Home Politik & Hukum Aksi Payung Duka Ibu-Ibu PRT Indonesia Desak Pengesahan UU PPRT

Aksi Payung Duka Ibu-Ibu PRT Indonesia Desak Pengesahan UU PPRT
Presiden Jokowi dan Puan Maharani Didesak Bersuara

by admin

tungkumenyala.com – Memanfaatkan momen Hari Ibu 22 Desember 2022 sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) melakukan Aksi Payung Duka Ibu-Ibu PRT Indonesia mendesak Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI Puan Maharani untuk bersuara.

Aksi ini digelar secara serentak di 8 kota pada Rabu, 21 Desember 2022. Aksi antara lain dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Medan, Serang, Malang, Tangerang Selatan. Aksi ini akan dilanjutkan aksi Rabuan untuk PRT guna mendesak disahkannya UU PPRT.

Para ibu Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia ini meminta perhatian Presiden Jokowi dan Ketua DPR, Puan Maharani agar para PRT tidak dipandang rendah, sebelah mata, diakui keberadaannya sebagai pekerja dan manusia. Para ibu dan PRT meminta pada Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani untuk menghentikan kekerasan, diskriminasi yang selama ini terjadi pada PRT.

“Salam Hari Ibu Bangsa! Para Ibu Pekerja Rumah Tangga (PRT) berjatuhan menjadi korban dari semua bentuk kekerasan, layaknya deret ukur saja. Luka dan trauma sering di luar batas kemanusiaan, bahkan mereka seperti dalam kondisi perbudakan,” ujar Koordinator Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Eva Kusuma Sundari dalam aksi di Lapangan Monas, Jakarta Rabu (21/12/2022).

Dalam aksi ini para pengunjuk rasa yang berasal dari sejumlah organisasi perempuan membawa payung hitam bertuliskan “Sahkan RUU PPRT” dan membeberkan foto=foto PRT yang menjadi korban kekerasan majikan. Poniah, Anik, Rizki, Rumiah, atau Khotimah mewakili ribuan korban yang masih tersembunyi di balik tembok dan gembok para majikan atau para pemberi kerja.

Adanya kekosongan hukum membuka ruang tindak kesewenangan yang membuat para ibu-ibu PRT menderita sepanjang hidup mereka.

Eva yang juga Direktur Sarinah Institute mengatakan, para Ibu PRT tersebut sudah pasti dari kelompok keluarga miskin dan papa. Mereka kaum yang disisihkan masyarakat dan Negara. Sementara para pelakunya bisa siapa saja. Mulai keluarga biasa, hingga keluarga kaya raya, terpelajar, Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA). Yang pasti, adanya kekosongan hukum membuka ruang tindak kesewenangan yang membuat para ibu-ibu PRT menderita sepanjang hidup mereka.

Sementara Koordinator Jala PRT, Lita Anggraeni mengatakan pengesahan UU PPRT sudah sangat mendesak, agar korban kekerasan tidak lagi berjatuhan.

“Sudah sejak 19 tahun lalu RUU PPRT diperjuangkan di DPR dan telah 2,5 tahun tertahan di meja Pimpinan DPR agar menjadi RUU Inisiatif DPR,” tegasnya.

Ia menambahkan, Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah pekerja, sehingga mereka berhak mendapatkan hak-hak seperti pekerja lainnya, seperti libur, pengaturan jam kerja, upah layak, cuti, THR dan perlindungan sosial.

PRT bekerja di balik tembok dan gembok sehingga kekerasan yang terjadi pada PRT tersembunyi di balik tembok yang tidak terlihat, bahkan tidak sedikit PRT yang tidak mendapatkan haknya. Sayangnya, hingga hari ini, Pemerintah dan DPR masih abai pada kenyataan-kenyataan yang menyakitkan bagi jutaan perempuan yang  bekerja menjadi PRT.

“22 Desember 2022 merupakan titik nadir RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Presiden dan Ketua DPR masih bergeming dengan isu ini,” imbuhnya.

Dalam aksi itu, pengunjuk rasa membacakan pernyataan sikap, Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan PRT menyerukan kepada Presiden dan  Pimpinan DPR,  dengarkan suara para perempuan – ibu PRT korban di balik tembok.

“Kami mendesak  Presiden dan Ketua DPR  bersuara mendukung pengesahan UU PPRT demi menghentikan kekerasan dan praktek perbudakan modern terhadap ibu-ibu Pekerja Rumah Tangga (PRT),” pungkas mereka.

 

Related Articles

Leave a Comment