tungkumenyala.com – Komisi Perempuan mencatat laporan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diterima Komnas Perempuan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Dari laporan kasus KDRT yang diterima, kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama.
Sepanjang tahun 2021, Komnas Perempuan menerima 771 pengaduan kasus kekerasan terhadap istri. Kekerasan yang dialami dalam KDRT, tidak hanya menyasar pada masyarakat biasa tetapi beragam kelompok sosial lainnya. Artinya kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal kelas masyarakat tertentu.
Akhir-akhir ini Komnas Perempuan menerima beberapa pengaduan kekerasan terhadap perempuan yang dialami oleh pesohor dan menjadi ramai diperbincangkan publik, yang mengalami pengalaman serupa sebagai korban KDRT. Karena statusnya sebagai istri kerap rawan berada dalam siklus kekerasan dan mengalami berbagai tantangan untuk mendapatkan keadilan dan pemulihannya, baik dari sisi penegakan hukum maupun budaya masyarakat.
Komnas Perempuan dalam keterangan pers yang diterima tungkumenyala.com pada Selasa (22/2/2023) menyebut, dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban memiliki dampak yang beragam dan berlapis. Korban mengalami penderitaan fisik, psikis bahkan menjadi disabilitas maupun kehilangan nyawanya.
Tidak jarang proses hukum yang ditempuhnya akan dipengaruhi oleh gender streotipe dan mitos kekerasan dalam rumah tangga yang dikembangkan seiring dengan ramainya pemberitaan terkait kasus yang dialaminya.
Dampak yang dialami korban KDRT biasanya menunjukkan kecemasan dan kekhawatiran sebagai korban KDRT dalam menghadapi dua proses hukum yaitu pidana dan perdata yang akan dihadapinya. Aminah menambahkan, dampak yang dialami dari kekerasan psikis/mental memang sering tidak dikenali oleh korban ataupun masyarakat.
“Seperti yang dialami seorang pesohor berinisial VM yang mengadukan langsung pengalamannya ke Komnas Perempuan yang menunjukkan kecemasan dan kekhawatiran, diperkuat dengan hasil pemeriksaan psikologis bahwa ia mengalami depresi, ketakutan cemas, gelisah dan traumatis. Juga dalam menghadapi dua proses hukum yaitu kasus pidana KDRT dan perceraiannya yang dapat menimbulkan kelelahan pada korban,” terang komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam keterangan tertulis yang diterima pada Rabu (22/2/2023).
Komnas Perempuan menemukan sejumlah mitos dan fakta tak benar terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan penyangkalan, menganggap remeh kasus KDRT dan membungkam korban.
Komnas Perempuan menemukan sejumlah mitos dan fakta tak benar terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan penyangkalan, menganggap remeh kasus KDRT dan membungkam korban.
Di antaranya, pasangan yang tampak romantis, tidak mungkin menjadi pelaku KDRT. Faktanya, pelaku KDRT cenderung sangat menawan dan mencitrakan sebagai pasangan ideal ketika hubungan baru dimulai.
Mitos lainnya, KDRT terjadi pada pasangan suami istri yang telah menikah lama. Faktanya, KDRT tidak mengenal baru atau lamanya sebuah perkawinan. Kekerasan dapat terjadi sejak hari pertama perkawinan bahkan sebagai kelanjutan dari kekerasan selama pacaran.
Mitos ketiga adalah, suami melakukan kekerasan karena terpancing atau terprovokasi oleh perilaku istri/korban, seperti mengomel atau mengatakan sesuatu yang tidak disukai suami.
“Kekerasan yang terjadi tidak boleh menjadi tanggung jawab atau kesalahan korban, melainkan sepenuhnya tanggung jawab pelaku,” tegas Siti Aminah Tardi
Ia menambahkan mitos lainnya yakni KDRT terjadi karena suami kehilangan kontrol. Faktanya, jarang terjadi KDRT karena lepas kontrol. KDRT sendiri justru merupakan kontrol dan penciptaan rasa takut yang dibuat suami terhadap istri dan pelaku secara sadar memilih kapan melakukan kekerasan.
Perempuan berpenghasilan baik dan berpendidikan baik tidak akan menjadi korban KDRT. Faktanya, suami sebagai laki-laki merasa dikalahkan dan tidak berhasil memenuhi harapan ideal masyarakat patriarki akan mengalami krisis maskulinitas dan menjadikan istri sebagai sasaran kemarahan atau frustasinya.
“Tingginya angka kasus KDRT dan masih kentalnya mitos perlu mendapatkan perhatian serius baik dari segi penguatan korban dan dari segi penanganannya maupun perubahan perspektif masyarakat tentang KDRT. Sehingga korban memiliki kepercayaan diri dan ruang aman untuk mengklaim keadilan dan pemulihannya,” pungkas Aminah.