8 tahun lalu, tepat di Sesi ke 100 Sidang Perburuhan Internasional lahir Konvensi ILO No. 189 tentang Situasi Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga.
Namun 7 tahun berlalu, 4,2 juta PRT lokal yang bekerja di tanah air Indonesia (Data ILO Jakarta 2015) dan kurang lebih 4 juta PRT Indonesia yang bekerja sebagai PRT Migran masih menghadapi kenyataan pahit. Tak satu pun Undang-Undang mengenai perlindungan dan kerja layak PRT lahir di bumi ini, di bumi yang berdasar Pancasila dan UU$ 1945 yang jelas harusnya semua warga Negara memiliki kedudukan hukum yang sama.
Indonesia sebagai Negara dimana jumlah PRT-nya terbesar di dunia belum meratifikasi Konvensi ini.
Kita tidak tahu, siapa dan apa yang ditakutkan, dikhawatirkan oleh Pemerintah dan DPR kita. Sebetulnya pula Pemerintah dan DPR ini berdiri dimana? Apakah para pejabat Negara yang disumpah itu jadi ingkar sumpahnya sehingga lebih memposisikan diri sebagai majikan dari pada pejabat Negara yang berkewajiban menyejahterakan rakyatnya?
PRT jelas bekerja, iya toh? Bekerja melakukan pekerjaan yang diberikan pemberi kerja dan memang bekerja untuk mendapatkan upah. Jelas …kan?kurang apalagi? Jangan dibelok-belokkan lagi dengan bungkus macam-macam, keluargalah, apalah, apalah hanya untuk menghindari kewajiban pemberi kerja yang menjadi hak.
Bicara keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, sejak 25 September 2015, masyarakat dunia secara resmi berkomitmen untuk melaksanakan Agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan (the 2030 Agenda for Sustainable Development atau SDGs) sebagai kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.
SDGs/TPB diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang ditinggalkan atau “No-one Left Behind”. SDGs terdiri dari 17 Tujuan. Dua dari Tujuan SDGs yaitu Tujuan 1 adalah Tanpa Kemiskinan dan Tujuan No. 8 adalah terwujudnya Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi.
Janji Kampanye Jokowi-JK yang tertuang dalam Visi Misi resmi yang disampaikan ke KPU dan disarikan dalam Nawa Cita memasukan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di dalam visi misi. Tak hanya itu pada hari buruh 1 Mei 2014 Jokowi secara langsung menyatakan dukungan untuk disahkannya UU PPRT. Perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga juga dicantumkan di halaman 23 Nawa Cita, yang berbunyi “Peraturan perundang-undangan dan langkah-langkah perlindungan bagi semua Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun di luar negeri.”
Dalam faktanya, situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan Berkelanjutan dan Nawacita itu sendiri.PRT Indonesia justru semakin terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan. PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, pekerja dan warga Negara.
PRT bekerja masih dalam situasi jam kerja panjang, tidak ada batasan beban dan kerja, tanpa libur mingguan, tidak ada cuti, tanpa jaminan THR, tidak ada jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, masih dilarang berkumpul berorgansiasi, upah yang masih sangat rendah 20-30% dari UMR, minim fasilitas makan dan akomodasi yang layak sehat secara kemanusiaan dan bekerja dalam situasi rentan berbagai bentuk pelecehan kekerasan lainnya.
Tercatat di dalam negeri sampai dengan Mei-Juni 2018 tercatat 42 kasus kekerasan PRT pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar. Jumlah kasus tersebut adalah data yang kami himpun berdasar pengaduan dari lapangan pengorganisasian.
Di samping itu, dari survei Jaminan Sosial JALA PRT terhadap 4296 PRT yang diorganisir di 6 kota: 89% (3823) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan. Hampir 100% (4295) PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Ketenagakerjaan.
Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit termasuk dengan cara berhutang, termasuk berhutang kasbon ke majikan dan kemudian dipotong gaji. Meskipun ada Program Penerima Bantuan Iuran – KIS, namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Demikian pula untuk PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan KTP wilayah asal juga kesulitan untuk mengakses Jaminan Kesehatan baik dari akses Jaminan ataupun layanan.
Sebagai pekerja, PRT masih dikecualikan dalam peraturan perundangan mengenai jaminan social. Sehingga PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Kesehatan dan Jaminan Ketenagakerjaan dari majikan dan pemerintah. Angka 4296 bisa menggambarkan4,2 juta PRT yang mayoritas tidak mendapatkan Jaminan Sosial. Bahkan dalam catatan pengaduan lapangan, 56 PRT mengalami PHK ketika meminta hak Jaminan Kesehatan.
Demikian pun kalau PRT berusia lebih dari 45 tahun sudah mulai mencari pekerjaan. Sehingga makin jatuh miskin. PRT tidak mendapat jaminan ketenagakerjaan baik Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP), sementara PRT bekerja dengan gaji 20-30% UMR. Mana cukup? PRT jatuh lebih miskin lagi.
PEMERINTAH dan DPR semakin tidak mempedulikan dan meninggalkan PRT sebagai Pekerja dan Warga Negara yang telah berkontribusi besar dalam roda perekonomian nasonal. 14 TAHUN RUU PPRT di DPR dan Pemerintah BELUM DIBAHAS dan demikian pula Pemerintah tidak bersedia meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT.