terjadi pada 75 persen kasus anak. Secara umum, penyakit ini agak sulit untuk dikenali secara langsung. Pasalnya penyakit ini mirip dengan gejala flu.
Wabah Ensefalitis
Jauh sebelum pandemi Corona mendunia, pada awal November 2018 media melaporkan dalam https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4295108/heboh-di-australia-dinkes-bali-bantah-ada-wabah-japanese-encephalitis bahwa ada kasus Japanese Encephalitis (JE) di Bali dan Manado. Pemerintah Australia dalam laman resmi www.smartraveller.gov.au mengeluarkan peringatan mengenai ancaman penyakit JE di Indonesia.
Sebelumnya, Vensya Sitohang, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes, pada acara Global Health Security Agenda di Bali Nusa Dua Convention Center, Selasa (6 November 2018 mengatakan terdapat beberapa daerah yang tercatat memiliki jumlah kasus JE terbanyak. Provinsi Bali menempati urutan pertama yang disusul dengan Kota Manado, Sulawesi Utara. Hal ini dilaporkan dalam https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4290371/ditularkan-oleh-hewan-japanese-enchepalitis-terbanyak-di-bali-dan-manado
Karena itu Kemenkes langsung melakukan intervensi penyakit ini dengan vaksinasi di awal 2018 dengan target awal 962.810 tapi hasilnya mencapai 979.953 pada bayi usia 10 bulan. Hal ini dilaporkan dalam https://www.liputan6.com/health/read/3688960/kasus-japanese-enchepalitis-terbanyak-ada-di-bali-ini-upaya-yang-sudah-dilakukan-kemenkes
Bergelora.com mencatat, di Jakarta pada kurun waktu yang bersamaan di tahun 2018, setidaknya terjadi 5 kasus akibat virus Ensefalitis di Jakarta Timur. Hanya satu kasus yang selamat setelah dilakukan menjalankan perawatan di rumah sakit Singapura. Empat orang lainnya meninggal dengan gejala yang serupa yaitu disorientasi, halusinasi diikuti kelumpuhan dan akhirnya meninggal. (Web Warouw)